Cerpen

“Kau mirip Nabi Yusuf !”

Kekaguman-kekaguman seperti itu sering di hujamkan kepadaku. Aku telan mentah, aku kunyah dulu atau aku telan setengah matang, itu semua terserah aku. Tapi benarkah aku mirip dengan Nabi Yusuf ? Kadang ragu mendesakku. Kadang kepongahanku bertahta di egoku. Ah… persetan dengan semua itu. Aku ya aku ! itulah pongahku. Tapi mungkinkah aku kukuh dengan itu semua. Sedangkan aku seringkali berdecak kagum dengan cerita keelokan rupanya yang tiada tandingnya di alam semesta ini.
Untaian puja indah yang melambungkan aku di pucuk awan terus berlanjut dalam denyut nadi kehidupanku. Terus bergulir seperti setitik bola salju kecil yang menggelinding semakin besar hingga kemasyurankupun sampai ke telinga seorang pejabat yang berpengaruh di kota yang bernama Zulaika. Ia pun melayangkan sepucuk surat kepadaku untuk menghadiri makan malam. Aku sebenarya tidak mau, tapi segan untuk menolaknya. Akhirnya dengan kepongahanku kulangkahkan kedua kakiku kerumahnya tuk menuai pintanya.
“Yah …ternyata benar kau mirip Nabi Yusuf” gumam Zulaika ketika baru datang dalam acara makan malamnya. Kemudian aku dipersilahkan duduk.
“Adakah yang tidak berkenan hingga nyonya sudi memanggilku?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan apakah kau mirip Nabi Yusuf?” matanya menatapku lekat.
“Lalu apa pendapatmu setelah melihatku?”
“Ya…! Kau mirip dengan Nabi Yusuf” sorotan matanya memancarkan letupan birahi
“Tapi apakah Kau pernah melihat Nabi Yusuf”
“Belum. Tapi kata orang Kau mirip Nabi Yusuf . Jadi aku percaya Kau mirip Nabi Yusuf”
“Tapi bagaimana mungkin. Kau belum pernah melihat Nabi Yusuf sudah yakin bahwa aku mirip dengannya !”
“Pokoknya aku percaya karena hati kecilku juga berkata demkian” nada suaranya berubah lembut, tangannya meraba selangkanganku begitu pelan. Aku merasakan ada geletar-geletar dahsyat menjalar dari bawah pusarku. Aku berusaha mengusai diriku. Kuhenyakkan tangannya dari tubuhku dengan halus agar tidak menyinggung perasaannya. Kemudian aku bergegas pamit untuk pulang kerumah.
Beberapa hari telah berlalu pertemuan rahasiaku dengan Zulaika terdengar santer ke seluruh pelosok kota. Tersiar kabar bahwa Zulaika selingkuh dengan seorang pemuda. Mendengar kabar yang memerahkan telinga zulaika membuat rencana mengadakan jamuan makan malam kusus untuk para wanita dari pelosok kota Negeri. Zulaika memintaku secara kusus untuk hadir dalam perjamuan tersebut.
“ Ku harap Kau bisa datang. Ini permintaanku yang paling istimewa” pinta Zulaika
“Baiklah. Kalau ini mendatangkan kebaikan bagi kita semua”
@@@
Para wanita yang datang dari berbagai pejuru kota sudah mulai berkumpul di rumah Zulaika. Hampir keseluruhan yang datang adalah wanita yang sudah bersuami walaupun sebenarnya perjamuan ini untuk wanita secara umum. Wanita-wanita itu mulai menikmati makanan yang di hidangkan dengan lahapnya tanpa mengetahui sebenarnya jamuan makan ini dimaksudkan untuk apa.
“Para tamu undangan yang saya hormati. Ini adalah hidangan pencuci mulut paling istimewa dari saya. Karena buah ini di datangkan langsung dari negeri asalnya. Silahkan di kupas dulu kulitnya…!” ucap Zulaika. Zulaika memberikan buah Apel dan pisau kepada setiap orang yang hadir untuk hidangan pencuci mulut.
Para wanita itu dengan asyiknya mengelupas kulit buah apel. Kemudian Zulaika menyuruhku masuk membawa nampan yang bersi buah apel. Seluruh mata para wanita yang hadir dalam acara itu tertuju kepadaku kemudian mulut mereka semua mengucap…
“Kau mirip dengan Nabi Yusuf !”
“Benarkah aku mirip Nabi Yusuf ?”
“Ya. Kau mirip Nabi Yusuf !”
“Tapi. Apakah kalian sudah pernah melihatnya ?”
“Beluum…!” serempak seperti kor
“Lalu, bagaimana mungkin. Sedangkan kalian belum pernah melihatnya sudah bisa berkata bahwa aku mirip dengan Nabi Yusuf”
“Pokoknya Kau mirip dengan Nabi Yusuf !”
“Apanya yang mirip?”
“Ya…Kau mirip dengannya”
“Wajahku?”
“Pokoknya Kau mirip dengannya”
“Tubuhku?”
“Sudah !. Ngak usah banyak Tanya!Pokoknya Kau mirip Nabi Yusuf”
Tanpa sadar tangan mereka telah tercincang sendiri oleh pisau yang di gunakan mereka untuk mengelupas buah apel.
Kuhengkangkan kakiku keluar ruangan yang menjejaliku penasaran, heran dan rasa aneh. Apa yang terjadi dengan para wanita di kota ini. Kenapa mereka semua berkata bahwa aku mirip Nabi Yusuf.
@@@
“Kau di tuduh telah menggoda Zulaika”ucap seorang karib
“Sungguh !. Aku tidak menggodanya, tapi dialah yang menggodaku” jawabku.
“Tapi tidak ada yang percaya omonganmu”ucap sang karib kembali. Kami terus bercakap-cakap tentang tuduhan, kekaguman, kemewahan, jabatan dan semua yang berhubungan dengan diriku hingga petang menghampiri kami berdua. Matahari bergerak pelan ingin berlindung di pelukan alam, mungkin lelah setelah sehari penuh menyinari alam semesta. Binatang malam mulai keluar dari sarangnya betebaran di atas jalanan hingga mengenai mata salah satu orang yang datang ke arah kami.
“Sontoloyo !. Mataku kena binatang!”ucap petugas Satu.
“Sudah. Ndak usah di hiraukan nanti juga sembuh sendiri. Pokoknya yang penting kita menjalankan tugas dengan baik” sahut petugas dua.
Mereka semakin mendekati kami. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang. Pakian mereka berseragam.
“Maaf. Anda harus kami bawa ke kantor keamanan”ucap petugas tiga.
“Tapi… kenapa Saya harus ke kantor keamanan?”
“Karena anda di tuduh telah mengoda Zulaika”timpal petugas dua
“Bukan Saya Pak yang menggodanya”
“Baiklah. Kau buktikan perkataanmu di kantor”sergah petugas empat
Suasana semakin tegang
“Tapi Pak…”
“Kau sampaikan keberatanmu di kantor saja”timpal petugas tiga.
Kamipun pergi menuju kantor keamanan. Setibanya di sana aku tidak di mintai keterangan. Saya lansung di jebloskan ke penjara.Hari demi hari kutungu di mana aku akan di mintai keterangan atau diadili. Tapi hari itu tak kunjung datang aku terus menunggu hari itu tiba hingga aku lupa sudah berapa lama aku mendekam di penjara ini.
“Kawan. Semalam aku mimpi terbang bebas sepeti burung. Apa artinya semua itu ?”tanya teman satu sel
“Artinya Kau akan bebas dari penjara ini”
“Hebat. Kau mirp Nabi Yusuf”
Sehari setelah menta`wilkan mimpi tersebut teman satu sel itu di bebaskan. Kini ia telah mendapat kebebasan tetapi aku masih mendekam di penjara yang dekil dan kotor. Beberapa hari kemudian ia datang kembali.
“Hai kawan. Aku datang untuk menanyakan tentang mimpi seorang pejabat kota”ucap teman satu sel dulu yang pernah aku ta`kwilkan mimpinya. Rupanya Ia telah menceritakan tentang aku yang telah menta`wilan mimpinya dengan benar kepada pejabat kota.
“Beliau bermimpi tujuh keping uang di bakar oleh tujuh orang anak kecil”
“Negeri ini akan megalami krisis pangan. Kalian semua harus pandai menabung dan berhemat untuk persiapan jika krisis itu menimpa negeri ini”
“Hebat…! Kau mirip Nabi Yusuf”
“Apanya yang mirip ?”
“Pokoknya kau mirip Nabi Yusuf”
Sehari kemudian ia datang kembali.
“Kawan !. Sang pejabat puas dengan ta`wilmu serta solusi yang kau berikan. Beliau mengucapkan banyak terima kasih”
“Bolehkah saya ketemu dengan beliau”
“Ya. Nanti saya sampaikan”jawab sang teman.
Keesokan harinya Ia kembali.
“Beliau ingin ketemu denganmu !”
Kami berdua melangkah keluar dari penjara. Ia mengantarkan aku sampai kantor sang pejabat.
“Yah…! Ternyata kau mirip Nabi Yusuf”ucap sang pejabat
“Benarkah Tuan?”
“Aku telah mendengar kemahsyuranmu. Sungguh !, Kau mirip Nabi Yusuf”
“Apanya yang mirip Tuan ?”
“Pokoknya kau mirip Nabi Yusuf”
“Bolehkah Saya minta sesuatu agar hidupku seperti kisah Nabi Yusuf Tuan”
“Apa itu ?”
“Tuan… !. Zulaika telah menggodaku seperti Zulaika zaman dulu menggoda Yusuf. Wanita-wanita tangannya tercincang ketika melihatku pada perjamuan makan, sama seperti wanita-wanita dulu melihat Yusuf tanpa sadar tangannya juga tercincang. Selanjutnya saya juga bisa menta`wilkan mimpi pejabat seperti Yusuf yang dulu menta`wilkan mimpi pejabat. Tuan…! Agar kisahku genap seperti Nabi Yusuf aku punya permintaan ?”
“Apa itu. Sebutkan ?”
“Aku ingin seperti Nabi Yusuf yang mendapatkan jabatan urusan keuangan agar bisa mencegah terjadinya krisis pangan”
“Apaa…”sang pejabat kaget.
“Berani sekali kau memintaku seperti itu. Siapakah Kau ?, hingga berani meminta itu kepadaku !”sang pejabat marah
“Aku tuan. Aku yang mirip Nabi Yusuf!”suaraku lantang.
“Apa !. Kau mengaku mirip Nabi Yusuf . Bercerminlah dulu sebelum berkata!”bentak sang pejabat
“Ya. Aku mirip Nabi Yusuf” Aku kini mulai berani mengatakan itu semua karena sudah banyak orang yang berkata demikian serta kisahku yang mirip sekali dengan Nabi Yusuf.
“Bercerminlah dulu !” perintah sang pejabat.
Ajudan sang pejabat itu mendekatiku. Ia memberikan sebuah cermin. Kuterima cermin itu, kemudian aku angkat kedepan wajahku. Tapi apa yang kulihat dalam cermin itu ?. Kaca itu kosong dan bening berkilau tanpa ada pantulan wajahku.
“Dimana wajahku ? kenapa di cermin ini tidak muncul wajahku ?” suaraku parau kubuang kaca itu. Kutatap sang pejabat, lalu temanku satu sel, kemudian sang ajudan itu dan semua orang yang hadir dalam ruangan itu. Tapi aneh…
“Kenapa wajah kalian semua mirip Nabi Yusuf ?’.



Wanita dan Air Surga


“Kenapa kau selalu menyentuh air ini?”
“Air surga!” hanya sepatah kata itu yang keluar dari mulut wanita itu setiap ditanya penduduk kota.
Dua telapak tangannya yang lembut mengkatup membelah sembulan air bening, jernih yang keluar dari retak tanah yang berkubang. Sejak kapan kubangan yang bentuknya mirip segilima itu mengeluarkan air terus menerus tanpa pernah kering. Penduduk kota tidak pernah ada yang mengatahui perihal asal muasalnya, tahun mulanya, kegunaannya seperti sejarah yang terlupakan. Sejak kapan pula wanita yang wajahnya menyinarkan kesejukan itu hadir dan menyentuh takdzim air kubangan kemudian wajahnya menengadah ke langit hingga ia lenyap entah kemana. Hampir tiap hari dan di waktu-waktu tertentu wanita itu hadir di tempat itu .
Deru sepeda motor, asap knalpot, bentak orang tua kepada anaknya karena pusing diminta bayaran sekolah, rengek anak kecil minta dibelikan permen yang mirip di layar televisi, bisik rayu dua pemuda di sudut ruangan, negosiasi para koruptor tentang bagi hasil korupnya, rintih manja istri muda kepada suami yang dianggap setia dan wanita yang ada dirumah, teriakan orang menjual dagangannya membahana memenuhi langit kota ini melumat doa dan harap segelintir orang yang masih sudi menghadapkan wajahnya kepada sang pencipta. Yang tidak mau terperosok jauh kepusaran dunia materialisme. Penduduk kota tenggelam dalam hiruk pikuk kepentingan individu masing-masing. Mereka tak menghiraukan lingkungan mereka, keadaan kotanya, situasinya, siapa saja orang yang bermukim, tinggal di kota ini. Termasuk wanita yang selalu hadir di kubangan air itu.
Penduduk kota tidak merasa terusik akan kehadirannya, namun wanita itu menjadi pergunjingan para penduduk seakan kerupuk yang renyah untuk camilan. Di berbagai tempat mau berangkat kerja, berangkat kuliah, di tempat hajatan, di pasar warung, kantor, pos ronda, tempat nongkrong, ibu-ibu arisan, ibu-ibu pkk, ibu-ibu darma wanita, bahkan para ABG yang sedang asyik bermain playstation pasti mereka menggunjingkan wanita itu. Mereka tidak tahu nama wanita itu namun wanita itu meroket tinggi mengalahkan popularitas artis-artis yang sering muncul setiap hari di infotainment kita, seakan wanita itu sudah menjadi milik bersama penduduk kota ini.
“Kenapa wanita itu selalu dikubangan air itu?”
“Air surga. Pasti kata itu yang selalu diucapkan kepada setiap orang yang bertanya” jawab lelaki dua.
“Apa maksudnya?”
“Nah…! Itu teka -tekinya” suaranya mantap sekaligus menebar penasaran.
Hari demi hari akhirnya warga mulai terusik juga dengan teka-teki air surga. Mereka mencoba menerka-nerka air surga. Penduduk berusaha sekuat tenaga dan menguras pikiran hanya untuk menjawab sebuah teka -teki tersebut.
“Wanita itu pasti ingin menunjukkan bahwa kubangan air itu bertuah!” ucap perempuan satu dengan penuh keyakinan.
“Tidak mungkin, karena tidak ada keganjilan yang terjadi” sangkal perempuan dua.
“Aku tahu! pasti air itu mengandung khasiat”
“Kalau berkhasiat, sudah dari dulu orang-orang berobat ke sini” sela lelaki tua.
“Ah, gitu saja kok repot! Pasti wanita itu punya kenangan di kubangan air itu!”
“Semua ngawur…!” ucap seorang lelaki dengan langkah tegab bergabung dalam kerumunan. Wajahnya beriwibawa mensiratkan bahwa dia seorang pejabat.
“Lalu yang benar apa?” tanya perempuan paro baya.
“Benar kalian pengin tahu!”
“Ayo cepat katakan tidak usah bertele-tele” timpal orang-orang
“Yang benar karena dirumahnya tidak ada air hehehe…” lelaki itu nyengir.
“huuu…!” kontan semua yang berkerumun menyorak lelaki itu. Kemudian mereka bubar. Percakapan tadi ternyata belum mampu menuai kepuasan mereka. Teka -teki air surga terus berlanjut, makin berkembang dan makin meluas kemana-mana. Menerka-nerka air surga kini menjadi pekerjaan kedua setelah pekerjaan pokok. Setelah pulang dari kantor, pulang dari sekolah, pulang dari pasar, pulang mengajar, pulang berjualan dan semua kepulangan mereka pasti bergegas memperbincangkan wanita dan air surga.
Penduduk kota selalu menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum habis jam kerjanya agar secepatnya bisa menggunjingkan tentang wanita dan air surga. Fenomena yang luar biasa karena mereka biasa menunda pekerjaan. Jam demi jam, hari demi hari, bulan silih berganti dengan matahari namun penduduk kota juga belum dapat menjawab teka-teki air surga.
Penduduk kota semakin penasaran. Mereka makin sering berkumpul menggunjingkan air surga, bahkan dalam perkembangannya makin menjadi-jadi mereka mengumpulkan orang-orang yang sekiranya dipandang mampu menjawab teka-teki tersebut mulai paranormal, guru, dosen, pakar fisika, pakar kimia, pengamat politik, sosiolog, kriminolog hingga pejabat yang berpengaruh di kota ini. Di dalam satu ruangan mereka bertemu dan mendiskusikannya dengan sengit. Mereka mengeluarkan argumen masing-masing berdasarkan teori-teori yang mereka kuasai sesuai basik keilmuannya. Perdebatan mereka makin panas.
“Wanita itu perlu kita periksa kondisi kejiwaannya dulu” ucap sang dokter.
“Tidak perlu. Paling wanita itu hanya ingin mengalihkan perhatian dari isu pemogokan nasional dengan menciptakan mitos agar perhatian masyarakat terarah ke air surga karena masyarakat Indonesia khususnya jawa suka dengan isu yang berbau mistik dan tahayul” sela sang pengamat politik.
“Saya minta ucapan tadi ditarik!” suaranya keras, memuntahkan emosi. Sanggah sang paranormal mendengar argumen sang pengamat politik.
“Itu sebuah pelecehan bagi budaya dan kepercayaan penduduk di dunia ini memang ada tempat yang bertuah dan keramat” lanjut sang paranormal dengan muka merah.
“Sudah….! Kita harus berpikir jernih. Kalau semua ini tetap dilanjutkan, ini tidak mendidik masyarakat kita” sahut sang guru.
“Tidak ….! Kita harus tetap dan segera menyelesaikan teka-teki ini agar keadaan kota kembali normal dan tentram” ucap sang pejabat.
Debat yang berkepanjangan membuat sebagian penduduk kota mulai tidak sabar menanti fatwa pertemuan itu.
“Kenapa kita harus menanti hasil pertemuan yang belum tentu ada hasilnya!” celetuk lelaki satu.
“Iya. Kenapa kita tidak langsung rame-rame mendatangi dan menanyakan apa maksud air surga kepada wanita itu” imbuh lelaki dua.
Suasana di luar ruangan makin panas dan tegang.
“Ayo …! Kita langsung rame-rame ke air surga” lelaki tiga memberi komando. Penduduk yang tidak sabar segera bergerak ke arah air surga. Penduduk yang semula masih sabar menanti mulai terhasut, mereka juga itu merangsek menuju air surga.
“Maaf, tuan-tuan! masa penduduk mulai bergerak ke air surga” lelaki tua masuk dengan tergopoh-gopoh memasuki ruang pertemuan memberi tahu keadaan terakhir.
Tanpa diberi komando peserta diskusi segera berhamburan keluar bergabung dengan masa penduduk. Massa semakin mengalir banyak mengarah ke satu titik, air surga. Terik sinar matahari, udara yang panas membuat suasana makin panas. Celetukan penduduk yang memprovokasi makin membuat genting keadaan. Setelah berjalan sekitar setengah jam akhirnya masa mulai tiba di air surga.
“Kenapa kau berada dikubangan air ini?” tanya lelaki satu.
“Air surga” jawab wanita itu.
“Apa maksudmu?” desak lelaki tiga.
“Air surga” jawab kembali wanita itu.
“Kau jangan main-main. Kami sudah tidak sabar menanti jawabanmu!” sergah lelaki dua.
“Air surga. Itu jawabnya” ucap wanaita itu dengan nada serius. Dahinya mengerenyit, matanya menyorot tajam.
“Bakar saja kalau tidak mau menjawab” teriak seorang yang berada ditengah kerumunan.
“Ya bakar saja…bunuh saja….hajar saja…bakar saja…” emosi massa mulai meluap-luap keadaan semakin tak terkendali. Massa mulai meringkuk wanita itu. Dalam sekejap kayu sudah terkumpul entah datangnya dari mana.
“Cepat jawab!”
“Air surga” hanya sepatah kata itu kembali yang keluar dari mulut wanita itu. Mendengar ucap wanita itu masa berang, marah seperti kesurupan mereka menyiram kayu dan tubuh wanita itu dengan minyak.
“Dengarkan dulu. Aku punya permintaan untuk kalian semua” ucap wanita itu.
Keadaan tiba-tiba hening
“Setelah kalian membakarku. Ambilah air surga ini kemudian tengadahkan wajahmu ke langit!”
Sedetik setelah wanita itu selesai berwasiat. Api melumat kayu dan wanita itu. Penduduk bersorak-sorak seperti kesetanan. Setelah api padam penduduk seperti tersadar. Mereka menyesal. Seluruh mata mereka meluruhkan air mata penyesalan. Isak tangis membahana di langit. Tubuh mereka lemas tak mampu berpijak di bumi. Mereka tertegun dan heran kenapa mereka bisa membakar hidup-hidup wanita itu.
“Mari kita tebus penyesalan ini dengan memenuhi permintaannya yang terakhir” celetuk salah satu penduduk.
Serempak penduduk mengambil air kubangan. Air mengalir ke sekujur tubuh mereka, kemudian wajah mereka menengadah ke langit. Mereka merasakan sesuatu yang aneh masuk ke relung hati.
Mereka seperti merasakan sesuatu hadir kembali pada diri mereka yang selama ini hilang dari diri mereka. Kemudian dengan serempak mulut mereka mengucap …
“Air surga…”.
Ku tunai pintamu …! Solo 2005
*Dimuat di Solopos 13 november 2005


Negeri Ngeri


Aku mendengar ada sebuah Negeri yang indah. Konon Negeri itu melimpah ruah kekayaan alamnya, tanahnya subur dan orangnya ramah – ramah. Orang bilang tanah kita tanah surga tongkat dan batu jadi tanaman . Hingga penduduknya menyebutnya tanah surga. Pasti, betapa eloknya negeri itu. Membuat aku penasaran ingin singgah dan berkunjung di Negeri itu. Tapi ! dimanakah letak Negeri itu ?. Aku hanya mendengar kemasyhuran keelokan alamnya dari mulut ke mulut. Banyak orang yang menceritakan kemasyhuran Negeri itu, namun banyak pula yang tidak tahu letaknya. Semakin hari Negeri itu semakin mahsyur namanya. Akupun bertambah penasaran. Kulangkahkan kedua kakiku tuk mencari negeri yang termahsyur itu. Aku terus melangkah tanpa pernah henti.
“Maaf, tahukah tuan Negeri yang termahsyur itu ?”tanyaku
“Oh !, Negeri yang kaya raya, subur dan ramah tamah orangnya itu ya !”jawab lelaki tua dengan semangatnya.
“Iya tuan. Dimana letaknya ?”
“Oh…tuan, aku tahu negeri itu !” Suara lelaki tua itu mantap.
“ Tapi…aku tidak tahu letaknya”lanjut lelaki tua itu
Kutinggalkan lelaki tua itu. Kupercepat langkahku. Derai angin kering menampar wajahku. Kepulan debu bertebaran di atas jalan. Awan menggumpal membentuk wajah dengan bibir menyor ke samping seolah sedang meledekku.
“Hai, kawan. Kau jangan mencibirku. Aku pasti bisa menemukan negeri itu !”teriakku, sambil kutengadahkan wajahku ke atas.
Wajah awan. Itu berubah oleh tiupan angin. Hingga membuat ekpresi wajahnya berubah baru. Lidah awan itu menjulur panjang seolah mengejek week…..
Pasti aku akan menemukan Negeri itu. Keyakinanku makin bertambah besar. Kini aku tidak hanya melangkah, Aku berlari dan terus berlari. Gang demi gang kutelusuri, desa ke desa, kota ke kota, lintas daerah, lintas provinsi bahkan lintas Negara. Kakiku tak mau berhenti. Aku terus berlari mencari Negeri itu.
“Uuh… sudah sampai dimana aku ?” lirihku.
Kupandangi sekitarku. Aneh ! sesuatu yang selama ini belum kulihat dalam kehidupanku. Dimanakah aku sekarang ?
Orang–orang itu saling berbicara tapi tak mengeluarkan kata, mereka menegur satu dengan yang lainnya namun tak besuara. Apakah ada yang tidak beres denganku ? Ah…tidak mungkin, aku masih bisa mendengar derap kakiku sendiri.
Aku terus berlari.
“Maaf. Sudikah kalian memberi tahukan dimana negeri yang termahsyur itu ?”tanyaku kepada orang – orang yang sedang bergerombol.
Mereka saling pandang kemudian mereka menatapku. Salah satu diantara mereka berjalan mendekatiku orang itu seperti berkata sesuatu tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku yakin orang itu itu mengatakan sesuatu. Ya, aku dapat menangkapnya dari sorotan matanya.
“Tuan. Dimanakah Negeri itu ?”
Mereka semua saling pandang kemudian saling berbicara layaknya berbicara semestinya, ekpresi wajahnya, gerak tanganya, kedipan matanya, gerak tubuhnya. Tak ubahnya seperti umumnya.
“Dimana…..? Ah sudahlah, percuma saja jika aku tak paham yang kalian omongkan !” kuhengkangkan kakiku
Aku terus berlari.
Semakin aku berlari, keanehan–keanehan makin sering kujumpai, keanehan itu menggelitikku dan mengusikku. Orang–orang disini menangis tapi tak mengeluarkan air mata setitikpun. Dimanakah aku ini ?. Apakah ini Negeri yang termahsyur itu ?. Ah…! Tidak mungkin, Negeri yang kucari itu adalah Negeri yang subur dan penduduknya ramah – ramah. Selama aku tiba di sini aku belum menemukan ciri – ciri Negeri itu.
Aku terus berlari dan terus berlari
Sejak saya berada di daerah ini, saya merasa tidak menjumpai penghujung daerah ini. Aneh…! Lampu-lampu di jalanan menyala di siang bolong. Sinarnya terang bahkan seterang ketika berada di kegelapan. Penasaran makin mendesak-desaku, sebenarnya apa yang terjadi? apakah ini ilusi atau fantasi atau ini adalah sebuah kenyataan yang tak masuk akal? Ataukah saya sedang masuk dalam dunia ghoib ?. Memang dulu saya pernah di ceritakan oleh kakek, bahwa dunia ini di tempati oleh beberapa makhluk, ada manusia, ada jin, dan juga setan yang suka menggoda manusia. Tapi… tidak mungkin ! semuanya normal-normal saja seperti apa adanya.
Aku terus berlari dan terus berlari tanpa kenal henti, aku tak tahu kapan berhenti atau kapan istirahat, yang kutahu hanya berlari mencari Negeri tersebut. Tak kusangka akhirnya aku menginjakkan kakiku di penghujung wilayah. Indah betul perbatasan ini..! Langit begitu cerah yang berarak awan putih dan udara yang sangat sejuk. Kulangkahkan kakiku dalam beberapa langkah. Tiba-tiba gelap menyelimuti sekelilingku. Aku melangkah mundur kembali, terang dan udara sejuk kembali menghampiriku. Apakah aku sudah masuk ke negeri itu ? Tapi, mengapa gelap sekali. Ya…mungkin Negeri yang termahsyur itu gelap keadaanya, pikirku. Akhirnya kutekadkan untuk melangkah maju untuk menemukan Negeri itu. Mataku tak bisa melihat apapun, aku terus melangkah tak peduli dengan kegelapan. Ada sesuatu yang merasuk kedalam relung hatiku. Aku tak mampu menggambarkan apa yang telah masuk dalam diriku. Tiba-tiba aku mampu melihat benda-benda di sekelilingku dengan hati kecilku. Akupun mampu melihat orang-orang yang sedang berseliweran di hadapanku, tapi bukan dengan mataku, dengan mata batinku.
“Maaf, tahukah tuan Negeri yang termahsyur itu?”
“Kenapa anda bertanya tentang Negeri itu?”Jawab ia sembari ia menanya balik.
“Aku ingin pergi dan melihat Negeri yang termahsyur itu tuan !”
“Kenapa anda ingin pergi ke Negeri itu ?”ia bertanya kembali
“Ya…karena penasaran kemasyuran Negeri itu!”jawabku yang mulai tidak sabar.
“Kenapa penasaran dengan Negeri itu?”Ia terus bertanya kepadaku.
“Ya, pokoknya saya ingin pergi ke Negeri itu. Sebenarnya tuan tahu nggak letak Negeri itu ?”tanyaku dengan kesal.
“Maaf tuan, saya juga mendengar kemashyuran Negeri itu. Saya juga penasaran dengan Negeri itu…”
Belum sempat ia berbicara panjang-panjang, aku memotong kata-katanya.
“Tahukah tuan letaknya?”
“Maaf tuan, silahkan tanya pada yang lain saja !”
“Tapi…tuan tahukah letaknya…?”
“Silahkan Tanya orang lain saja !” ia kemudian menyelonong pergi.
Kalau memang nggak tahu bilang dari tadi…gerutu dalam hatiku. Aku melangkah lagi dengan panduan batinku, seolah aku berjalan seperti sediakalanya ketika di kedaan yang terang benderang dan dengan mata telanjang. Kuhampiri seseorang yang sedang duduk santai diatas lincak depan rumah.
“Maaf tuan, numpang tanya. Tahukah tuan Negeri yang termahsyur itu?”
“Kenapa anda bertanya tentang Negeri itu?” Tanya dia
“Aku penasaran dengan kemashyuranya !”
“Kenapa penasaran ?”
“Maaf,tahukah tuan Negeri yang termahsyur itu ?”
“Saya juga penasaran dengan Negeri itu. Tapi, kalau mau tanya tentang Negeri itu silahkan tanya ke orang lain !”
“Kenapa harus orang lain? Apakah tuan tidak tahu Negri itu ?”Desakku.
Ia nyelonong pergi begitu saja tanpa mempedulikanku. Begitu aneh penduduk daerah sini, ketika ditanya tentang Negeri tersebut mereka bertanya balik dengan antusias namun ketika ditanya tentang Negeri itu mereka meminta untuk bertanya ke orang lain. Apakah penduduk sini punya masalah dengan Negeri itu ? ah… mungkin itu prasangkaku saja.
Aku melangkah maju tanpa memperdulikan para penduduk sini yang memperhatikanku dengan rasa aneh. Akupun tak mau lagi bertanya pada penduduk sini lagi, aku yakin mereka sama saja. Selang beberapa menit aku melangkah, Suasana kembali menjadi terang benderang, Sesuatu keluar dari tubuhku. Mataku mulai berfungsi normal. Aku mampu berjalan dengan panduan mataku lagi.
Aku terus melangkah tak kenal henti. Aku yakin akan menemukan Negeri itu. Keyakinanku tak akan goyah oleh apapun. Walau berjuta orang sinis kepadaku. walau ribuan kilo mil harus aku tempuh. Walau waktuku habis untuk mencari Negeri itu.
Bila kau telah membaca tulisan ini ! dan suatu hari kau menemui sesorang yang kebingungan dan ia bertanya kepadamu, Tolong beritahu Negeri itu ! Mungkin sesorang yang kau temui di jalan itu adalah aku.



Kuku Separatis

Pendar warna kami ketika disentuh cahaya matahari, bersih dilihat dari atas tapi sungguh kotor dan penuh bakteri di baliknya seminggu sekali si empunya memangkas kami tanpa kompromi, apakah kami sudi atau tidak. Di luar itu setiap harinya kami dimanja dipoles sampai mengkilat dari jari keliling yang ukurannya paling kecil, lalu jari tengah yang paling panjang, juga jari telunjuk yang sukanya memerintah-menunjuk ini dan itu- sampai ibu jari yang paling besar jumlah milisinya dan juga paling besar mendapat sorotan publik.
Ya itulah kami, kuku. Muncul menyeruak kapan dan di mana saja. Kami dirawat dan dipangkas seenaknya oleh empunya. Kami pun bisa hidup karena si empunya. Kadang ketika kami mekar, panjang, menyibakkan kekuatan kami, kami dibantai, dibunuh, dipenjara, bahkan ada yang diperkosa.
Kami pun dituduh macam-macam pemberontak, penghianat bangsa, separatis, pengacau keamanan. Baru mau panjang sedikit kami dipangkas oleh penguasa.
Ya kamilah kuku.
Dengan bangga penguasa menunjukkan gunting raksasanya kepada publik bahwa dia mampu memangkas kuku separatis. Dengan sekejap publik pun merespon dengan antusias bahwa sang penguasa mampu memangkas separatis. Ya itu semua demi politik, demi memperoleh dukungan suara karena sebulan lagi ada pemilu.
Sebulan lebih aku nampang di televisi. Malang melintang di publik, mendapat sorotan khalayak umum, dibicarakan masyarakat domestik dan internasional. Karena ternyata sang penguasa tidak mampu memangkas kami. Sepak terjang kami kini mulai di segani penduduk lokal maupun dunia internasional. Penguasa tak berani memangkasku karena aku mendapat dukungan masyarakat Internasional yang punya mau dibalik itu.
Bila penguasa mulai menyiagakan gunting-gunting militernya, dunia internasional - yang punya skenario global - berteriak tak karuan.. Ya itulah kami, kuku. Sebagai kuku jari manis, kami sering mendapatkan pasokan persenjataan dari negeri donatur. Ketika si empu mau memangkas kami orang-orang di sekitar bersuara, “aduh sudah panjang mau dipangkas sayang dong!”
“Eh …. Kok mau dipotong nggak kelihatan manis lho…..!” Ya itulah kami kuku jari manis yang mendapat sponsor ,cicin emas, berlian dan dukungan masyarakat internasional.
Lain halnya kuku jari kelingking yang baru mau ulah saja sudah dibabat, dipangkas karena dianggap mengganggu mata keamanan. Tak sedap dipandang birokrat. Kuku jari kelingking memang kecil sedikit jumlah milisinya sehingga dengan mudah si empunya, sang penguasa, memangkas kapan saja. Apakah Ketika baru menyeruak atau sudah panjang wilayah operasinya, tergantung selera penguasa.
Ya akulah kuku! dirawat dan disenangi oleh si empunya karena bentuk yang menawan. Kami pun sering diwarnai aneka rupa ; merah-putih, merah-bulan, merah-biru dengan kutek biar kelihatan indah menyilaukan mata nafsu manusia.
Kamilah kuku. Kami, kuku jari tengah yang hebat dan disegani, termasuk yang di pusat karena paling panjang wilayah operasinya. Kamilah yang letaknya paling menjorok. Ya, karena berada di tengah secara otomatis kami dianggap kuku separatis menyeruak panjang. Sepak terjang kami pun paling mudah dilihat dari dunia luar. Daerah kuku jari tengah memang termasuk daerah operasi militer karena setiap seruaknya, mengoyak negara dengan mudahnya. Tetapi, ya itu tadi karena letaknya yang menjorok, kuku jari tengah kerap paling pertama dipangkas dengan gunting militer . Sungguh, betapa hebatnya kuku jari tengah menghimpun partikel-partikel kecil untuk memperpanjang kuku wilayahnya, tetapi kami dengan mudah di pangkas.
“uh…!” sungguh hubungan kami dengan sang empunya penuh dengan dinamika kadang dia membiarkan kami menyedak, menyeruak tumbuh dengan bebasnya. Kadang kami pun duduk bersama minum kopi hangat bersembunyi di balik belahan bumi jauh dari keramaian politik tidak tercium media masa. Tak satupun manusia mengetahui ihwal pertemuan yang kami rahasiakan. Kami pun sering mendapat instruksi dari salah satu pejabat di pusat untuk membuat kekacauan di daerah yang kami kuasai, dengan leluasanya kami membakar gedung sekolah, membakar bus meledakkan pertokoan.
Ya itulah kami, kuku. Kami kuku jari telunjuk yang sering digunakan menunjuk ini dan itu, memerintah dengan sesuka hati oleh sang penguasa, punya keberuntungan tersendiri karena kami dekat dengan sang penguasa walaupun sembunyi-sembunyi. Karena ulah kami pula pemerintah pusat kelimpungan menghadapi teror dan aksi kami yang terus menerus. Gerakan yang seporadis di dukung penguasaan medan yaqng termasuk berat bagi pemerintah, membuat kami terus bertahan.
Pemerintah pun berang melihat ini semua. Mereka mengeluarkan gunting-gunting militernya besar-besaran. Untuk memangkas kuku jari telunjuk yang semakin menjulang, menyeringai panjang gunting-gunting itu berhasil memangkas kami
“Ah… tapi hanya ujungnya saja!”
Ini tak lain karena kami sudah mendapat bocoran informasi dari salah satu pejabat pusat akan adanya operasi gunting.
“Tapi bung ! suatu hari kami dipangkas, dibantai diluluh lantakkan persembunyian kami. Anggota kami diburu dimana-mana kami sembunyi di ujung bumi yang sudah kami persiapkan jauh-jauh sebelumnya untuk mengantisipasi kejadian yang terburuk” lapor panglima yang berkuasa di pusat. Hening suasana angin berhenti bertiup pohon tak bergoyang air mengalir berbalik.
“Bangsat selama ini kita hanya dimanfaatkan….”. sungguh kami kecolongan ketika peta poitik berubah, penguasa berganti dan sang penguasa baru adalah dulu yang merongrong penguasa dengan gerakan separatisme kami. kini dia bangga menunjukkan kemampuannya bahwa dia mampu memangkas kuku separatisme yang sebenarnya dia juga berperan di dalamnya. Dia pun tenar disanjung masyarakat. Sebagai penghianat bangsa atau pahlawan bangsa?
“Kuku yang ini besar dan paaannjanggg… dirawat dengan baik dibersihkan tiap hari. Jariku sering mendapat bantuan untuk mempercepat pembangunan, jalan-jalan diaspal, pelabuhan dibangun, bandar udara berdiri, gedung-gedung tingkat menjulang tinggi. Kami pun sering dipamerkan di luar negeri bersama eloknya alam, suburnya tanah, dan kekayaan bumi”. sang empunya bangga dengan bentuk kami yang besar dan panjangnya. Katanya di daerah kami tidak ada separatisme, pemberontakan, pengacau, perlawanan…
Cring ... Cring ... Cring … sayup-sayup terdengar suara menembus gendang telinga kami. Cring … Cring ... Cring … suara itu makin mendekat, Cring … Cring … makin keras, mebahana di angkasa.
“Ya kami yakin suara itu …….. gunting !” Tapi mengapa gunting itu yang memegang , sang penguasa ?.

Berkuasa atau oposisi…? Solo, 2005





*Di muat di Solopos, Februari 2005


Masjid!




Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Nurdin. Ia berdiri dari tempat duduknya. Ia kemudian bergegas menuju pintu.
“Assalamualaikum” Sapa duluan Nurdin
“Walaikumsalam" Sahut sang tamu.
Nurdin memandang tamu tersebut dengan penuh seksama, ia merasa tidak asing dengan sosok tamu tersebut. Bajunya lusuh, kulitnya hitam, tubuhnya kurus dan matanya sedikit menonjol kedepan seolah mau keluar.`Ah…iya, orang ini adalah Pak Tarjo, jamaah masjid!` gumamnya dalam batin. Nurdin segera menyilahkan orang itu untuk duduk.
“Ada apa Pak, malam-malam begini!.Ada yang bisa saya Bantu ?” Ucap Nurdin dengan ramah dan santun.
“Begini Nak Nurdin, saya mendengar desas-desus bahwa masjid mau dibangun menjadi lantai dua. Apakah itu betul Nak Nurdin ?” Sahut Pak Tarjo. Ia adalah jamaah masjid yang paling tekun datangya.
“Iya Pak Tarjo, kemarin saya ketemu dengan ketua Ta`kmir, katanya masjid mau di renovasi” Jawab Nurdin.
“Begini Nak Nurdin kalau saya boleh memberi usul, mbok yao jangan direnovasi dulu masjidnya!. Lihatlah dulu kondisi masyarakat sekitar masjid yang sangat miskin, pemuda pada nganggur, anak-anak menjadi pekerja dan banyak lagi ketertinggalan yang lain” Ucap Pak Tarjo. Nurdin mendengar usul pak Tarjo tadi dengan penuh perhatian.
“Begini Nak Nurdin. Saya pikir lebih baik dana untuk renovasi digunakan untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sekitar masjid saja!. Saya rasa toh masjid itu masih layak dipakai untuk beribadah” Imbuh Pak Tarjo.
Nurdin terhenyak kaget dengan ucapan Pak Tarjo. Dia tidak mengira orang seperti Pak Tarjo yang pendidikannya rendah lebih tajam melihat kondisi yang ada. Ia baru betul-betul sadar dengar kata-kata yang keluar baru saja dari mulut Pak Tarjo. Betapa miskinnya masyarakat sekitar masjid. Nurdin mulai teringat tetangga-tetangganya yang hanya lulus sampai SD. Ibu-ibu yang tidak mampu membelikan susu kaleng anaknya. Pemuda-pemuda pekerjaan hanya mabok dan mencuri. Nurdin dalam batinnya tersadar betapa beruntungya ia selama ini, karena dapat melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Di desanya hanya ada tiga orang yang dapat melanjutkan kuliah, termasuk dirinya.
“Astaghfirullah …! Saya baru sadar betapa piciknya kita selama ini yang berorientasi bahwa pembangunan itu hanya dilihat dari fisiknya saja, harusnya dari segi non fisiknya juga di perhatikan” Sahut Nurdin dengan suara yang mengandung penyesalan.
“Baiklah Pak Tarjo dan terimakasih atas masukannya yang berharga buat saya dan masyarakat. Nanti akan saya bicarakan dengan teman-teman remaja masjid lainnya” Ucap Nurdin dengan penuh semangat
@@@
Setelah Nurdin dan Pak Tarjo bercakap-cakap tentang masalah rencana renovasi masjid malam kemarin, kesokan harinya Nurdin segera menghubungi teman-temanya untuk ketemu.
“Bud, nanti kita ketemu di basecamp remaja masjid. Penting!”
“Ada apa, Din” Sahut Budi
“Pokoknya datang dulu, nanti akan saya beritahu! Jangan lupa Beritahu yang lainnya. Katakan ini penting!” Baik Komandan sahut budi. Begitulah panggilan akrab Nurdin di masjid, karena Nurdin berpawakan cepak sekaligus ketua remaja masjid.
@@@
Malam harinya satu demi persatu remaja masjid berdatangan. Nurdin mulai membeberkan hasil percakapannya dengan Pak Tarjo. Ia memberikan gagasan-gagasannya tentang rencananya. Nurdin cukup pandai menyampaikannya dengan bahasa yang mudah dipahami dan lembut. Mendengar hasil percakapan Nurdin dan Pak Tarjo serta gagasan Nurdin, teman-teman remaja masjidnya cukup terheran, ternyata betapa naifnya konsep pembangunan selama ini.
“Komandan aku sangat sepakat dengan gagasanmu!” Ujar salah satu dari mereka.
“Iya saya juga sepakat. Besok ada rapat Ta`kmir nanti kita sampaikan disana!” Sahut yang lain.
@@@
Rapat Ta`kmir malam itu dimulai, di sebelah pojok kanan hadir Pak Haji Burhan yang kaya raya yang desas-desusnya mau naik haji yang ke empat kalinya. Di sebelah kiri pojok hadir Pak Lurah yang suka main judi di poskamling. Di tengah-tengah, Ketua Ta`kmir. Pak Hasan pengusaha mebel duduk disebelahnya, serta banyak lagi tokoh-tokoh masyarakat yang hadir malam itu.
“Assalamualaikum” Ucap Pak Hasan.
“Walaikumsalam” Sahut para peserta rapat malam itu.
“Pak Hasan, saya punya usul kalau masjid itu nanti kita beri kubah yang besar dan megah!” Ujar Pak Haji Burhan dengan Bangganya.
“Maaf Pak, sebelum ini terlanjur, saya punya pendapat. Lebih baik sementara waktu rencana pembangunan masjid itu kita tunda dulu !”
“Lho…ada apa ?” Sahut Pak Haji.
“Begini Pak Ketua Ta`kmir, saya punya usul. Lebih baik dana itu kita gunakan untuk peningkatan kualitas kehidupan penduduk kita!” Ujar Nurdin dengan tenang dan suara yang lembut.
Dengan mata membelalak dan suara yang keras, Pak Haji langsung menyahut “Bagaimanapun juga masjid itu tetap harus kita renovasi!”
“Tapi Pak…”Belum sempat Nurdin melanjutkan kata-katanya…
“Malu kita dengan warga sebelah, dikata kita tidak mampu membuat masjid yang mewah”Sahut Pak Haji
“Iya Pak Haji, aku sangat setuju dengan omonganmu, masak di desanya Pak Lurah masjidnya biasa-biasa saja” Sahut Pak Lurah dengan lantang dan sok wibawa
“Selama ini apasih yang kita pahami tentang fungsi masjid, buat gagah-gagahan, pamer, atau apa lagi…! Saya mencoba mengingatkan diri saya sendiri dan bapak-bapak, masjid adalah pusat kegiatan dan pembinaan umat Islam dalam segala aspek kehidupan, ekonomi, sosial, politik dan banyak hal lainnya, bukan untuk pamer, saya tekankan lagi bukan untuk pamer !” Ucap Nurdin dengan suara yang agak meninggi dan hampir saja lepas kontrol emosinya.
“Cah cilik …!Ndak usah ngguri kamu !” Jawab Pak Haji dengan nada yang tinggi.
Malam makin larut perdebatan di masjid itu semakin sengit dan tak terarah pembicaraannya.
“Baiklah, begini saja! Kita lanjutkan saja rapatnya pada mingu depan. Kita tutup rapat ini dengan bacaan Hamdallah” Ucap Ketua Ta`kmir menutup rapat pada malam hari itu. Dengan hati dongkol serta mencercau, Pak Haji dan Pak Lurah meninggalkan masjid itu. Mereka berdua memang dikenal berteman cukup baik. Disusul kemudian seluruh peserta rapat meninggalkan masjid satu persatu.
@@@
“Komandan kita operasi dan bagi-bagi tugas!”:
“Baiklah kita jalankan operasi. Budi, kamu satroni ketua Ta`kmir! Ulil, kamu satroni ibu Kamila, ketua kumpulan pengajian ibu-ibu! Bejo, datangi Pak Mulyono” Nurdin membagi tugas operasi kepada teman-teman remaja masjid dengan serius dan tegang seolah menghadapi situasi Negara yang genting, Malam itu juga Nurdin merancang satrategi untuk menggagalkan rencana renovasi masjid. Selama sepekan Nurdin dan para remaja masjid sibuk menjalankan aksinya, mereka semua berusaha melobi orang-orang agar tidak setuju masjid di renovasi.
@@@
“Bagaimana aksi kalian?” Tanya Nurdin dengan serius.
“Alhamdulillah sesuai rencana komandan. Kalau nanti malam sesuai target operasi, insya Allah kita menang!”.
Malam ini sesuai jadwal para pengurus Ta`kmir akan berkumpul kembali membicarakan rencana renovasi masjid. Seperti dugaan Nurdin rapat malam ini bakal alot, sengit dan buntu. Melihat situasi yang cukup menguntungkan, Nurdin mengusulkan untuk Voting.
`Pasti saya akan menang karena sesuai rencana operasi sudah sebelas orang yang tidak sepakat dengan renovasi, sedangkan pengurus Ta`kmir hanya duapuluh`. Nurdin berkata dalam hatinya dengan penuh keyakinan …*( Silahkan pembaca memilih penutup cerita sendiri dibawah ini. Pilihan anda akan memperlihatkan siapa anda !)

