Senin, 07 Desember 2009

Mengakrabi Kritik Sastra Ilmiah dan Kritik Sastra Umum


Aries Adenata, S.S


Kepala terasa berkunang-kunang. Ada tujuh bintang yang berputar-putar diatas kepala kita. Pandangan mata kita jadi hitam-putih persis seperti layar televisi yang berkedip-kedip mau mati. Yah, ketika kita sedang membaca sebuah karya sastra yang berat. Bukan berat dalam artian fisiknya. Tapi berat dalam hal contentnya. Apalagi kalau tulisan itu rada absurd atau surialis. Wah...jadi deh! Kepala kita terasa tertindih sebongkah batu besar. Kaki kita jadi tak kuat menahan berat tubuh kita.
Apalagi kalau kita disuruh mengulas atau memberi kritik terhadap karya tersebut. Dengan teori kritik sastra apa? Feminism? Structuralism? Genetik structuralism? Decontruction? Post modern? Modern criticsism? Sociology Aproach? Wah... apaan tuh! Kepala kita tambah pusing tujuh keliling mendengar teori-teori itu. Bagi kalangan akademisi sastra, itu sudah sangat familiar. Tapi kalangan di luar akademisi sastra, mereka akan kebingungan.
Nah, untuk itu mari kita mengakrabi teori itu secara global dulu, baru kemudian kita masuk lebih ke dalam. Dengan mengakrabi teori itu, minimal kita berusaha untuk membedah dan menganalisa sebuah karya sastra dengan pisau analisa teori sastra, biar kita tidak tersesat ketika menganalisa sebuah teks sastra.

Kritik Sastra Ilmiah

Ada sedabrek teori sastra yang terserak dan dapat dipelajari. Asal kita tidak phobi dulu terhadap teori sastra. Perlu menjadi sebuah catatan, hampir seluruh teori kritik sastra yang berkembang di Indonesia adalah terori kritik sastra yang datang dan diadopsi dari barat. Hal ini yang menjadi sebuah keprihatinan oleh Maman S Mahayana, guru besar sastra Indonesia UI. Seharusnya bangsa Indonesia mengembangakan teori kritik sastra berdasarkan lokalitas bangsa kita.
Kritik sastra Ilmiah itu salah satu contohnya adalah Genetic Strukturalism, yaitu kritik karya sastra dengan melihat latar belakang atau sejarah hidup penulisnya, melihat kondisi sosial-kultural masyarakat ketika karya itu diciptakan, karena pada hakekatnya sebuah karya sastra adalah cermin dari masyarakat itu sendiri. Selanjutnya kritik ini juga melihat world view atau pandangan penulisnya terhadap kondisi masyarakat yang tertuang dalam karya tersebut.
Tidak semua karya sastra dapat dianalisa dengan sembarang teori kritik sastra ilmiah. Kita tidak bisa asal comot untuk mengambil teori tersebut untuk dijadikan pisau analisa, karena setiap karya sastra memiliki karakter atau masalah dominan yang hadir atau diangkat dalam karya tersebut. Misalnya, karya tersebut ketika banyak berbicara tentang perlawanan kaum perempuan, maka karya tersebut cocok dianalisa dengan teori feminism. Jika karya tersebut dominan menghadirkan masalah penindasan kaum buruh atau konflik kelas sosial, maka pisau analisa yang cocok dipakai adalah teori marxism.
Sederhananya, teori kritik sastra ilmiah adalah kritik karya sastra yang membutuhkan sebuah landasan teoritis dan metodologis dalam menganalisa sebuah karya sastra.

Kritik Sastra Umum

Pada dasarnya setiap orang dapat menganalisa atau mengkritik sebuah karya sastra, jika ia memberikan ulasan terhadap karya tersebut. Nah, apabila ia dalam memberikan sebuah kritik karya sastra itu tanpa menggunakan landasan teoritis dan metodologi. Maka, kritik itu disebut dengan kritik sastra umum. Karena dalam kritik sastra umum teori dan metodologi dinomor dua kan.
Yang perlu menjadi sebuah catatan bagi kritikus adalah, kritik karya bukan berarti mencaci-maki dan mengolok-ngolok sebuah karya. Akan tetapi, bagaimana memberi apresiasi yang jernih. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengkritik sebuah karya.
Pertama adalah apakah karya yang bersangkutan itu memperlihatkan adanya kebaruaan (inovasi). Kedua adalah menilai terkait dengan kepaduan (koherensi) karya tersebut. Ketiga adalah kopleksitas (kerumitan). Yaitu, memberi gambaran dan pencitraan yang sangat komplek, rumit, dan problematika yang dihadapi aku lirik yang gelisah dan meradang. Keempat adalah tentang orisinilitas (keaslian). Bukan berarti pada keseluruhan unsurnya harus asli dan orisinilas. Tidak ada satu pun karya yang 100 persen orisinal. Keorisinilan itu dapat dilihat dari unsur, tema, latar, tokoh, alur, atau sudut pandang (untuk novel), bait, lirik, diksi, atau majas (untuk puisi), atau tokoh, alur, bentuk dialog (untuk drama). Kelima adalah kematangan si pengarang dalam menyajikan dan menyelesaikan persoalannya atau tidak. Yaitu, bagaimana pengarang mengolah kenyataan faktual, baik peristiwa besar atau biasa, menjadi sesuatu yang memukau, merangsang emosi, meskipun pengarangnya tidak mempunyai maksud teresbut. Keenam adalah menyangkut kedalaman makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Semoga kita mau dan jadi akrab dengan kritik sastra.. (diambil dari berbagai sumber)


*Kerja Keras adalah Energi Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar