Selasa, 15 Desember 2009

Wanita dan Air Surga


Aries Adenata



“Kenapa kau selalu menyentuh air ini?”
“Air surga!” hanya sepatah kata itu yang keluar dari mulut wanita itu setiap ditanya penduduk kota.
Dua telapak tangannya yang lembut mengkatup, membelah sembulan air bening, jernih yang keluar dari retak tanah yang berkubang. Sejak kapan kubangan yang bentuknya mirip segilima itu mengeluarkan air terus-menerus tanpa pernah kering. Penduduk kota tidak pernah ada yang mengatahui perihal asal muasalnya, tahun mulanya, kegunaannya seperti sejarah yang terlupakan. Sejak kapan pula wanita yang wajahnya menyinarkan kesejukan itu hadir dan menyentuh takdzim air kubangan, kemudian wajahnya menengadah ke langit hingga ia lenyap entah kemana. Hampir tiap hari dan di waktu-waktu tertentu wanita itu hadir di tempat itu .
Deru sepeda motor, asap knalpot, bentak orang tua kepada anaknya karena pusing diminta bayaran sekolah, rengek anak kecil minta dibelikan permen yang mirip di layar televisi, bisik rayu dua pemuda di sudut ruangan, negosiasi para koruptor tentang bagi hasil korupnya, rintih manja istri muda kepada suami yang dianggap setia dan wanita yang ada dirumah, teriakan orang menjual dagangannya membahana memenuhi langit kota ini melumat doa dan harap segelintir orang yang masih sudi menghadapkan wajahnya kepada sang pencipta. Yang tidak mau terperosok jauh kepusaran dunia materialisme. Penduduk kota tenggelam dalam hiruk pikuk kepentingan individu masing-masing. Mereka tak menghiraukan lingkungan mereka, keadaan kotanya, situasinya, siapa saja orang yang bermukim, tinggal di kota ini. Termasuk wanita yang selalu hadir di kubangan air itu.
Penduduk kota tidak merasa terusik akan kehadirannya. Namun, wanita itu menjadi pergunjingan para penduduk seakan kerupuk yang renyah untuk camilan. Di berbagai tempat mau berangkat kerja, berangkat kuliah, di tempat hajatan, pasar, warung, kantor, pos ronda, tempat nongkrong, ibu-ibu arisan, ibu-ibu PKK, ibu-ibu darma wanita. Bahkan, para ABG yang sedang asyik bermain playstation juga menggunjingkan wanita itu. Mereka tidak tahu nama wanita itu, namun, wanita itu meroket tinggi mengalahkan popularitas artis-artis yang sering muncul setiap hari di infotainment kita, seakan wanita itu sudah menjadi milik bersama penduduk kota ini.
“Kenapa wanita itu selalu dikubangan air itu?”
“Air surga. Pasti kata itu yang selalu diucapkan kepada setiap orang yang bertanya” jawab lelaki dua.
“Apa maksudnya?”
“Nah…! Itu teka -tekinya” suaranya mantap sekaligus menebar penasaran.
Hari demi hari akhirnya warga mulai terusik juga dengan teka-teki air surga. Mereka mencoba menerka-nerka air surga. Penduduk berusaha sekuat tenaga dan menguras pikiran hanya untuk menjawab sebuah teka -teki tersebut.
“Wanita itu pasti ingin menunjukkan bahwa kubangan air itu bertuah!” ucap perempuan satu dengan penuh keyakinan.
“Tidak mungkin, karena tidak ada keganjilan yang terjadi” sangkal perempuan dua.
“Aku tahu! Pasti air itu mengandung khasiat”
“Kalau berkhasiat, sudah dari dulu orang-orang berobat ke sini” sela lelaki tua.
“Ah, gitu saja kok repot! Pasti wanita itu punya kenangan di kubangan air itu!”
“Semua ngawur!” ucap seorang lelaki dengan langkah tegab bergabung dalam kerumunan. Wajahnya beriwibawa mensiratkan bahwa dia seorang pejabat.
“Lalu yang benar apa?” tanya perempuan paro baya.
“Benar kalian pengin tahu!”
“Ayo cepat katakan tidak usah bertele-tele” timpal orang-orang
“Yang benar karena dirumahnya tidak ada air hehehe…” lelaki itu nyengir.
“Huuu…!” kontan semua yang berkerumun menyorak lelaki itu. Kemudian mereka bubar. Percakapan tadi ternyata belum mampu menuai kepuasan mereka. Teka -teki air surga terus berlanjut, makin berkembang dan makin meluas kemana-mana. Menerka-nerka air surga kini menjadi pekerjaan kedua setelah pekerjaan pokok. Setelah pulang dari kantor, pulang dari sekolah, pulang dari pasar, pulang mengajar, pulang berjualan dan semua kepulangan mereka pasti bergegas memperbincangkan wanita dan air surga.
Penduduk kota selalu menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum habis jam kerjanya agar secepatnya bisa menggunjingkan tentang wanita dan air surga. Fenomena yang luar biasa karena mereka biasa menunda pekerjaan. Jam demi jam, hari demi hari, bulan silih berganti dengan matahari namun penduduk kota juga belum dapat menjawab teka-teki air surga.
Penduduk kota semakin penasaran. Mereka makin sering berkumpul menggunjingkan air surga. Bahkan, dalam perkembangannya makin menjadi-jadi, mereka mengumpulkan orang-orang yang sekiranya dipandang mampu menjawab teka-teki tersebut, mulai dari paranormal, guru, dosen, pakar fisika, pakar kimia, pengamat politik, sosiolog, kriminolog hingga pejabat yang berpengaruh di kota ini. Di dalam satu ruangan mereka bertemu dan mendiskusikannya dengan sengit. Mereka mengeluarkan argumen masing-masing berdasarkan teori-teori yang mereka kuasai sesuai basik keilmuannya. Perdebatan mereka makin panas.
“Wanita itu perlu kita periksa kondisi kejiwaannya dulu” ucap sang dokter.
“Tidak perlu. Paling wanita itu hanya ingin mengalihkan perhatian dari isu pemogokan nasional dengan menciptakan mitos agar perhatian masyarakat terarah ke air surga karena masyarakat Indonesia, khususnya jawa, suka dengan isu yang berbau mistik dan tahayul” sela sang pengamat politik.
“Saya minta ucapan tadi ditarik!” suaranya keras, memuntahkan emosi. Sanggah sang paranormal mendengar argumen sang pengamat politik.
“Itu sebuah pelecehan bagi budaya dan kepercayaan penduduk di dunia ini, memang ada tempat yang bertuah dan keramat” lanjut sang paranormal dengan muka merah.
“Sudah! Kita harus berpikir jernih. Kalau semua ini tetap dilanjutkan, ini tidak mendidik masyarakat kita” sahut sang guru.
“Tidak! Kita harus tetap dan segera menyelesaikan teka-teki ini agar keadaan kota kembali normal dan tentram” ucap sang pejabat.
Debat yang berkepanjangan membuat sebagian penduduk kota mulai tidak sabar menanti fatwa pertemuan itu.
“Kenapa kita harus menanti hasil pertemuan yang belum tentu ada hasilnya!” celetuk lelaki satu.
“Iya. Kenapa kita tidak langsung rame-rame mendatangi dan menanyakan apa maksud air surga kepada wanita itu!” imbuh lelaki dua.
Suasana di luar ruangan makin panas dan tegang.
“Ayo …! Kita langsung rame-rame ke air surga” lelaki tiga memberi komando. Penduduk yang tidak sabar segera bergerak ke arah air surga. Penduduk yang semula masih sabar menanti mulai terhasut, mereka juga itu merangsek menuju air surga.
“Maaf, tuan-tuan! masa penduduk mulai bergerak ke air surga” lelaki tua masuk dengan tergopoh-gopoh memasuki ruang pertemuan memberi tahu keadaan terakhir.
Tanpa diberi komando, peserta diskusi segera berhamburan keluar bergabung dengan masa penduduk. Massa semakin mengalir banyak mengarah ke satu titik, air surga. Terik sinar matahari, udara yang panas membuat suasana makin panas. Celetukan penduduk yang memprovokasi makin membuat genting keadaan. Setelah berjalan sekitar setengah jam akhirnya masa mulai tiba di air surga.
“Kenapa kau berada dikubangan air ini?” tanya lelaki satu.
“Air surga” jawab wanita itu.
“Apa maksudmu?” desak lelaki tiga.
“Air surga” jawab kembali wanita itu.
“Kau jangan main-main. Kami sudah tidak sabar menanti jawabanmu!” sergah lelaki dua.
“Air surga. Itu jawabnya” ucap wanita itu dengan nada serius. Dahinya mengerenyit, matanya menyorot tajam.
“Bakar saja kalau tidak mau menjawab” teriak seorang yang berada ditengah kerumunan.
“Ya bakar saja, bunuh saja, hajar saja, bakar saja…” emosi massa mulai meluap-luap, keadaan semakin tak terkendali. Masa mulai meringkuk wanita itu. Dalam sekejap kayu sudah terkumpul entah datangnya dari mana.
“Cepat jawab!”
“Air surga” hanya sepatah kata itu kembali yang keluar dari mulut wanita itu. Mendengar ucap wanita itu, masa berang, marah seperti kesurupan mereka menyiram kayu dan tubuh wanita itu dengan minyak.
“Dengarkan dulu. Aku punya permintaan untuk kalian semua” ucap wanita itu.
Keadaan tiba-tiba hening
“Setelah kalian membakarku. Ambilah air surga ini, kemudian tengadahkan wajahmu ke langit!”
Sedetik setelah wanita itu selesai berwasiat. Api melumat kayu dan wanita itu. Penduduk bersorak-sorak seperti kesetanan. Setelah api padam penduduk seperti tersadar. Mereka menyesal. Seluruh mata mereka meluruhkan air mata penyesalan. Isak tangis membahana di langit. Tubuh mereka lemas tak mampu berpijak di bumi. Mereka tertegun dan heran kenapa mereka bisa membakar hidup-hidup wanita itu.
“Mari kita tebus penyesalan ini dengan memenuhi permintaannya yang terakhir” celetuk salah satu penduduk.
Serempak penduduk mengambil air kubangan. Air mengalir ke sekujur tubuh mereka, kemudian wajah mereka menengadah ke langit. Mereka merasakan sesuatu yang aneh masuk ke relung hati.
Mereka seperti merasakan sesuatu hadir kembali pada diri mereka yang selama ini hilang dari diri mereka. Kemudian dengan serempak mulut mereka mengucap …
“Air surga…”.
Ku tunai pintamu! Solo 2005


*Dimuat di Solopos 13 November 2005
** Kerja Keras adalah Energi Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar