Selasa, 29 Desember 2009

Kerja Keras adalah Energi Kita





Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa

Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda b'rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai



Ingatkan dengan lagu `Nenek Moyangku Orang Pelaut`? Nah, kalau mendengar lagu itu kembali, serasa kita bernostalgia dengan ibunda atau nenek kita tercinta, tatkala beliau menghantar kita menuju ke samudra impian. Atau tatkala beliau mengajari kita bernyanyi dengan riang, bercanda, saling mencubit mesra, peluk hangat. Yah, kenangan itu saling beradu, sedih-gembira, pahit-manis, tangis-tawa mengaduk-ngaduk emosi kita.
Yah, kenangan yang mungkin tak kan terlupakan oleh kita, karena kenangan itu telah menempel di bawah alam sadar kita, kenangan itu terlalu dalam. Bahkan, menjadi kenangan yang abadi untuk setiap anak yang pernah lahir dari rahim seorang perempuan, yang bernama ibu.

Kerja Keras adalah Tradisi dari Nenek Moyang, Untuk Kita dan Generasi Esok

Bukan! Tulisan ini bukan mengajak kita untuk terharu atau terisyak menangis syahdu mengingat memoar yang begitu indah itu. Tapi, tulisan ini hendak bicara tentang pesan yang disampaikan oleh lirik lagu dan sang pendendang lagu. Tentunya, pesan lagu tersebut menurut tafsir sang penulis yang disesuikan dengan kondisi zamannya, meskipun lagu itu sebenarnya tak pernah lekang oleh zaman.
Yah, ada pesan yang hendak disampaikan oleh lagu tersebut. Coba! Lihat dilirik lagu yang paling awal {Nenek moyangku orang pelaut} seakan menegaskan bahwa sesungguhnya nenek moyang kita adalah para pelaut tangguh, sesungguhnya potensi terbesar bangsa ini berada di laut, sesungguhnya kita harus memaksimalkan sumber daya laut kita, sesungguhnya, sesungguhnya, sesungguhya...Ya, seakan lirik itu dibuat dengan sengaja dan ditempatkan paling awal, agar kita sadar dan mengetahui bahwa bangsa ini adalah bangsa maritim.
Namun, lirik itu langsung disambung dengan {Gemar mengarung luas samudra}, lirik tersebut seakan juga menguatkan kembali dari lirik pembuka, tersambung, tak terputus terhadap pesan penegasan terhadap laut. Betapa besar potensi samudra atau laut bangsa ini, disana terdapat sejuta harapan, sejuta potensi yang belum tereksploitasi dengan baik. Berdasarkan sumber (Kompas, 15 Desember 2004), ada 7,5 persen (6,4 juta ton/tahun) dari potensi lestari total ikan laut dunia berada di Indonesia. Kurang lebih 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budidaya laut (marine culture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi dengan potensi produksi 47 ton/tahun. Selain itu, lahan pesisir (coastal land) yang sesuai untuk usaha budidaya tambak udang, bandeng, kerapu, kepiting, rajungan, rumput laut, dan biota perairan lainnya diperkirakan 1,2 juta hektar dengan potensi produksi sebesar 5 juta/tahun. Secara keseluruhan nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dollar AS per tahun.
Bahkan, 70 persen produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut. Selain itu, Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati laut pada tingkatan genetik, spesies, maupun ekosistem tertinggi di dunia. Akan tetapi, saat ini baru 4 juta ton kekayaan laut Indonesia yang baru dimanfaatkan. Yah, nenek moyang kita sadar, untuk terus bekerja keras untuk mengarungi samudera, untuk terus mencari sumber energi dan potensi kekayaan laut yang ada di samudera tersebut. Lirik lagu tersebut pun sambung-menyambung, dan menegaskan...
{Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa}.
Yah, menegaskan kembali sacara tersurat, bahwa kerja keras itu adalah energi kita untuk terus bergerak, untuk menerjang ombak, menempuh badai untuk kehidupan yang lebih baik. Dan semuanya itu butuh energi.
{Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai}
Ketika kerja itu sudah dimulai, kerja keras adalah sebuah pilihan untuk melanjutkan pekerjaan tersebut, karena layar sudah terkembang, ombak berdebur di tepi pantai, tak ada kata lain selain kerja keras. Dan tak ada kamus atau kata untuk mundur, apalagi menyerah! Layar telah terkembang, kapal ini harus terus berlayar untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, siap bergerak menjemput mimpi, siap menerjang ombak, menempuh badai. Ya, layar ini harus terus terkembang, yakni dengan kerja keras tanpa henti.
Ada yang luar biasa dari penutupan lirik lagu `Nenek moyangku orang pelaut` ini. Sebuah pesan yang sungguh maha gemilang buat bangsa ini. Coba baca dan renungi kalimat terakhir dari lagi tersebut.
{Pemuda b'rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai}
Sungguh, hati ini bergidik mendengar pesan dari lirik yang terakhir. Pesan yang sangat jelas, pesan yang hendak ditujukan kepada para pewaris negeri ini, pesan kepada para pemuda untuk bangkit dari keterpurukan sekarang juga, bangkit dari ketertinggalan bangsa lain, bangkit dari kejumudan. Dan kenapa pesan itu tidak ditujukan kepada orang tua, separuh baya, kakek-kakek, nenek-nenek atau anak kecil. Kenapa? Karena sang penulis lagu, nenek moyang kita sadar bahwa harapan itu ada di tangan para pemuda. Seperti halnya yang dikatakan Bung Karno, ”Berikanlah aku sepuluh pemuda, maka aku akan merubah bangsa ini”. Pemuda adalah unsur yang paling penting dalam peradaban manusia, ia juga unsur yang sangat menentukan pembangunan ini. Jaya atau tidaknya bangsa ini, maju tidaknya peradaban ini terletak di tangan pemuda. Ya, pemuda berani bangkit sekarang! Bangkit Sekarang!
Namun, ada kata terakhir `ke laut kita beramai-ramai`. Apa maksudnya? Kenapa tidak berangkat sendiri? Kerja keras adalah sebuah spirit yang ada dalam jiwa. Sebuah spirit yang menggerakan, sebuah spirit yang kan menjadi energi tanpa batas. Spirit yang mampu bersinergi satu dengan yang lainnya, spirit antara orang-orang yang telah menjadikan kerja keras menjadi energi. Spirit itu bukanlah sebuah spirit yang tidak tertata, spirit yang membutuhkan peyangga lainnya, seperti halnya rumah yang membutuhkan unsur-unsur yang lain, ada batu bata, pasir, air, semen, kusen tuk dijadikan satu yang kemudian menjadi sebuah rumah yang kokoh nan indah bukan? Ya, `Ke laut kita beramai-ramai` adalah kerja keras yang disimbolkan dan diejawantahkan dalam sebuah team work yang solid dan baik.

Pertamina Sebuah Prasasti Kerja Keras

Sebuah peradaban akan tercatat dalam sejarah jika ada sebuah prasasti, artefak atau bentuk fisik dari sebuah peradaban itu sendiri. Pun dalam sebuah persidangan, butuh sebuah barang untuk menentukan sebuah fatwa atau putusan pengadilan. Nah, betapa pentingnya sebuah jejak itu ditinggalkan, ia akan menjadi rekam jejak sejarah yang akan dikenal di kemudian hari, atau bahkan akan menjadi jejak sejarah yang abadi jika rekam jejak itu meninggalkan sebuah prasasati. Prasati itu tak hanya berujud fisik semata. Salah, jika ia hanya diartikan dalam hal fisik semata. Prasasti itu bisa berujud non fisik juga.
Yah, prasasti kerja keras itu adalah pertamina. Ia meninggalkan jejak prasasti fisik maupun non fisik. Yang berujud fisik adalah bangunan-bangunan perusahaan pertamina yang berdiri kokoh dan menjulang ke angkasa, baik di darat maupun di laut lepas. Disisi yang fisik yang lain, ia meninggalkan prasasti logo yang legendaris, kuda laut yang kini telah dimuseumkan dan digantikan logo baru tiga warna yang futuristik penuh makan. Kedua logo itu akan tercatat dalam sebuah sejarah, menjadi kenangan dan bahan cerita yang akan datang bagi generasi baru yang tumbuh dan kembang di negeri penghasil energi ini.
Prasasti yang non fisik ini tak kalah fenomenal, bahkan akan memantikan inspirasi dan menebar motifasi. Prasasti itu adalah semboyan atau tagline yang digunakan oleh Pertamina untut bertransformasi diri guna terus menjadi yang terbaik. Diantaranya adalah ”Selalu Setia Menemani”. Sebuah ungkapan keikhlasan untuk melayani konsumen dengan penuh kesabaran dan memberikan pelayanan yang terbaik. Sedangkan semboyan yang lainnya, yang akan dilaunching, sebuah semboyan yang penuh optimis untuk menggerakan bangsa ini agar menjadi bangsa yang lebih besar dan dihargai oleh bangsa-bangsa lainnya, semboyan itu adalah ”Kerja Keras adalah Energi Kita”. Yah, semboyan itu akan menjadi prasasti untuk bangsa ini, dan akan menjadi milik bangsa ini. Semboyan ini adalah spirit untuk membangun negeri ini, karena sejatinya Pertamina adalah prasasti kerja keras anak bangsa ini...(aries adenata)

Tebar Pesona Memantik Api




Langkah tegap. Baju rapi. Tas ransel yang berada di punggung mengisyaratkan seorang aktifis mahasiswa tulen. Penuh percaya diri terus melangkah dilorong-lorong kampus seolah tak menghiraukan beberapa pasang mata menatap lekat langkahnya. Ada juga beberapa pasang mata perempuan yang melirik takut atau malu dibalik bukunya, tapi tak ayal matanya menyambar kesosok itu.
“Hoi, mau kemana Bung...!” tanya sang kawan dari ujung lorong.
“Mau rapat kawan!” jawabnya sambil terus berjalan.
“Rapat atau rapet nih pak ketua…” timpal sang kawan.
@@@
Sebuah kain panjang menjulur ditengah pertemuan itu. Kain yang membatasi antara kaum adam dan hawa. Sebuah pertemuan yang nyaris tanpa ada kerenyahan tawa atau ledakan tawa sesekali. Suasana beku atau khidmat? Suasana yang terbentuk karena ada sehelai kain yang membatasi. Namun, sehelai kain itu terasa bagaikan tembok raksasa yang memisahkan diantara mereka.
“Gimana persiapan tuk acara besok?” tanya sang ketua.
“Insya Allah semuanya sudah siap. Sekarang tinggal cek pembicara!” sahut salah satu peserta rapat.
“Siapa yang bertanggungjawab pembicara?” tanya sang ketua.
“Ukhti Melati.”
“Baiklah. Nanti saya yang akan menghubunginya!” sahut sang ketua dengan mantap seolah menebar aura kewibawaan.
@@@
Eiit… diatas bukanlah sebuah potongan-potongan cerpen yang mengharu biru atau potongan scene dalam drama ataupun petikan dialog dalam sinetron Indonesia yang hanya mampu menjual mimpi. Di atas hanyalah sebuah ilustrasi, ilustrasi suasana, tempat, orang atau kalau bisa ditangkap pskilogi sang tokoh.
Yach… sebuah suasana yang akan mengarah pada kesempatan. Kesempatan yang akan menuju sebuah peluang. Peluang yang akan membuka pintu, pintu adalah awal langkah untuk masuk keranah yang lebih dalam. Sebuah pintu yang selama itu tertutup kini telah terbuka sesuatu hal yang selama ini tak pernah dimasuki, dicoba, dilakukan. Wooi… sesuatu yang membuat adrenalin berpacu keras.
“Jangan dibuka!” justru orang akan membuka ketika kalimat itu tertempel pada sebuah barang atau papan pengumuman. “Jangan diintip!” justru orang akan terpancing untuk melongok kedalamnya. Itulah man-usia, ia akan mengembat sesuatu jika ia mendapatkan kesempatan dan rangsangan. Wah…ngalor-ngidul omonganku, ya!
Intinya begini; siapa yang memantik api ia yang akan terbakar, siapa yang menyulut api ia yang akan hangus, siapa yang memercikan api ia yang akan tersengat, siapa yang mengobarkan api ia yang akan…apa, ya? Weh… masih ngetan-ngulon omonganku, ya!
Duh, piye Dul! Sekarang masuk pembicaraan yang sesungguhnya,ya!
Alkisah, ada seorang aktifis tak sekedar aktifis, ia bahkan dedongkot sebuah organisasi dakwah. Ia berusaha menjaga citra diri atau lebih kerennya JAIM. Eh…justru kejaim-annya membuat para akhwat kelimpukan. Bagaimana tidak kelimpukan, ketika rapat ia sok wibawa, tapi malamnya ia sms ke salah seorang akhwat dengan berkedok tausiyah. Wadalah… tausiyah atau tebar pesona, nih!
Ketika ada masalah pada akhwat, ia menawarkan bantuan dengan semangat 45 bukannya semangat ukhuwah! Lah, membantu atau tebar pesona lagi!
Waktu terus bergulir, sang ketua merasa mendapat angin segar setiap ada kegiatan dan permintaan bantuan dari sang akhwat yang terjerat tebar pesona. Sang akhwat pun mengulurkan harap pada sang ketua.
Dan akhirnya, salah satu akhwat pun terpantik api perasaannya.
Gerak dan tingkah kedua aktifis dakwah itu mulanya tidak mencurigakan bagi aktifis lainnya. Bagimana tidak? Mereka berkomunikasi dan berkegiatan dengan bingkai kegiatan dakwah. Siapa yang mau menaruh curiga hayo…? Susahkan untuk menebaknya!
Sepandai-pandainya topan melompat pasti akan jatuh juga atau sepandai-pandainya kita menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kisah diatas.
Walhasil, gelagat mereka tercium oleh teman-teman satu organisasinya. Api telah tersulut, merambat ke ruang, rongga, sendi, menelusup kesemua organ yang ada. Karena sudah menjalar sampai ketitik telak, mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan sudah tercium bahkan terdengar santer seantero penjuru bumi (baca: organisasi).
Kadang sang ikhwan tanpa sadar juga berceloteh tentang apa yang telah ia lakukan dengan sang akhwat. Misalnya,
“Aduh…tadi saya susah nyari buku untuk si Ukhti Melati!” sang ketua berujar penuh percaya diri namun tak sadar ucapannya memancing curiga.
Kasak-kusuk menjalar keseluruh kader bawah (bukan bermaksud membuat strata kader organisasi). Ada yang menanggapinya dingin; dingin karena ia menganggap itu adalah hal biasa yang sering terjadi pada para aktifis. Ada yang menanggapinya panas; panas karena marah sang ketua berbuat sesuatu yang tidak ia duga, karena sang ketua selalu menjejalkan doktrin untuk menjaga hubungan antara ikhwan dan akhwat atau dengan slogan nasyidnya AA Gym “Jagalah Hati…”. Ada yang menanggapinya dengan panas-dingin “Kenapa sang ketua tidak dengan saya, ya!” hehe… yang panas dingin ini kayaknya juga sedikit terjerat tebar pesona sang ketua namun apa dikata, gayuh tak bersambut.
Beberapa kawan yang merasa prihatin dengan keaadaan genting ini segera melancarkan aksi-aksi utnuk menanggulangi kejadian ini agar tidak diumumkan keadaan darurat oleh Negara (baca: oganisasi). Ada yang melakukan rapat tersembunyi, ada yang melakukan gerakan bawah tanah, ada yang menghimpun diri untuk siap-siap memberikan mosi tidak percaya kepada sang ketua, bahkan ada sebagian yang terpecik ide untuk mengkudeta sang ketua karena saking berangnya dengan tingkahnya yang telah membuat kader bawah dan opini publik tidak baik terhadap lembaga dakwah. Sebuah kepercayaan yang hampir ambrol pada titik nadir.
Melihat keaadaan yang semakin genting para kyai langitan (baca: orang-orang yang berpengaruh) segera turun tangan untuk menyelesaikannya. Kyai langitan pun menggelar syuro. Dari hasil syuro menghasilkan rekomendasi untuk menerjunkan tim investigasi dan pendekatan personal. Tim investigasi langsung melakukan kerjanya. Beberapa hari telah berlalu, kelihatannya tidak terdengar lagi desas-desus tentang sang ketua lagi. Para kyai langitan merasa senang, mereka merasa masalah sudah dapat diselesaikan oleh tim yang telah mereka bentuk.
Tiba-tiba, angin tak sedap berhembus lagi. Angin itu begitu kencang. Daaar…menampar telak wajah para kyai langitan. Konon sang ketua terus melanjutkan hubungannya dengan penuh rahasia. Mendengar hal itu, sang kyai langitan menggelar rapat darurat lagi. Kali ini mereka langsung memanggil sang ketua untuk diinterogasi rame-rame dihadapan syruro langitan.
Apakah kasus ini dapat terselesaikan dihadapan syuro para kyai langitan? Penasaran!
Kisah selanjutnya biarlah jadi milik sang ketua tadi. Tak usah kita kuak lebih dalam lagi, yang penting kita dapat memetik pelajaran dari apa yang telah mereka torehkan dalam sejarah lika-liku para aktifis dakwah dalam mengarungi rimba belantara dakwah ini.
Nah, para aktifis dakwah yang punya posisi strategis di publik (bagi yang merasa dirinya aktifis dakwah) terlena atau tidak sadar atau bahkan sadar bahwa setiap tingkah-laku, perkataan dan perbuatan kalian akan disorot oleh kader dibawah. Jika kalian melakukan sesuatu, perbuatan atau gerak-gerik kalian akan ditafsirkan sesuatu yang berbeda-beda menurut persepsi masing-masing yang menafsirkannya. Bahayanya jika ditafsirkan oleh akhwat dengan warna merah jambu.
Sadar atau tidak sadar wahai aktifis dakwah! Tebar pesona akan memantik api perasaan.
Adalah engkau dia yang kurindu
Tuk menjadi bunga dihatiku
Menjadi peneduh kalbu diperjalananku…
-lyric nasyid Seismic-(aries adenata)



Kartasura-Surakarta
Penghujung tahun ‘07
Kerja Keras adalah Energi Kita

Senin, 28 Desember 2009

Berubah, yuk!




Kawan sudah berapa detik, menit, jam, hari, bulan, tahun yang tlah kita lalui dalam hidup kita? Berapa amanah yang telah kita tunaikan? Atau malah kita belum berbuat banyak untuk diri kita, apalagi buat umat. Yah, kita harus sadar bahwa waktu terus menggelinding, ia tak dapat diulang, jika kita melewatkan sedetik saja, maka lewatlah sudah.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al `Ashr)


Menengok lah kebelakang!

Tengoklah ke belakang, berapa derasnya keringatmu bercucuran untuk kebaikan umat? Berdarah-darah kah tubuh mu untuk menggapai mimpi mu? Jangan-jangan, di waktu lampau hidup kita dihabiskan hanya untuk kongkow, bermain tanpa ada hikmahnya, bercanda-tawa, menggibah orang lain, menfitnah, durhaka pada orang tua, Jika itu yang tlah kau lakukan kawan! Alarm tanda bahya telah mengintaimu. Lalu? Jika kau menyadarinya. Bangun kawan! HIDUP HANYA SEKALI, SETELAH ITU MATI...

Yuk, Menghitung Waktu!
Kawan, bila satu hari itu adalah 24 jam, maka dalam satu tahun terdapat 12 bulan, 52 minggu, 365 hari, 8.760 jam, 525.600 menit, dan 31.536.000 detik. Sedangkan usia rata-rata manusia adalah 60.
Seorang manusia akan mulai dihitung amal kebaikannya ketika sudah masuk masa balighnya. Sementara usia Baligh laki-laki yakni kurang lebih 15 tahun. Sementara peremuan kurang lebih di usia 12 tahun.
Yuk… kita hitung waktu yang digunakan manusia untuk menapak jalan tuk bertemu dengaNYA! Jika manusia baligh rata-rata umur 15, dan usia rata-rata hidup manusia adalah 65 tahun, berarti 65-15= 45 tahun. Ya, 50 tahun, itulah waktu yang sesungguhnya kawan!
Jika manusia tidur selama delapan jam perhari. Waktu yang habis dipakai untuk tidur adalah 18250 hari x 8 jam= 146.000 jam=16 tahun. Sisa tujuh bulan dibulatkan menjadi jadi 17 tahun. Berarti manusia menghabiskan waktu untuk tidur selama 17 tahun. Dan, jika ada manusia yang menghabiskan 12 jam/hari untuk tidur. Berarti ia enghabiskan waktu 25 tahun hanya untuk tidur.
Sedangkan waktu untuk aktivitas pokok (bekerja, belajar, dll), pada umumnya manusia menjalankan rutinitas pada siang hari. Jadi, waktu aktivitas adalah 12 jam. Berarti, waktu yang habis dipakai aktivitas untuk beraktivitas: 18.250 hari x 12 jam = 219.000 jam. Jumlah ini setara dengan 25 tahun.
Aktivitas siang hari itu juga terbagi lagi dalam beberapa hal. Ada yang bekerja, atau bercinta. Ada yang belajar atau mengajar. Ada yang sekolah atau kuliah. Ada yang makan sambil jalan-jalan. Ada pula yang gambling (berjudi) sambil maling. Dan, masih banyak lagi aktivitas lainnya yang tak pernah bisa disamaratakan satu dengan yang lain.
Dan, waktu lainnya (nonton TV, bermain dll) selama 4 jam. Dalam 50 tahun, waktu yang dipakai rileksasi 18.250 hari x 4 jam = 73.000 jam. Jadi, waktu yang digunakan untuk rileksasi adalah 8 tahun.
Jika dijumlahkan, 17 tahun (waktu tidur) + 25 tahun (waltu aktifitas pokok) + 8 tahun (waktu lainnya) = 50 tahun. Woow, yang bener! 50 tahun kawan! So, KAPAN WAKTU IBADAHNYA?

Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.' (Imam Turmudzi)

Yuk, jika kita hitung waktu manusia untuk menjalankan ibadah wajibnya/shalat (jika ini masuk dalam hitungan waktu lainnya) selama 50 tahun. Jika 1 kali shalat = 10 menit. Sedangkan sehari semalam 5 kali salat. Berarti, dalam satu putaran hari, 1 jam digunakan untuk ibadah. Dalam waktu 50 tahun, waktu terpakai untuk salat adalah 18.250 hari x 1 jam = 18.250 jam. Ini berarti, waktu yang dimanfaatkan manusia dalam 50 tahun di dunia, cuma 2 tahun untuk salat. Kawan, bandingkan jumlah jam tidur dengan jam shlat lima waktu! Tidur manusia 17 tahun, sedangkan shalat wajib hanya 2 tahun.

Mengejar Matahari!
Kawan, hari esok matahari kan terbit kembali (jika kita diberi kesempatan tuk melihatnya), masih ada waktu untuk menyulam dan memahat pahala di sisa umur ini. Tapak kaki kita belum berdarah, keringat kita belum bercucuran deras, kaki kita masih bisa menopang untuk berdiri tegak menatap dan mengejar matahari.

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; 1. umurnya untuk apa dihabiskannya, 2. masa mudanya, kemana dipergunakannya, 3. hartanya darimana ia memperolehnya & 4. kemana ia membelanjakannya, 5. serta ilmunya sejauh mana diamalkannya?’ (HR. Turmudzi)

Kawan, sebentang taman impian masih menunggu rengkuh tangan kita, setangkai asa masih berpijar terang tuk menjadi pijar kita menapaki jalan-jalan yang gelap dan berliku.
Setiap jalan yang kau lalui pasti akan berliku, dan pasti akan menemui jalan bercabang. Kawan, disitulah saatnya kita tuk memilih. Memilih tuk seperti adanya, ataukah kita mau berubah. Kawan...Berubah, yuk!(aries adenata)


NB:
-Buat semua saudaraku agar bangun dari tidurnya
-Tuk semuanya ”Selamat Tahu Baru”
-Kerja Keras adalah Energi Kita

Kamis, 24 Desember 2009

Islam Sebuah Ancaman-`kah`







Negeri ini adalah negeri yang dihuni oleh mayoritas muslim. Tentunya, harapan akan kebesaran dan perlakuan baik (tanpa menafikan non muslim) terhadap kau muslim yang hidup di negeri ini adalah yang sangat wajar. Ya, wajar sekali jika itu yang dirindukan oleh kaum muslimin Indonesia di tanah airnya. Tapi, jika kita tengok ke dalam sejarah, ada sesuatu yang terjadi pada umat muslim di negeri katulistiwa ini. Apakah itu sebuah toleraransi umat Islam atau sebuah penghianatan bangsa ini terhadap umat Islam ataukah ada rekayasa busuk terhadap umat Islam di negeri ini.
Pengorbanan Umat Islam atau Islam dikorbankan?
Jika kita menilik sejarah, ada rekam jejak sejarah yang sangat menyakitkan bagi umat Islam yang tinggal di negeri mayoritas muslim ini. Bagaimana tidak, sejak berdirinya banyak kudeta sejarah yang dilakukan oleh bangsa ini terhadap umat Islam. Satu kasus saja, dalam buku pelajaran sejarah dikisahkan bahwa Pangeran Diponegoro melakukan perlawan terhadap terhadap Belanda karena tanah adat/leluhurnya mau dirampas oleh belanda. Benarkah? Tidak mungkin Pangeran Diponegoro senaif itu, saya meyakini ada motif yang lebih agung yang muncul dari beliau. Ya, sebuah motif jihad untuk mengusir penjajah dari negeri tercinta ini.
Ketika sedang dilakukan perumusan dasar negara, umat Islam ini mengalah atau di pecundangi? Wajarkan jika umat mayoritas menginginkan jika negaranya menjamin akan diberlakukan syariat sesuai agamanya, toh tidak akan merugikan bagi umat lain. Tapi, teks”...menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” itu dihapus. Kenapa? Bisa jadi karena ada sebuah tirani minoritas di negeri ini. Jika kita mengambil sebuah analogi, apakah kita akan memberikan uang saku yang sama kepada anak SMA dengan anak SD, tentu berbeda, kan? Karena kebutuhan mereka tidak sama. Sama juga dengan kondisi masyarakat Indonesia, kaum mayoritas dan minoritas tentunya juga butuh sebuah perlakuan yang berbeda. Bukannya malahan minoritas yang selalu berdalih untuk melindungi kepentingan mereka jadi mengebiri kepentingan mayoritas, atau sebaliknya mayoritas mengambil hak minoritas.
Ingatkah bangsa ini akan teriakan takbir Bung Tomo yang menggetarkan Surabaya, yah, itulah andil umat Islam ini bagi bangsa Indonesia (dan banyak peran lainnya umat Islam di Indonesia untuk bangsa ini). Namun, pa yang diberikan oleh bangsa ini? Apakah Bung Tomo diberi gelar kepahlawanan? Gelar saja tidak diberikan kecuali pihak keluarga meminta untuk diberi sebuah gelar! Sungguh, bangsa ini seharusnya berkaca pada sejarah. Memberikan penghargaan saja sulit, harus ada upaya mengemis terlebih dahulu baru akan dihargai. Bagaimana bangsa ini mau besar jika tidak bisa menghargai para pahlawannya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengharagi para pahlawannnya.
Umat Muslim dikhianati
Jika ada sesorang yang memberikan sesuatu kepadamu, apa yang akan kau lakukan? Berterimakasih dan berlaku baik kepadanya kan!? Sungguh, bangsa ini sebenarnya tak tahu diri, bangsa yang tak mau berterimakasih. Bagaimana tidak, bangsa ini punya pesawat terbang pertamakali karena keikhlasan rakyat Aceh menyumbangkan dana untuk membeli pesawat demi bangsa ini, rakyat Aceh yang mayoritas muslim itu iklhas tanpa pamrih untuk bangsa ini. Namun, apa yang diberikan bangsa ini terhadap umat Islam di Aceh? Memberikan permintaan mereka untuk pemberlakuan syariat Islam? Tidak, justru mereka dihadiahi DOM (daerah operasi milter). Apa perasaan umat Islam melihat kondisi tersebut? Perasaan dikhianati kah?
Islam diburu
Umat ini tak berhenti untuk dikhianati, di rezim orde baru umat ini jadi bulan-bulanan untuk diburu, mulai dari peristiwa lampung, tanjung priok, isu komando jihad dan NII yang digunakan untuk melegitimasi terhadap penculikan aktifis Islam di negeri yang mengaku negara hukum ini. Kekuatan Islam atau parpol Islam dikerdilkan, agar ia tak mampu berbuat banyak. Tak berhenti di rezim orde baru saja, di rezim selanjutnya para kiyai jawa timur dibantai dengan isu dukun santet. Tapi, apa yang dilakukan oleh umat ini?
Nah, yang terdekat denga kita adalah isu terorisme. Islam dituduh atau direkayasa sebagai agama teroris. Lagi-lagi umat ini tak mampu berbuat banyak. Kenapa ini bisa terjadi?
Umat Islam Harus Berkaca Pada Kasus Bibit-Chandra
Yah, umat ini harus berkaca pada kasus tersebut! Kenapa? Semua mengambil peran, ada LSM yang bergerak, ada Publict Figure yang memainkan isu, ada media Facebook yang dioptimalkan, umat yang bereaksi, peran media yang memblow up isu tersebut. Media kali ini tak hanya mengambil satu sumber berita saja, namun mencari second opinion. Tapi, ketika kasus itu terorisme terjadi, umat ini hanya diam, bahkan media hanya mendapatkan satu akses sumber berita saja, yakni dari kepolosian, mereka tidak mencari second opinion.
Umat ini harus sadar betapa pentingnya sebuah media untuk menyuarakan aspirasi dan membentuk opini. Ketika ada gerakan satu juta facebooker dukung Candra, media cetak atau elektronik rame-rame memberitakannya, ketika ada gerakan facebooker dukung Luna Maya, media memberitakannya. Namun, jika ada gerakan satu juta facebooker tolak pornografi, media diam seribu bahasa. Seolah tak ada gejola yang terjadi. Nah, betapa pentingnya media memainkan peran untuk sebuah isu. Coba saja, jika ada yang mengangkat isu terorisme lagi, dan ada yang membuat GERAKAN SATU JUTA FACEBOOKER TOLAK REKAYASA/PELABELAN ISLAM AGAMA TERORIS. Apa yang bakal terjadi bung?(aries adenata)


Kerja Keras adalah Energi Kita

Rabu, 23 Desember 2009

Nak, Kau Harus Memilih!


Aries Adenata


Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;

Jika kau dihadapkan pada sebuah pilihan, apa yang bakal kau putuskan? Jika pilihan itu sebuah paradoks hitam-putih, baik-buruk, maju-mundur, suka-tidak-suka. Pastinya, kau harus tetap memilih itu. Setiap pilihan pasti ada sebuah konsekwensinya. Yah, seperti yang coba didedah penulis dalam bait-bait puisi karya Robert Frost yang berjudul “The Road Not Taken”.
Jika ada sebuah pilihan, dan pilihan itu adalah jalan yang bercabang { Two roads diverged in a yellow wood}, tentunya pilihan itu membingungkan, kita tidak tahu, apa yang bakal terjadi jika kita memilih jalan salah satu diantaranya, dan pastinya {And sorry I could not travel both} kita tidak bisa berjalan di kedua jalan tersebut dalam waktu yang bersamaan. Tentunya, ada resiko dan peluang jika memilih salah satunya, {And looked down one as far as I could/To where it bent in the undergrowth; } jika telah menetapkan satu pilihan, maka, usaha dan kerja keras untuk mencapai tujuan yang dinginkan.

Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,2
Because it was grassy and wanted wear;3
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,


Ketika dua jalan itu sama, maka, disetiap jalan itu punya kesempatan yang sama untuk dipilih, punya peluang yang sama pula untuk meraih yang diinginkan, jadi, dalam mempertimbangkan untuk memilih jalan itu kita harus adil, tak ada conflict of interest {Then took the other, as just as fair/And having perhaps the better claim}. Dan, setiap jalan atau keputusan berhak atas yang terbaik.
Meskipun masalah yang dihadapi pernah terjadi pada seseorang, dan dia mengambil sebuah keputusan untuk masalah tersebut {Though as for that the passing there/Had worn them really about the same}, kemungkinan yang terjadi tidak pernah akan sama, kemungkian terburuk pun bisa jadi akan sama atau berbeda. Kita tidak tahu. Setiap jalan akan punya capaian tersendiri. Bisa berujung kebaikan atau keburukan.

And both that morning equally lay,
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back


Jika masalah yang terjadi belum pernah ditemui, dan sebuah keputusan belum pernah diambil untuk masalah tersebut. Kita tidak bisa mengambil kedua jalan tersebut. Kita harus tetap memilih satu diantaranya{ And both that morning equally lay/ In leaves no step had trodden black}. Dan, kedua jalan itu telah siap ditempuh, tinggal memilihnya. Ya, memilih satu diantaranya. Menetapkannya, dan akan melaluinya untuk meraih yang diinginkan. Berusaha semaksimal mungkin menapaki jalan yang telah dipilih.{ Oh, I kept the first for another day!/
Yet knowing how way leads on to way/I doubted if I should ever come back}
Tetapi, ada kemungkinan akan memilih jalan yang satunya suatu saat. Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi, tetapi, lagi-lagi tetapi, kemungkinan untuk memilih jalan yang lain itu berat, karena keputusan untuk menapaki jalan yang dipilih telah diambil. Kesempatan itu tak datang dua kali.
...
I shall be telling this with a sigh4
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

Yah, setiap keputusan itu akan kita ceritakan atau bakal kita sampaikan pada suau saatnya, kenapa kita memilih jalan tersebut, untuk mengambil pelajaran darinya, dan kita yakin bahwa jalan yang kita tempuh adalah yang terbaik,{I shall be telling this with a sigh4/Somewhere ages and ages hence:/Two roads diverged in a wood, and I— }, genderang perang telah dimulai, kita tidak tahu apakah keputuaan itu benar atau salah, {I took the one less traveled by/And that has made all the difference}
Apapun keputusan itu, yang jelas keputusan itu akan berdampak pada kehidupan kita. Yah, hidup adalah sebuah pilihan. Jadi, Nak, kau harus memilih…




NB:
-Teks ini hanya sebagian saja dari naskah asli ”Nak, Kau Harus Memilih”
-Tulisan ini dimuat http://ariesadenata.blogspot.com silahkan kunjungi blognya bila berkenan!
-Kerja Keras adalah Energi Kita

Selasa, 15 Desember 2009

Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf


Aries Adenata


“Kau mirip Nabi Yusuf!”
Kekaguman-kekaguman seperti itu sering di hujamkan kepadaku. Aku telan mentah, aku kunyah dulu atau aku telan setengah matang, itu semua terserah aku. Tapi benarkah aku mirip dengan Nabi Yusuf? Kadang ragu mendesakku. Kadang kepongahanku bertahta di egoku. Ah… persetan dengan semua itu. Aku ya aku! Itulah pongahku. Tapi mungkinkah aku kukuh dengan itu semua. Sedangkan aku seringkali berdecak kagum dengan cerita keelokan rupanya yang tiada tandingnya di alam semesta ini.
Untaian puja indah yang melambungkan aku di pucuk awan terus berlanjut dalam denyut nadi kehidupanku. Terus bergulir seperti setitik bola salju kecil yang menggelinding semakin besar hingga kemasyuranku pun sampai ke telinga seorang pejabat yang berpengaruh di kota yang bernama Zulaika. Ia pun melayangkan sepucuk surat kepadaku untuk menghadiri makan malam. Aku sebenarya tidak mau, tapi segan untuk menolaknya. Akhirnya dengan kepongahanku kulangkahkan kedua kakiku kerumahnya tuk menuai pintanya.
“Yah … ternyata benar kau mirip Nabi Yusuf” gumam Zulaika ketika baru datang dalam acara makan malamnya. Kemudian aku dipersilahkan duduk.
“Adakah yang tidak berkenan hingga nyonya sudi memanggilku?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan apakah kau mirip Nabi Yusuf?” matanya menatapku lekat.
“Lalu apa pendapatmu setelah melihatku?”
“Ya…! Kau mirip dengan Nabi Yusuf” sorotan matanya memancarkan letupan birahi
“Tapi apakah Kau pernah melihat Nabi Yusuf”
“Belum. Tapi kata orang Kau mirip Nabi Yusuf. Jadi aku percaya Kau mirip Nabi Yusuf”
“Tapi bagaimana mungkin. Kau belum pernah melihat Nabi Yusuf sudah yakin bahwa aku mirip dengannya!”
“Pokoknya aku percaya karena hati kecilku juga berkata demkian” nada suaranya berubah lembut, tangannya meraba selangkanganku begitu pelan. Aku merasakan ada geletar-geletar dahsyat menjalar dari bawah pusarku. Aku berusaha mengusai diriku. Kuhenyakkan tangannya dari tubuhku dengan halus agar tidak menyinggung perasaannya. Kemudian aku bergegas pamit untuk pulang kerumah.
Beberapa hari telah berlalu pertemuan rahasiaku dengan Zulaika terdengar santer ke seluruh pelosok kota. Tersiar kabar bahwa Zulaika selingkuh dengan seorang pemuda. Mendengar kabar yang memerahkan telinga Zulaika membuat rencana mengadakan jamuan makan malam kusus untuk para wanita dari pelosok kota Negeri. Zulaika memintaku secara kusus untuk hadir dalam perjamuan tersebut.
“Ku harap Kau bisa datang. Ini permintaanku yang paling istimewa” pinta Zulaika
“Baiklah. Kalau ini mendatangkan kebaikan bagi kita semua”
@@@
Para wanita yang datang dari berbagai pejuru kota sudah mulai berkumpul di rumah Zulaika. Hampir keseluruhan yang datang adalah wanita yang sudah bersuami walaupun sebenarnya perjamuan ini untuk wanita secara umum. Wanita-wanita itu mulai menikmati makanan yang di hidangkan dengan lahapnya tanpa mengetahui sebenarnya jamuan makan ini dimaksudkan untuk apa.
“Para tamu undangan yang saya hormati. Ini adalah hidangan pencuci mulut paling istimewa dari saya. Karena buah ini di datangkan langsung dari negeri asalnya. Silahkan di kupas dulu kulitnya…!” ucap Zulaika. Zulaika memberikan buah Apel dan pisau kepada setiap orang yang hadir untuk hidangan pencuci mulut.
Para wanita itu dengan asyiknya mengelupas kulit buah apel. Kemudian Zulaika menyuruhku masuk membawa nampan yang berisi buah apel. Seluruh mata para wanita yang hadir dalam acara itu tertuju kepadaku kemudian mulut mereka semua mengucap…
“Kau mirip dengan Nabi Yusuf !”
“Benarkah aku mirip Nabi Yusuf?”
“Ya. Kau mirip Nabi Yusuf!”
“Tapi. Apakah kalian sudah pernah melihatnya?”
“Beluum…!” serempak seperti koor
“Lalu, bagaimana mungkin. Sedangkan kalian belum pernah melihatnya sudah bisa berkata bahwa aku mirip dengan Nabi Yusuf”
“Pokoknya Kau mirip dengan Nabi Yusuf!”
“Apanya yang mirip?”
“Ya… Kau mirip dengannya”
“Wajahku?”
“Pokoknya Kau mirip dengannya”
“Tubuhku?”
“Sudah! Ngak usah banyak tanya! Pokoknya Kau mirip Nabi Yusuf”
Tanpa sadar tangan mereka telah tercincang sendiri oleh pisau yang di gunakan mereka untuk mengelupas buah apel.
Kuhengkangkan kakiku keluar ruangan yang menjejaliku penasaran, heran dan rasa aneh. Apa yang terjadi dengan para wanita di kota ini. Kenapa mereka semua berkata bahwa aku mirip Nabi Yusuf.
@@@
“Kau di tuduh telah menggoda Zulaika”ucap seorang karib
“Sungguh! Aku tidak menggodanya, tapi dialah yang menggodaku” jawabku.
“Tapi tidak ada yang percaya omonganmu”ucap sang karib kembali. Kami terus bercakap-cakap tentang tuduhan, kekaguman, kemewahan, jabatan dan semua yang berhubungan dengan diriku hingga petang menghampiri kami berdua. Matahari bergerak pelan ingin berlindung di pelukan alam, mungkin lelah setelah sehari penuh menyinari alam semesta. Binatang malam mulai keluar dari sarangnya betebaran di atas jalanan hingga mengenai mata salah satu orang yang datang ke arah kami.
“Sontoloyo! Mataku kena binatang!”ucap petugas Satu.
“Sudah. Ndak usah di hiraukan nanti juga sembuh sendiri. Pokoknya yang penting kita menjalankan tugas dengan baik” sahut petugas dua.
Mereka semakin mendekati kami. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang. Pakian mereka berseragam.
“Maaf. Anda harus kami bawa ke kantor keamanan”ucap petugas tiga.
“Tapi… kenapa Saya harus ke kantor keamanan?”
“Karena Anda di tuduh telah mengoda Zulaika”timpal petugas dua
“Bukan Saya Pak yang menggodanya”
“Baiklah. Kau buktikan perkataanmu di kantor”sergah petugas empat
Suasana semakin tegang
“Tapi Pak…”
“Kau sampaikan keberatanmu di kantor saja”timpal petugas tiga.
Kami pun pergi menuju kantor keamanan. Setibanya di sana aku tidak di mintai keterangan. Saya lansung di jebloskan ke penjara. Hari demi hari kutunggu di mana aku akan di mintai keterangan atau diadili. Tapi hari itu tak kunjung datang aku terus menunggu hari itu tiba hingga aku lupa sudah berapa lama aku mendekam di penjara ini.
“Kawan. Semalam aku mimpi terbang bebas sepeti burung. Apa artinya semua itu?”tanya teman satu sel
“Artinya Kau akan bebas dari penjara ini”
“Hebat. Kau mirp Nabi Yusuf”
Sehari setelah menta`wilkan mimpi tersebut teman satu sel itu di bebaskan. Kini ia telah mendapat kebebasan tetapi aku masih mendekam di penjara yang dekil dan kotor. Beberapa hari kemudian ia datang kembali.
“Hai kawan. Aku datang untuk menanyakan tentang mimpi seorang pejabat kota”ucap teman satu sel dulu yang pernah aku ta`kwilkan mimpinya. Rupanya Ia telah menceritakan tentang aku yang telah menta`wilan mimpinya dengan benar kepada pejabat kota.
“Beliau bermimpi tujuh keping uang di bakar oleh tujuh orang anak kecil”
“Negeri ini akan megalami krisis pangan. Kalian semua harus pandai menabung dan berhemat untuk persiapan jika krisis itu menimpa negeri ini”
“Hebat…! Kau mirip Nabi Yusuf”
“Apanya yang mirip ?”
“Pokoknya kau mirip Nabi Yusuf”
Sehari kemudian ia datang kembali.
“Kawan! Sang pejabat puas dengan ta`wilmu serta solusi yang kau berikan. Beliau mengucapkan banyak terima kasih”
“Bolehkah saya ketemu dengan beliau”
“Ya. Nanti saya sampaikan”jawab sang teman.
Keesokan harinya ia kembali.
“Beliau ingin ketemu denganmu!”
Kami berdua melangkah keluar dari penjara. Ia mengantarkan aku sampai kantor sang pejabat.
“Yah…! Ternyata kau mirip Nabi Yusuf”ucap sang pejabat
“Benarkah Tuan?”
“Aku telah mendengar kemahsyuranmu. Sungguh! Kau mirip Nabi Yusuf”
“Apanya yang mirip Tuan?”
“Pokoknya kau mirip Nabi Yusuf”
“Bolehkah Saya minta sesuatu agar hidupku seperti kisah Nabi Yusuf Tuan”
“Apa itu?”
“Tuan…! Zulaika telah menggodaku seperti Zulaika zaman dulu menggoda Yusuf. Wanita-wanita tangannya tercincang ketika melihatku pada perjamuan makan, sama seperti wanita-wanita dulu melihat Yusuf tanpa sadar tangannya juga tercincang. Selanjutnya saya juga bisa menta`wilkan mimpi pejabat seperti Yusuf yang dulu menta`wilkan mimpi pejabat. Tuan…! Agar kisahku genap seperti Nabi Yusuf aku punya permintaan?”
“Apa itu. Sebutkan?”
“Aku ingin seperti Nabi Yusuf yang mendapatkan jabatan urusan keuangan agar bisa mencegah terjadinya krisis pangan”
“Apaa…!”sang pejabat kaget.
“Berani sekali kau memintaku seperti itu. Siapakah Kau? Hingga berani meminta itu kepadaku!”sang pejabat marah
“Aku tuan. Aku yang mirip Nabi Yusuf!”suaraku lantang.
“Apa! Kau mengaku mirip Nabi Yusuf. Bercerminlah dulu sebelum berkata!”bentak sang pejabat
“Ya. Aku mirip Nabi Yusuf” Aku kini mulai berani mengatakan itu semua karena sudah banyak orang yang berkata demikian serta kisahku yang mirip sekali dengan Nabi Yusuf.
“Bercerminlah dulu!” perintah sang pejabat.
Ajudan sang pejabat itu mendekatiku. Ia memberikan sebuah cermin. Kuterima cermin itu, kemudian aku angkat kedepan wajahku. Tapi apa yang kulihat dalam cermin itu? Kaca itu kosong dan bening berkilau tanpa ada pantulan wajahku.
“Dimana wajahku? Kenapa di cermin ini tidak muncul wajahku?” suaraku parau kubuang kaca itu. Kutatap sang pejabat, lalu temanku satu sel, kemudian sang ajudan itu dan semua orang yang hadir dalam ruangan itu. Tapi aneh…
“Kenapa wajah kalian semua mirip Nabi Yusuf ?”


*Kerja Keras adalah Energi Kita

Wanita dan Air Surga


Aries Adenata



“Kenapa kau selalu menyentuh air ini?”
“Air surga!” hanya sepatah kata itu yang keluar dari mulut wanita itu setiap ditanya penduduk kota.
Dua telapak tangannya yang lembut mengkatup, membelah sembulan air bening, jernih yang keluar dari retak tanah yang berkubang. Sejak kapan kubangan yang bentuknya mirip segilima itu mengeluarkan air terus-menerus tanpa pernah kering. Penduduk kota tidak pernah ada yang mengatahui perihal asal muasalnya, tahun mulanya, kegunaannya seperti sejarah yang terlupakan. Sejak kapan pula wanita yang wajahnya menyinarkan kesejukan itu hadir dan menyentuh takdzim air kubangan, kemudian wajahnya menengadah ke langit hingga ia lenyap entah kemana. Hampir tiap hari dan di waktu-waktu tertentu wanita itu hadir di tempat itu .
Deru sepeda motor, asap knalpot, bentak orang tua kepada anaknya karena pusing diminta bayaran sekolah, rengek anak kecil minta dibelikan permen yang mirip di layar televisi, bisik rayu dua pemuda di sudut ruangan, negosiasi para koruptor tentang bagi hasil korupnya, rintih manja istri muda kepada suami yang dianggap setia dan wanita yang ada dirumah, teriakan orang menjual dagangannya membahana memenuhi langit kota ini melumat doa dan harap segelintir orang yang masih sudi menghadapkan wajahnya kepada sang pencipta. Yang tidak mau terperosok jauh kepusaran dunia materialisme. Penduduk kota tenggelam dalam hiruk pikuk kepentingan individu masing-masing. Mereka tak menghiraukan lingkungan mereka, keadaan kotanya, situasinya, siapa saja orang yang bermukim, tinggal di kota ini. Termasuk wanita yang selalu hadir di kubangan air itu.
Penduduk kota tidak merasa terusik akan kehadirannya. Namun, wanita itu menjadi pergunjingan para penduduk seakan kerupuk yang renyah untuk camilan. Di berbagai tempat mau berangkat kerja, berangkat kuliah, di tempat hajatan, pasar, warung, kantor, pos ronda, tempat nongkrong, ibu-ibu arisan, ibu-ibu PKK, ibu-ibu darma wanita. Bahkan, para ABG yang sedang asyik bermain playstation juga menggunjingkan wanita itu. Mereka tidak tahu nama wanita itu, namun, wanita itu meroket tinggi mengalahkan popularitas artis-artis yang sering muncul setiap hari di infotainment kita, seakan wanita itu sudah menjadi milik bersama penduduk kota ini.
“Kenapa wanita itu selalu dikubangan air itu?”
“Air surga. Pasti kata itu yang selalu diucapkan kepada setiap orang yang bertanya” jawab lelaki dua.
“Apa maksudnya?”
“Nah…! Itu teka -tekinya” suaranya mantap sekaligus menebar penasaran.
Hari demi hari akhirnya warga mulai terusik juga dengan teka-teki air surga. Mereka mencoba menerka-nerka air surga. Penduduk berusaha sekuat tenaga dan menguras pikiran hanya untuk menjawab sebuah teka -teki tersebut.
“Wanita itu pasti ingin menunjukkan bahwa kubangan air itu bertuah!” ucap perempuan satu dengan penuh keyakinan.
“Tidak mungkin, karena tidak ada keganjilan yang terjadi” sangkal perempuan dua.
“Aku tahu! Pasti air itu mengandung khasiat”
“Kalau berkhasiat, sudah dari dulu orang-orang berobat ke sini” sela lelaki tua.
“Ah, gitu saja kok repot! Pasti wanita itu punya kenangan di kubangan air itu!”
“Semua ngawur!” ucap seorang lelaki dengan langkah tegab bergabung dalam kerumunan. Wajahnya beriwibawa mensiratkan bahwa dia seorang pejabat.
“Lalu yang benar apa?” tanya perempuan paro baya.
“Benar kalian pengin tahu!”
“Ayo cepat katakan tidak usah bertele-tele” timpal orang-orang
“Yang benar karena dirumahnya tidak ada air hehehe…” lelaki itu nyengir.
“Huuu…!” kontan semua yang berkerumun menyorak lelaki itu. Kemudian mereka bubar. Percakapan tadi ternyata belum mampu menuai kepuasan mereka. Teka -teki air surga terus berlanjut, makin berkembang dan makin meluas kemana-mana. Menerka-nerka air surga kini menjadi pekerjaan kedua setelah pekerjaan pokok. Setelah pulang dari kantor, pulang dari sekolah, pulang dari pasar, pulang mengajar, pulang berjualan dan semua kepulangan mereka pasti bergegas memperbincangkan wanita dan air surga.
Penduduk kota selalu menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum habis jam kerjanya agar secepatnya bisa menggunjingkan tentang wanita dan air surga. Fenomena yang luar biasa karena mereka biasa menunda pekerjaan. Jam demi jam, hari demi hari, bulan silih berganti dengan matahari namun penduduk kota juga belum dapat menjawab teka-teki air surga.
Penduduk kota semakin penasaran. Mereka makin sering berkumpul menggunjingkan air surga. Bahkan, dalam perkembangannya makin menjadi-jadi, mereka mengumpulkan orang-orang yang sekiranya dipandang mampu menjawab teka-teki tersebut, mulai dari paranormal, guru, dosen, pakar fisika, pakar kimia, pengamat politik, sosiolog, kriminolog hingga pejabat yang berpengaruh di kota ini. Di dalam satu ruangan mereka bertemu dan mendiskusikannya dengan sengit. Mereka mengeluarkan argumen masing-masing berdasarkan teori-teori yang mereka kuasai sesuai basik keilmuannya. Perdebatan mereka makin panas.
“Wanita itu perlu kita periksa kondisi kejiwaannya dulu” ucap sang dokter.
“Tidak perlu. Paling wanita itu hanya ingin mengalihkan perhatian dari isu pemogokan nasional dengan menciptakan mitos agar perhatian masyarakat terarah ke air surga karena masyarakat Indonesia, khususnya jawa, suka dengan isu yang berbau mistik dan tahayul” sela sang pengamat politik.
“Saya minta ucapan tadi ditarik!” suaranya keras, memuntahkan emosi. Sanggah sang paranormal mendengar argumen sang pengamat politik.
“Itu sebuah pelecehan bagi budaya dan kepercayaan penduduk di dunia ini, memang ada tempat yang bertuah dan keramat” lanjut sang paranormal dengan muka merah.
“Sudah! Kita harus berpikir jernih. Kalau semua ini tetap dilanjutkan, ini tidak mendidik masyarakat kita” sahut sang guru.
“Tidak! Kita harus tetap dan segera menyelesaikan teka-teki ini agar keadaan kota kembali normal dan tentram” ucap sang pejabat.
Debat yang berkepanjangan membuat sebagian penduduk kota mulai tidak sabar menanti fatwa pertemuan itu.
“Kenapa kita harus menanti hasil pertemuan yang belum tentu ada hasilnya!” celetuk lelaki satu.
“Iya. Kenapa kita tidak langsung rame-rame mendatangi dan menanyakan apa maksud air surga kepada wanita itu!” imbuh lelaki dua.
Suasana di luar ruangan makin panas dan tegang.
“Ayo …! Kita langsung rame-rame ke air surga” lelaki tiga memberi komando. Penduduk yang tidak sabar segera bergerak ke arah air surga. Penduduk yang semula masih sabar menanti mulai terhasut, mereka juga itu merangsek menuju air surga.
“Maaf, tuan-tuan! masa penduduk mulai bergerak ke air surga” lelaki tua masuk dengan tergopoh-gopoh memasuki ruang pertemuan memberi tahu keadaan terakhir.
Tanpa diberi komando, peserta diskusi segera berhamburan keluar bergabung dengan masa penduduk. Massa semakin mengalir banyak mengarah ke satu titik, air surga. Terik sinar matahari, udara yang panas membuat suasana makin panas. Celetukan penduduk yang memprovokasi makin membuat genting keadaan. Setelah berjalan sekitar setengah jam akhirnya masa mulai tiba di air surga.
“Kenapa kau berada dikubangan air ini?” tanya lelaki satu.
“Air surga” jawab wanita itu.
“Apa maksudmu?” desak lelaki tiga.
“Air surga” jawab kembali wanita itu.
“Kau jangan main-main. Kami sudah tidak sabar menanti jawabanmu!” sergah lelaki dua.
“Air surga. Itu jawabnya” ucap wanita itu dengan nada serius. Dahinya mengerenyit, matanya menyorot tajam.
“Bakar saja kalau tidak mau menjawab” teriak seorang yang berada ditengah kerumunan.
“Ya bakar saja, bunuh saja, hajar saja, bakar saja…” emosi massa mulai meluap-luap, keadaan semakin tak terkendali. Masa mulai meringkuk wanita itu. Dalam sekejap kayu sudah terkumpul entah datangnya dari mana.
“Cepat jawab!”
“Air surga” hanya sepatah kata itu kembali yang keluar dari mulut wanita itu. Mendengar ucap wanita itu, masa berang, marah seperti kesurupan mereka menyiram kayu dan tubuh wanita itu dengan minyak.
“Dengarkan dulu. Aku punya permintaan untuk kalian semua” ucap wanita itu.
Keadaan tiba-tiba hening
“Setelah kalian membakarku. Ambilah air surga ini, kemudian tengadahkan wajahmu ke langit!”
Sedetik setelah wanita itu selesai berwasiat. Api melumat kayu dan wanita itu. Penduduk bersorak-sorak seperti kesetanan. Setelah api padam penduduk seperti tersadar. Mereka menyesal. Seluruh mata mereka meluruhkan air mata penyesalan. Isak tangis membahana di langit. Tubuh mereka lemas tak mampu berpijak di bumi. Mereka tertegun dan heran kenapa mereka bisa membakar hidup-hidup wanita itu.
“Mari kita tebus penyesalan ini dengan memenuhi permintaannya yang terakhir” celetuk salah satu penduduk.
Serempak penduduk mengambil air kubangan. Air mengalir ke sekujur tubuh mereka, kemudian wajah mereka menengadah ke langit. Mereka merasakan sesuatu yang aneh masuk ke relung hati.
Mereka seperti merasakan sesuatu hadir kembali pada diri mereka yang selama ini hilang dari diri mereka. Kemudian dengan serempak mulut mereka mengucap …
“Air surga…”.
Ku tunai pintamu! Solo 2005


*Dimuat di Solopos 13 November 2005
** Kerja Keras adalah Energi Kita

Senin, 07 Desember 2009

Pasar Tradisional: Sebuah Identitas Budaya


Pasar Tradisional: Sebuah Identitas Budaya
Aries Adenata, S.S·


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya. Sebuah kalimat yang layak kita renungkan. Benarkah kita bangsa yang besar? Bisakah kita menghargai budaya kita sendiri? Tidak usahlah kita membahas sesuatu yang cakupannya begitu luas. Cobalah kita menengok yang ada di hadapan kita atau yang terjadi hampir tiap hari dalam kehidupan kita. Ya! Hampir setiap hari kita ataupun anggota keluarga kita mekukan proses jual-beli atau aktifitas belanja. Kenapa itu yang dibahas? Dan dimana aktifitas itu dilakukan? Apakah di Mall atau di pasar tradisional?
Jika kita tengok dan kita urai pertanyaan-pertnyaan diatas, banyak hal yang ternyata akan menggungkap sebuah identitas budaya bangsa kita. Budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur kita.
Pasar Tradisional Tempo Dulu
Warisan budaya itu adalah pasar tradisional. Dalam beberapa prasasti menyebutkan bahwa pasar tradisonal di masa Jawa kuno telah terbangun sebuah sistem berdasarkan kosmologi yang dianut dan dipercaya oleh masyarakat Jawa kuno.
Salah satu prasasti tersebut adalah Prasasti Garaman yang berangka tahun 975 Saka (1057 M). Dalam prasasti tersebut tersirat ada hubungan antara sistem pasar dengan panatur desa dan panasta desa. Di masa kemudian konsep itu dikenal dengan konsep mancapat dan mancalima, yaitu desa induk dikelilingi oleh empat desa yang terletak diarah empat penjuru mata angin, atau desa induk dikelilingi oleh delapan desa yang terletak di arah delapan penjuru mata angin.
Konsep panatur dan panasta desa ini dikaitkan dengan sistem klasifikasi hari-hari pasar yang lima atau pancawara yang kemudian dibakukan dengan menggunakan klasifikasi hari berdasarkan kosmologi yang dianut oleh masyarakat pada masa itu, yaitu Umanis/Manis, Pahing, Pon/Pwan, Wagai/Wage, dan Kaliwuan yang pada masa kini disebut Manis/Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon. Satu sistem atau rotasi yang lamanya lima hari pada masyarakat Jawa sekarang.
Dalam Prasasti Pangumulan A yang berangka 824 Saka (902 M) dijelaskan mengenai adanya orang-orang yang datang dari satu desa ke desa lain untuk berdagang pada hari-hari pasar. Dengan demikian, pada hari pasar, para pedagang dari desa itu sendiri maupun desa-desa di sekitar pasar membawa dagangan mereka ke pasar.
Disamping sistem berdasarkan kosmologi, pasar di Jawa kuno juga diperhatikan penempatan lokasi pasar. Pada masa Mataram kuno, lokasi pasar dekat dengan sungai, dengan kata lain dekat dengan akses transportasi. Penataan tempat lokasi pasar ini dapat dilihat dalam Parsasti Turyyan. Dalam prsasti tersebut disebutkan sungai tersebut adalah Kali Lesti yang melewati Kecamatan Turen (Jawa Timur). Sedangkan pada masa Majapahit dan kerajaan-karajaan pada abad ke 17 sampai ke 18 M. Dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh 8.2 dan pupuh 12.3 disebutkan sturktur pasar kerajaan Majapahit(Abad 14 sampai abad 15). Bahwa pasar terletak di sebelah tempat tinggal Bhatara Narapati dan di sebelah selatan pasar terdapat pemukiman yang padat. Juga dapat dilihat bahwa pasar pada abad 17 dan 18 M. struturnya tempatnya adalah dari selatan ke utara dimulai dengan keraton, alun-alun, kemudian pasar. Sepertihalnya yang ada di salah satu pasar di Solo yaitu. Jika strukturnya diurutkan maka akan sama, mulai dari selatan yaitu keraton kasunanan, kemudian alun-alun utara dan selanjutnya adalah sebuah pasar yang kita kenal dengan pasar Gede.

Pasar Tradisional, Sebuah Identitas Budaya.
Pasar bagi masyarakat Jawa tidak hanya dianggap sebagai tempat jual beli saja, tetapi pasar juga dianggap sebagai tempat interaksi sosial, bertemunya masyarakat, saling berkomunikasi dan pusat keramaian. Bagi masyarakat Jawa, mereka mengenal pepatah yaitu, “Tuna satak bathi sanak” yang artinya rugi uang, tapi mendapatkan saudara. Dengan peribahasa tersebut, masyarakat Jawa tidak hanya mengejar keuntungan semata, tetapi juga hubungan kekeluargaan kalau dapat dibina terus. Kenapa ini bisa terjadi, karena di pasar ada kesempatan bagi para pembeli dan penjual untuk saling tawar menawar yang berakibat timbulnya kesempatan untuk saling berkomunikasi. Jika dibandingkan dengan pasar modern atau Supermarket, Mall, Waralaba, Mini Market dan sebagainya kesempatan untuk tawar menawar yang akan menimbulkan sebuah proses untuk berkomunikasi tidak ada. Mereka hanya tinggal mengambil barang yang sudah ada label harga dan kemudian membayarnya di kasir, itu saja. Dari sisi karakter kita dapat melihat bahwa budaya sebenarnya masyarakat Jawa itu adalah masyarakat yang sosialis dan ramah.
Jika dilihat dari kacamata budaya pemanfaatan waktu, pasar tradisional akan memperlihatkan sebuah identias budaya masyarakat Jawa sesungguhnya. Di pasar tardisional aktivitas sudah dimulai sejak dini hari atau waktu Shubuh, sedangkan pasar modern yang kini membanjiri kota-kota besar di Jawa dan sekarang mulai menyerbu kota Solo, aktivitas atau jam buka baru dimulai sekitar pukul sembilan sampai sepuluh pagi. Dari perbandigan ini terlihat bahwa budaya asli masyarakat Jawa sebenarnya tidak pemalas, mereka sudah beraktivitas di pagi hari betul, sedangkan pasar modern yang notabene berasal dari barat menujukan bahwa sebenarnya budaya mereka adalah budaya malas untuk melakukan ativitas di pagi hari.
Dari dua identitas budaya diatas, pasar tardisional juga dapat memperlihatkan budaya pergaulan masyarakat Jawa, khususnya wanita Jawa. Pasar tardisional akn menkhiriaktivitasnya pada siang hatriya atau paling mentok pada soer hari. Sedangkan pasar modern akan tutup pada pukul sembilan sampai sepuluh malam. Dengan jam tutup pasar modern tersebut, para memungkinkan baik itu laki-laki maupun perempuan dapat beraktivitas dan pulang pada larut malam. Padahal dalam masyarakat Jawa mengenal pameo “Wong wedok wis bengi isih dolan, ora elok!”. Kearifan lokal atu The Local Wisdom itu jangan diartikan sebagai pembatasan gerak dan waktu bagi para perempuan Jawa. Justru budaya atau kearifan lokal tersebut menunjukan bahwa para perempuan Jawa begitu diperhatikan dan dijaga.
Dari segi budaya penetapan skala prioritas, pasar tradisional adalah tempat bagi orang yang memang betul-betul membutuhkan barang atau makanan yang akan dibeli karena memang barang atau makanan tersebut betul-betul mereka butuhkan. Sedangkan orang yang datang ke pasar modern adalah orang yang mengejar prestige saja dan juga mereka akan kewalahan ketika datang ke Mall karena beragam penawaran yang akan mengaburkan orang untuk membeli barang yang sebenarnya ingin dibeli, bisa jadi mereka akan membeli barang atau makanan yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena barang tersebut dibeli berdasar bujuk rayu program diskon dan beraneka produk yag ada. Disisi lain, barang atau makanan yang dibeli berasal dari luar negeri sebenarnya hanya untuk mengejar prestige saja, bagaimanapun lidah seseorang tidak akan bisa dibohongi. Lidah Jawa tetap lidah Jawa, mereka akan lebih suka mencecap dan mengunyah pecel, gado-gado daripada beefburger atau spagethi.
Jika pasar tardisional adalah sebuah identitas budaya kita. Maka, sangat layak jika kita menyebut pasar tradisional, The Truely of Heritage!(di ambil dari berbagai sumber)


*Kerja Keras adalah Energi Kita

Mengolok-ngolok FLP


Aries Adenata


Ketika membaca essay-essay Iwan Simatupang, aku terasa dihajar, kepalaku bak dibenturkan tembok, aku terhuyung, bahkan, hampir roboh ke bumi. “Gila, Iwan Simatupang memang, gila” Gumamku. Semakin aku bergumul dengan tulisannya. Darahku naik ke ubun-ubun, aku pun pasang kuda-kuda, siap menyerang balik, menghajarnya, bahkan siap bergulat dengan pemikirannya. Tak hanya itu, amarahku menyebar, membias dan memantul ke arahku.
Ketika aku sudah merasa kuda-kuda ku siap, aku siap membenturkan diri denganya. Tapi, tunggu dulu! Kenapa aku kini merasa enggan untuk menghajarnya, bahkan tertunduk malu, memandangnya pun aku ndak berani. Apakah nyaliku redup. Jadi pengecut, pecundang yang ingin lari ketika sudah dihajar habis-habisan olehnya.
Kenapa? Aku mencari cermin, kulihat diriku dan orang sekitar ku. Wow, aku terhenyak, bahkan, hampir terjungkal menyadari diri, aku dan orang-orang sekitarku yang mengaku penulis dan telah berserikat sekian tahun tak beranjak dari tidurnya, yang diaku sebagai pabrik pembuat cerita, yang mengaku sebagai perserikatan penulis terbesar di negri seribu bencana dan duka ini.
Oh kenapa? Aku baru sadar, sekian tahun tumbuh kembang diantara para komunitas lain, pubhilsing, pegiat, kritukus, tidak bisa mengambil sari pati pelajaran dari mereka. Kenapa? Apakah aku dan perserikatanku sudah bebal tak mau mendengar itu semua? Atau memang pura-pura tak mau mendengar masukan dan kritikan dari mereka. Atau masukan itu terlalu satun, sehingga kita dengan enteng dan mudah menghindar atau bahkan berselimut dibalik kebesaran nama yang telah dipupuk oleh generasi pendahulu kita. Kalau benar, perserikatan ini memang harus diolok-olok karena tak mau merubah diri, berbenah diri.

Melahirkan Kritikus Karya

Sebuah serikat penulis yang hanya memikirkan pertumbuhan kader masal tanpa menigkatkan kualitas tulisan para kadernya. Sebuah serikat yang pincang, yang tak mau mengembangkan sayapnya. Bagaimana tidak, serikat yang sudah tambun ini tak memikiran tuk melahirkan essayis atau kritikus dari dalam mereka, mereka asyik berkutat dengan produksi karya yang masal, tanpa diimbangi dengan kritik yang handal dan tajam. Sebenarnya, sadar atau tidak sadar, betapa pentingnya melahirkan kritikus sastra/karya dari dalam. Menurut Iwan Simatupang, Kritikus sastra bak seorang manager promosi yag handal, ia mengulas kelebihan sebuah karya hingga ia bisa diapresiasi oleh semua golongan dan masyarakat, sebuah karya akan menjadi dikenal, bahkan menjadi populer oleh ulasan para kritikus sastra/karya.
Bangun bung, kalian serikat penulis yang memiliki kader-kader para dosen sastra. Data dan kumpulkan mereka untuk bergumul dan menghajar karya-karya dari dalam. Bahkan, pukul balik jika ada yang menyerang karya kalian. Kini, saatnya menghimpun serikat penulis ini untuk menujukan taringnya.


Politik Sastra

Tak hanya itu, aku juga sadar betapa kita lemah tak berdaya menghadapi sebuah politik sastra, kita menjadi bola bagi komunitas dan mafia perbukuan di negeri para koruptor ini. Ditendang dan dilempar kesana-sini, hingga kita hanya mengikuti arus dan sekenario yang telah mereka buat. Sadar bung! Kini, saatnya kita sadar dan mampu membuat politik sastra. Kalian sudah punya kader yang menduduki posisi strategis di ranah-ranah publishing, sebuah modal besar untuk bermain dan membuat rekayasa/politik sastra.
Bangun bung, kalian sudah punya kepengurusan baru, buat dan manfaatkan divisi kritik untuk mengkader penulis kritik, buat divisi ini mampu menghajar tulisan kader-kadernya sendiri, tulisan orang lain, buat divisi ini untuk melek dengan politik sastra, bahkan rekaya social.
Sadar bung, kepalkan tangan, sisingkan baju, sudah saatnya kalian tak tertidur lagi dengan kepengurusan yang baru. Sebuah kapal yang telah dinahkodai Intan Setiawati Savitri (Hehe... Mbak Intan guru nulisku ketika di Solo. PEACE!)
Sementara, sekian dan terimakasih telah membaca olok-olokan ini.

*Kerja Keras adalah Energi Kita

Menghadirkan Sastra di Ruang Publik Solo


Aries Adenata


Sastra dan Masyarakat

Sastra adalah sebuah media untuk menyampaikan kebaikan untuk kebaikan. Sastra adalah media untuk memanusiakan manusia. Sastra adalah cermin atau pantulan dari masyarakat itu sendiri dan ungkapan-ungkapan lainnya. Sedabrek ungkapan sastra nyaring terdengar ditelinga kita. Namun, secara umum (bukan kesimpulan) bahwa sastra adalah alat untuk menebarkan nilai, idealisme, dan pemikiran.
Nah, jika ungkapan-ungkapan tentang sastra itu memang benar adanya, yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana posisi sastra di tengah masyarakat kini? Kenapa pertanyaan itu bisa muncul! Ya, kini sastra patut dipertanyakan keberadaannya. Sastra tidak lagi menempati hati masyarakat. Sastra yang dahulu menjadi ujung tombak untuk sebuah perubahan, jika kita tarik keberadaan karya sastra tempo dulu, ketika di zaman Hindia Belanda, sastra menjadi sebuah alat propaganda, ketika era menjelang kemerdekaan, sastra menajdi sarana untuk memprovokasi masyarakat agar punya semangat nasionalis, dan bagaimana ketika sastra menjadi alat pendobrak sebuah tradisi kolot yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, lihat saja karya sastra”Siti Nurbaya”karangan Marah Rusli, sebuah karya yang menentang akan perjodohan yang sudah tidak lagi tepat untuk diterapkan di zaman sekarang (masih banya lagi pesan yang disampaikan oleh karya tersebut, ini hanya satu tafsir saja).
Dahulu juga, ketika zaman belum mengenal media radio ataupun televisi, bagimana cerita rakyat atau dongeng menjadi media satu-satunya dalam menyampaikan pesan kepada masayakat, sarana itu menjadi sangat ampuh. Dengan hadir dalam pertemuan keluarga menjelang tidur, cerita rakyat hadir dan diperbincangkan ditengah-tengah pertemuan warga, pertunjukan wayang orang dan wayang kulit bisa kita dapati di kampung-kampung. Dan bagaimana sekarang? Sastra tak menempati ruang kusus masyarakat, kini masyarakat lebih suka dengan media audio visual.

Publik Space di Solo
Kini, public space di Solo mulai tergarap dan tertata lebih baik. Mulai dari City Walk, Taman Balai Kambang, Taman Sriwedari, Taman Budaya Jawa Tengah dan berbagai tempat lainnya. Dengan adanya public space yang kini sudah tersedia lebih baik, seharusnya ada upaya untuk memanfaatkan tempat tersebut semaksimal mungkin, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Memanfaatkannya. Kita coba menarik satu contoh saja, Taman Budaya Jawa Tengah, disana tersedia berbagai fasilitas mulai dari arena teater, musik dan lain-lain, tapi, yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sebuah masyarakat atau komunitas kecil bisa tampil atau diberi ruang dan waktu untuk bisa menikmati dan menggunakan fasilitas tersebut, jika harus merogoh kocek yang besar untuk bisa menggunakannya, bagi masyarakat proletar atau komunitas marjinal, mereka tidak akan mampu untuk menggunakan, apalagi menikmati fasilitas yang tersedia disana.
Tak adil jika kita tidak membandingkan dengan public space yang lain, lihat saja city walk, sebuah fasilitas yang dilengkapi dengan hot spot, masyarakat diberi keleluasaan yang luar biasa untuk bisa mengakses internet secara gratis. Sedangkan untuk memanfaatkan, sekedar duduk dan menikmati pemandangan di sekitarnya, tidak dipungut biaya.

Sastra Solo di Publik Space Solo?
Sudah dibahas diatas, bagaimana posisi sastra di masa lalu dan kini, serta bagaimana kondisi public space yang ada di Kota Solo dengan jargonnya “The Spirit of Java”. Nah, kini yang menjadi PR bersama adalah, bagaimana mereposisi kembali sastra di tengah masyarakat? Juga, bagaimana memanfaatkan public space yang ada di Kota Solo?
Penulis mencoba menawarkan sebuah gagasan, entah diterima atau hanya dianggap sebuah celotehan saja, tetapi ada sebuah niatan baik untuk membumikan sastra kembali. Gagasan tersebut adalah, dengan memanfaatan public space yang sudah tersedia itu, untuk dimanfaatkan atau digunakan untuk kegiatan bersastra dan berkesenian, agar masyarakat kecil, serta umum dapat menikmati, serta mendapatkan pembelajaran dan penyebaran nilai dari sastra.
Kita sudah mahfum, bahwa di Solo ada sebuah public space yang diperuntukan untuk bersastra dan berkesenian. Tetapi, ruang itu hanya bisa dinikmati oleh yang punya anggaran, juga orang yang betul-betul konsern dengan sastra dan seni, kita sering melihat, bagaimana acara-acara sastra dan seni di TBJT, hanya dihadiri oleh segelitir orang saja, karena image yang ada, TBJT adalah tempat yang angker dan angkuh, angker dalam artian hanya orang yang punya talent di bidang sastra saja yang mau masuk. Angkuh, karena hanya orang tertentu saja yang bias memanfaatkan fasilitas disana.
Solo adalah gudang komunitas sastra dan pegiat sastra, jika pegiat sastra dan komunitas sastra memanfaatkan public space yang ada di Solo, sastra dan seni tak kan dipandang lagi menjadi sebuah aktivitas eklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja, jika sastra dan seni hadir di ruang public space tersebut, maka, masyarakat umum akan mudah mengakses dan menikmati sastra tersebut, juga kegiatan pemanfaatan public space tersebut oleh pegiat sastra dan komunitas sastra adalah dalam upaya untuk memasyarakat sastra dan seni di tengah masyarakat yang kini posisinya sudah tergeser oleh audio visual. Namun, perlu diperhatikan juga, bahwa manusia adalah mahkluk sosial, mereka akan membutuhkan sarana untuk berinteraksi dengan orang lain. Untuk itu, jika ada aktifitas di public space, maka aktifitas itu akan menjadi tempat atau sarana untuk berinteraksi dengan yang lain.
Ada satu public space di Solo yang kini bergeliat dan mulai menampakan eksitensinya di tengah-tengah masyrakat, yaitu city walk. Keberadaannya kini muali terasa, namun, belum begitu optimal. Ada bebrapa event seni, sastra maupun budaya yang sudah beberapa kali berlangsung disana, diantaranya adalah pameran kartun, Solo batik carnival, kuliner dan lain-lain. Sungguh, jika tempat ini dimanfaatkan betul-betul oleh para pegiat sastra dan komunitas sastra, maka, city walk akan menjadi ruang ekpresi sastra dan budaya yang mampu memasyarakatkan sastra dan budaya karena beberapa faktor. Pertama, ketika hadir disana, masyarakat tidak harus dipungut biaya. Kedua, kesan inklusifitas yang menempel di TBJT tidak akan muncul disana, karena image yang muncul untuk city walk adalah tempat kongkow-kongkow, berbeda dengan TBJT yang berkesan tempat khusus untuk sastra dan seni saja. Ini adalah sebuah keuntungan dan peluang yang harus diambil oleh para pegiat sastra dan komunitas sastra, jika mereka ingin menghadirkan sastra di public space Solo.
Semoga saja public space yang lain di Kota Solo juga aksesnya semudah city walk alias gratis. Jika pemkot beritikad demikian, maka penulis yakin akan makin suburnya pegiat sastra dan komunitas sastra, seni dan budaya yang akan lahir, tumbuh dan memanfaatkan public space yang ada. Maka, akan terejawantahkan betul semboyan yang kini santer didengung-dengungkan oleh pemkot Solo, yaitu “Solo The Spirit of Java”.
Yang menjadi persoalan berikutnya adalah, apakah ada para pegiat sastra atau komunitas sastra mau membaur, memanfaatkan dan hadir di public space di Solo? Saya yakin ada! Karena para pegiat sastra dan komunitas sastra ingin terus menghidupkan dan memasyarakat sastra kembali. Tapi kapan? Dan siapa? Kita tunggu saja tanggal mainnya…


*Kerja Keras adalah Energi Kita

Menggagas Temu Sastra Solo


Aries Adenata


Berbicara tentang kegiatan bersastra atau berbudaya, kota Solo adalah tempat menyemai benih, tempat kelahiran juga tempat tumbuh-kembang para seniman dan budayawan. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan besar adalah, dengan semua predikat yang disandangnya, apalagi jargon yang sekarang dihasung oleh pemkot Solo, Solo The Spirit of Java. Apakah para pelaku seni atau pekerja seni Solo mampu membawa masyarakat menjadi subyek dari proses berkesenian atau justru tetap mempertahankan masyarakat yang hanya dijadikan obyek seni itu sendiri. Kenapa pertanyaan itu muncul? Ya, muncul karena rasa keprihatinan penulis melihat fenomena bahwa sastra sekarang hanya menjadi milik kalangan tertentu yang memuja-mujanya begitu berlebihan. Sastra kini menempati dunianya sendiri, ia tidak mampu dijangkau oleh masyarakat awam, apalagi untuk bisa hidup ditengah-tengah masyarakat yang kini semakin komplek permasalahannya.
Sastra juga bisa diibaratkan buah durian, bagi pemuja ia begitu nikmat, bagi orang yang tidak suka, mencium baunya saja ia sudah muntah-muntah apalagi untuk memakannya, ia bakalan mabuk laur biasa. Untuk menjawab pertanyan diatas, tentunya harus ada upaya yang serius dari pemkot kota Solo , DKS (dewan kesenian Surakarta) dan para pelaku seni di kota Solo dan sekitarnya. Kenapa harus Solo dan sekitarnya, karena Solo adalah medan magnet bagi para pelaku seni sekitarnya, tentunya sangat bijak bila para pelaku seni dan masyarakat daerah disekitarnya ikut memperhatikan dan diperhatikan oleh kota Solo, karena disekitarnya adalah daerah dari dampak medan magnet tersebut, yang tentunya berdampak bagi citra Solo dan daerah disekitarnya juga. Harus ada sebuah mutualisme-simbiosis diantara berbagi pihak yang berkepentingan untuk terus melestarikan seni dan budaya.
Lalu, upaya apakah yang harus ditempuh? Siapa yang harus memikul tanggung jawab tersebut? Dimana? Kapan? Ada beberapa institusi yang secara moral punya kewajiban untuk memikul tanggung jawab tersebut. Pertama adalah pemerintah kota Solo. Karena secara infrastruktur dan finansial pemkot Solo sangat mendukung. Tengok saja fasilitas yang ada di Solo, misalnya TBJT (taman budaya Jawa Tengah) yang berlokasi di wilayah Solo. Dengan menyandang nama Jawa Tengah tentunya daya jangkau tempat tersebut tidak hanya untuk kalangan Solo semata, tetapi untuk seluruh jawa Tengah. Sekali lagi, saya menegaskan bahwa secara fasilitas dan spirit, Solo adalah poros untuk berkesenian dan bersastra.
Kalau kita melihat dari segi spirit pemkot kota Solo, Solo The Spirit of Java. Sangat tepat jika pemkot Solo menjadi pemantik dan pelopor untuk memprakarsai temu sastra Solo (plus melibatkan daerah sekitarnya). Kita perlu mengacungkan jempol kepada walikota Solo yang baru saja kelar mengadakaan dua hajatan besar, yaitu konggres WHC (Worlds Heritage Cities). Hajatan yang lain adalah SIEM (Solo International Etnic Music). Hajatan yang kata Jokowi bakal digelar rutin tiap tahun. Saya berharap Jokowi dengan semangat yang menggebu-gebu untuk rebranding kota Solo juga diimbangi dengan penataan dari dalam, jangan hanya show of force saja. Penataan dari dalam tersebut bisa diawali dengan temu sastra Solo untuk menyerap ide-ide dari para pelaku seni juga sekaligus melibatkan masyarakat untuk sama-sama membangun brand kota Solo dan budayanya.
Elemen kedua yang seharusnya punya beban moral yang cukup besar adalah DKS (Dewan Kesenian Surakarta). DKS yang baru saja dibentuk dan diprakarsai oleh Jokowi ini belum kelihatan gebrakannya yang menonjol. Jika kita mengaca apa yang telah dilakukan leh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), maka sangat patut jika DKS dipertanyakan keberadaannya. Bagaimana tidak, DKJ yang menyandang Dewan Kesenian Jakarta, bukannya Dewan Kesenian Indonesia ternyata mampu untuk menjadi pematik berkesenian dan bersastra bagi wilayah-wilayah seluruh Indonesia. Banyak kegiatan yang diprakarsai oleh DKJ tidak semata untuk menghidupkan dan menonjolkan sastra atau kesenian Jakarta saja, namun juga memberikan ruang dan tempat untuk sastra dan kesenian daerah yang kemudian diboyong ke Jakarta untuk difasilitasi agar bisa tampil di Jakarta. Belum lagi kegiatan rutin DKJ yang lain. Misalnya, sayembara menulis novel DKJ yang pesertanya adalah orang-orang dari berbagai pelosok negeri ini. Bahkan sayembara ini adalah salah satu penghargaan sastra yang bergengsi di Indonesia.
Nah, seharusnya DKS bisa belajar dari apa yang telah dilakukan oleh DKJ. Untuk itu, DKS sangat pantas sebagai elemen kedua yang jadi tertuduh untuk punya beban moral dalam rangka memprakarsai temu satra Solo. Kegiatan serupa ini pernah digelar oleh DKJ dan mendulang sukses. Dari acara temu sastra Jakarta lahirlah dua buku, yaitu antologi cerpen dan antologi essay yang memperluas cakrwala khazanah sastra di Indonesia khususnya bagi Jakarta sendiri, karena dengan keberadaan buku yang berisi gagasan-gagasan para pelaku seni untuk mencari format dan solusi bagi pengembangan sastra dan budaya.
Satu lagi yang tak kalah penting untuk punya beban moral adalah masyarakat dan komunitas-komunitas sastra, tetapi kadarnya bebeda dengan elemen-elemen diatas. Masyarakat dan komunitas tersebut punya beban moral untuk mendukung apa yang dilakukan oleh pihka-pihak yang beritikad baik demi mekestarkan seni dan budaya. Bukannya menghujat apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mau berbuat baik untuk kepentingan seni dan budaya. Bukan berarti masyarakat dan komunitas-komunitas sastra itu tidak boleh kritis terhadap kebijakan yang diambil.
Bukan berarti tulisan ini mencari siapa yang jadi tertuduh untuk gagasan diatas. Tetapi, hanya mengingatkan saja bahwa pemkot Solo jika berjalan sendiri tak akan mampu, sama halnya jika DKS tidak dapat dukungan juga tidak akan bias berjalan sendiri, begitu pula masyarakat dan komunitas-komunitas sastra, mereka akan menemui jalan buntu jika tidak dapat perhatian dari yang lain. Alangkah syahdunya jika semua elemen itu bergandengan tangan untuk menggagas wacana diatas demi kehidupan sastra dan budaya Solo dan sekitarnya.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah, semua elemen itu punya itikad untuk menggagas temu sastra Solo atau tidak? Guna mengurai benang merah masalah kehidupan bersastra dan berbudaya yang kian hari kian tidak menentu arahnya. Ada sebuah kata-kata bijak yang patut kita jadikan bahan renungan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghagai budayanya. Benarkan kita sudah menghargainya? Hingga produk kebudayaan kita banyak dicuri oleh bangsa lain. Salah satunya adalah hak paten batik yang kini dimiliki oleh Malaysia. Belum lagi kekayaan intelektual yang lain. Namun, kita tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkannya. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi dan menjadi sebuah pelajaran yang paling berharga buat kita semua.
Kita harus yakin bahwa masalah bersastra dan berbudaya ini bisa kita selesaikan bersama. Mengutip salah satu jargon iklan calon kandidat presiden Indonesia 2009 (yang kini sudah menyatakan mundur dari bursa pencalonan presiden) “There is a will, there is a way”. Semoga…

*Kerja Keras adalah Energi Kita

Mengakrabi Kritik Sastra Ilmiah dan Kritik Sastra Umum


Aries Adenata, S.S


Kepala terasa berkunang-kunang. Ada tujuh bintang yang berputar-putar diatas kepala kita. Pandangan mata kita jadi hitam-putih persis seperti layar televisi yang berkedip-kedip mau mati. Yah, ketika kita sedang membaca sebuah karya sastra yang berat. Bukan berat dalam artian fisiknya. Tapi berat dalam hal contentnya. Apalagi kalau tulisan itu rada absurd atau surialis. Wah...jadi deh! Kepala kita terasa tertindih sebongkah batu besar. Kaki kita jadi tak kuat menahan berat tubuh kita.
Apalagi kalau kita disuruh mengulas atau memberi kritik terhadap karya tersebut. Dengan teori kritik sastra apa? Feminism? Structuralism? Genetik structuralism? Decontruction? Post modern? Modern criticsism? Sociology Aproach? Wah... apaan tuh! Kepala kita tambah pusing tujuh keliling mendengar teori-teori itu. Bagi kalangan akademisi sastra, itu sudah sangat familiar. Tapi kalangan di luar akademisi sastra, mereka akan kebingungan.
Nah, untuk itu mari kita mengakrabi teori itu secara global dulu, baru kemudian kita masuk lebih ke dalam. Dengan mengakrabi teori itu, minimal kita berusaha untuk membedah dan menganalisa sebuah karya sastra dengan pisau analisa teori sastra, biar kita tidak tersesat ketika menganalisa sebuah teks sastra.

Kritik Sastra Ilmiah

Ada sedabrek teori sastra yang terserak dan dapat dipelajari. Asal kita tidak phobi dulu terhadap teori sastra. Perlu menjadi sebuah catatan, hampir seluruh teori kritik sastra yang berkembang di Indonesia adalah terori kritik sastra yang datang dan diadopsi dari barat. Hal ini yang menjadi sebuah keprihatinan oleh Maman S Mahayana, guru besar sastra Indonesia UI. Seharusnya bangsa Indonesia mengembangakan teori kritik sastra berdasarkan lokalitas bangsa kita.
Kritik sastra Ilmiah itu salah satu contohnya adalah Genetic Strukturalism, yaitu kritik karya sastra dengan melihat latar belakang atau sejarah hidup penulisnya, melihat kondisi sosial-kultural masyarakat ketika karya itu diciptakan, karena pada hakekatnya sebuah karya sastra adalah cermin dari masyarakat itu sendiri. Selanjutnya kritik ini juga melihat world view atau pandangan penulisnya terhadap kondisi masyarakat yang tertuang dalam karya tersebut.
Tidak semua karya sastra dapat dianalisa dengan sembarang teori kritik sastra ilmiah. Kita tidak bisa asal comot untuk mengambil teori tersebut untuk dijadikan pisau analisa, karena setiap karya sastra memiliki karakter atau masalah dominan yang hadir atau diangkat dalam karya tersebut. Misalnya, karya tersebut ketika banyak berbicara tentang perlawanan kaum perempuan, maka karya tersebut cocok dianalisa dengan teori feminism. Jika karya tersebut dominan menghadirkan masalah penindasan kaum buruh atau konflik kelas sosial, maka pisau analisa yang cocok dipakai adalah teori marxism.
Sederhananya, teori kritik sastra ilmiah adalah kritik karya sastra yang membutuhkan sebuah landasan teoritis dan metodologis dalam menganalisa sebuah karya sastra.

Kritik Sastra Umum

Pada dasarnya setiap orang dapat menganalisa atau mengkritik sebuah karya sastra, jika ia memberikan ulasan terhadap karya tersebut. Nah, apabila ia dalam memberikan sebuah kritik karya sastra itu tanpa menggunakan landasan teoritis dan metodologi. Maka, kritik itu disebut dengan kritik sastra umum. Karena dalam kritik sastra umum teori dan metodologi dinomor dua kan.
Yang perlu menjadi sebuah catatan bagi kritikus adalah, kritik karya bukan berarti mencaci-maki dan mengolok-ngolok sebuah karya. Akan tetapi, bagaimana memberi apresiasi yang jernih. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengkritik sebuah karya.
Pertama adalah apakah karya yang bersangkutan itu memperlihatkan adanya kebaruaan (inovasi). Kedua adalah menilai terkait dengan kepaduan (koherensi) karya tersebut. Ketiga adalah kopleksitas (kerumitan). Yaitu, memberi gambaran dan pencitraan yang sangat komplek, rumit, dan problematika yang dihadapi aku lirik yang gelisah dan meradang. Keempat adalah tentang orisinilitas (keaslian). Bukan berarti pada keseluruhan unsurnya harus asli dan orisinilas. Tidak ada satu pun karya yang 100 persen orisinal. Keorisinilan itu dapat dilihat dari unsur, tema, latar, tokoh, alur, atau sudut pandang (untuk novel), bait, lirik, diksi, atau majas (untuk puisi), atau tokoh, alur, bentuk dialog (untuk drama). Kelima adalah kematangan si pengarang dalam menyajikan dan menyelesaikan persoalannya atau tidak. Yaitu, bagaimana pengarang mengolah kenyataan faktual, baik peristiwa besar atau biasa, menjadi sesuatu yang memukau, merangsang emosi, meskipun pengarangnya tidak mempunyai maksud teresbut. Keenam adalah menyangkut kedalaman makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Semoga kita mau dan jadi akrab dengan kritik sastra.. (diambil dari berbagai sumber)


*Kerja Keras adalah Energi Kita

Menanyakan Kelamin Komunitas Sastra Kota


Aries Adenata, S.S


Solo The Spirit Of Java. Jargon yang kini diusung oleh kota budaya Solo ini menggaung santer ke seluruh pelosok negeri bahkan ke seluruk pejuru dunia. Terbukti penyelenggarakan World Congress of the Organization of Heritages Cities di bulan Oktober mendatang diselenggarakan di kota Solo. Tak hanya itu, Solo ditetapkan sebagai World Heritage Cities. Nah, melihat jargon dan historis Solo yang semakin diakui dan dikukuhkan sebagai kota warisan budaya ini.
Ada sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh komunitas sastra kota. Apa peran dan kelamin komunitas sastra kota saat ini dan mendatang? Beberapa tahun ini marak dan tercatat beberapa komunitas sastra kota yang sempat hidup dan meramaikan khasanah sastra kota Solo. Sebut saja, Meja Bolong, FLP, Sketsa Kata, Pawon, HPK dan komunitas-komunitas lainnya.
Komunitas sastra kota ini tak jelas dengan peran yang akan diambilnya bagi kota Solo. Ada beberapa pertanyaan besar untuk dijawab oleh komunitas sastra kota Solo. Pertama, komunitas sastra kota akan dibawa ke arah pembentukan satrawan atau penulis-penulis muda yang membawa kearifan lokal, sastra hijau dan sesuai dengan kelamin komunitas mereka dalam kegiatan dan berkarya, atau diberi ruang untuk berekspresi sesuai dengan streotyp yang selama ini ada. Sastra bebas berekspresi secara individual tanpa ada kekang atau mengikuti kelamin dari sebuah komunitasnya. Atau keduanya disinergikan. Yaitu membawa identitas kelaminnya atau genre komunitasnya sekaligus memberi ruang kepada individu untuk bereksperimen.
Kedua, perlukah sebuah kelamin yang jelas bagi sebuah komunitas sastra? Atau justru sudah saatnya tidak tabu untuk saling memperlihatkan kelamin masing-masing komunitasnya? Selama ini komunitas sastra kota terkesan saling bersyakwasangka antara satu dengan yang lain terkait dengan jenis kelamin. Bahkan, mereka kadang saling mengitip dibalik celana komunitas lainnya hanya untuk mengetahui kelamin komunitas sastra lainnya. Walaupun mereka sering meneriakan bahwa sastra adalah otoritas yang bebas dari nilai, kepentingan, tak berpihak dan tak berkelamin. Tetapi sesungguhnya semua komunitas sastra, disangkal atau tidak disangkal mereka menghasung ideologi atau berkelamin tertentu. Namun, itu semua hanyalah pada tataran teori belaka. Tetapi, sesungguhnya diranah kenyataan mereka masih menjaga jarak secara idelogis atau kelamin, seolah bahwa komunitas mereka adalah bukan muhrimnya untuk komunitas tertentu. Akan tetapi, secara dzhohir mereka saling bersentuhan untuk mengadakan kegiatan yang menyemarakan jagad sastra di kota Solo. Semoga pertanyaan kedua ini akan memantik komunitas-komunitas sastra kota Solo untuk saling terbuka memperlihatkan kelamin mereka untuk bisa menujukan kepada khalayak umum bahwa sastra adalah wilayah yang toleran, egaliter dan demokratis. Semua ideologi dan kepentingan dapat duduk bersama dan berdialog, bukannya untuk saling mencurigai, saling menghujat, saling menjatuhkan, saling menikam, saling-saling-saling yang lainnya, yaitu membuat pihak lain tersudut atau tiarap untuk sementara waktu, atau bahkan tiarap untuk selamanya. Atau justru pertanyaan kedua ini akan membuat satu komunitas dengan komunitas lainnya saling menutup rapat-rapat celana mereka agar kelamin mereka tidak ketahuan dan diintip komunitas lainnya? Ah…terserah mereka John Koplo!
Pertanyaan ketiga adalah apakah komunitas sastra kota dan para pegiat sastra akan bersinergi dengan tagline kota Solo, yaitu Solo The Spirit of Java? Nah, ketika tagline ini ditarik kearah karya sastra, akankah tagline ini dikunyah dengan mentah, ataukah tagline tersebut diejawantahkan dalam bentuk tagline yang lain sehingga bermetamorfosis menjadi tagline baru bagi pegiat sastra dan komunitas sastra kota, misalnya Solo The Spirit of Writing. Ya, Solo adalah sumber inspirasi untuk menulis. Solo gudang peristiwa sosial, budaya, sejarah dan politik. Mulai dari peritiwa geger kerajaan Surakarta, perjuangan empatlima kerusuhan mei, para priyayi kampong batik, pergeseran trend belanja dari pasar tradisional menuju pasar modern dan berbagai peristiwa lain. Jika semua itu menjadi sumber inspirasi para pegiat komunitas sastra kota dan penulis Solo. Maka, persitiwa tersebut akan tercatat dalam sejarah jagad karya sastra, karena sastra adalah cermin masyarakat tersebut. Peristiwa atau sejarah yang dibungkus karya sastra bisa jadi akan banyak digemari, disenangi bahkan dibaca banyak kalangan, sebut saja karya sastra yang berlatar belakang sejarah, misalnya Para Priyayi tulisan Umar Kayam yang memotret masyarakat jawa tempo dulu atau yang sekarang sedang meledak dipasaran yaitu karya sastra Gajah Mada tulisannya Langit Kresna Hadi. Juga ada karya sastra lainnya yang memotret Solo lebih jelas dari masa pergerakan hingga mencari bentuk nilai kebangsaan dari kacamata masyarakata Solo, yaitu De Winst tulisan Afifah Afra.
Jika Solo adalah sumber inspirasi bagi karya sastra dan karya sastra tersebut digemari, disenangi dan dibaca banyak kalangan. Maka, tulisan tersebut akan menjadi magnet untuk masyarakat domestik untuk meneliti bahkan berkunjung ke Solo. Dan jika karya sastra tersebut diterjemahkan kebahasa asing kemudian menjadi konsumsi masyarakat asing, maka tulisan tersebut akan menjadi media promosi yang efektif bagi kota Solo. Meskipun tujuan dari karya sastra sesungguhnya bukanlah media promosi, tetapi salah satu tugas karya sastra adalah memotret peristiwa yang terjadi dalam masyarakat tersebut yang akan berdambak bagi khalayak umum menjadi tertarik dengan peristiwa yang melingkupi dan tempat terjadinya perstiwa dari karya tersebut. Semoga!
Pertanyaan terakhir sekaligus pembuka wacana. Kini posisi komunitas sastra kota Solo dipertaruhkan dengan keberadan DKS (dewan kesenian Surakarta) apakah dengan keberadaan DKS akan menjadi tempat peraduan mereka untuk saling bersinergis dan lebih giat lagi untuk menyemarakan jagat sastra di Solo? Ataukah DKS yang akan mengambil alih peran komunitas sastra kota Solo? Atau akankah mereka saling berbaku hantam hanya sekedar untuk mendapatkan kucuran dana dari DKS yang notanebene uang tersebut dari rakyat?!
Diatas sudah ada empat pertanyaan pemantik untuk dijawab komunitas sastra kota Solo. Sekarang yang kita tunggu adalah sikap dari para pegiat sastra kota untuk mensikapinya. Apakah empat pemantik pertanyaan diatas ditanggapi dingin-dingin saja, ditanggapi dengan telinga merah atau akan ditanggapi dengan tangan terbuka yang kemudian akan menjadi PR bersama untuk merumuskan peran dan masalah kelamin diantara komunitas sastra kota Solo. Kini, masalah kelamin bukanlah otoritas dokter saja, tetapi juga masalah bagi pegiat dan komunitas sastra kota untuk diselesaikan. Ah…lagi-lagi masalah kelamin!


*Kerja Keras adalah Energi Kita