Pilihan Satu.
“Baiklah sekarang kita voting” Ucap ketua Ta`kmir
“Silahkan, siapa yang setuju masjid di renovasi angkat tangan…!”
“Satu…dua…tiga…empat… … sembilan” Hitung Ketua Ta`kmir.
“Jadi yang setuju renovasi sebanyak sembilan orang!” Ucap Ketua Ta`kmir
“Silahkan, sekarang giliran yang tidak setuju masjid di renovasi”
“Satu…dua…tiga…empat…lima…enam…tujuh…delapan….sembilan… ….se-se-se-selesai. Tidak ada lagi?” Ucap Ketua Ta`kmir..
Nurdin terdiam mendengar hasil penghitungan suara.

Pilihan Dua.
“Baiklah sekarang kita voting” Ucap ketua Ta`kmir
“Silahkan, siapa yang setuju masjid di renovasi angkat tangan…!”
“Satu…dua…tiga…empat… … sembilan” Hitung Ketua Ta`kmir.
“Jadi yang setuju renovasi sebanyak sembilan orang!” Ucap Ketua Ta`kmir
“Silahkan, sekarang giliran yang tidak setuju masjid di renovasi”
“Satu…dua…tiga…empat…lima…enam…tujuh…delapan….sembilan…sepuluh….” Ucap Ketua Ta`kmir.
Nurdin tersenyum menang mendengar hasil penghitungan suara.

Pilihan Tiga.
“Baiklah sekarang kita voting” Ucap ketua Ta`kmir
“Silahkan, siapa yang tidak setuju masjid di renovasi angkat tangan…!”
“Satu…dua…tiga…empat… … sembilan” Hitung Ketua Ta`kmir.
“Jadi yang tidak setuju renovasi sebanyak sembilan orang!” Ucap Ketua Ta`kmir
“Silahkan, sekarang giliran yang setuju masjid di renovasi”
“Satu…dua…tiga…empat…lima…enam…tujuh…delapan….sembilan….sepuluh…” Ucap Ketua Ta`kmir.
Pak Haji dan Pak Lurah saling melirik mendengar hasil akhir penghitungan suara kemudian mereka berdua tersenyum menang.



Musuh Ibu


Entah sejak kapan Ibu mendeklarasikan bermusuhan dengannya. Setahu saya Ibu selalu mengambil benda apapun yang ada didekatnya untuk mengeksekusinya. Ibu tak peduli dimana dan siapa yang melihatnya, Ibu pasti akan mengeksekusinya!. Meskipun itu terjadi dihadapan mataku dan adik-adikku. Yang lebih mengherankan lagi, Ibu selalu membuang barang apapun yang sudah terjamah olehnya.
Pernah suatu hari, barang yang baru saja dibeli oleh ayah, yaitu rantang makanan yang terbuat dari stainless, dikasihkan kepada orang begitu saja karena telah dijamahnya. Kejadian lainnya lagi, baju kesayangan ayah dibuang ibu ketempat sampah begitu saja, juga karena telah dijamahnya. Piring makan yang ada di rumah kami kian hari kian habis, tak lain tak bukan juga karena dibuang ibu karena sudah dijamah olehnya. Begitulah ibu, ia begitu anti dengan benda apapun yang telah dijamah oleh musuhnya itu. Jangan harap Ibu sudi menerima apalagi menyentuh benda yang telah dijamah oleh musuh bebuyutannya. Aku tak habis pikir kenapa ibu bisa sampai sebegitunya!.
Entah sejak kapan ibu mendeklarasikan bermusuhan dengannya. Setahu saya ibu selalu mengambil benda apapun yang ada didekatnya untuk mengeksekusinya. Ibu tak peduli dimana dan siapa yang melihatnya, ibu pasti akan mengeksekusinya! Terkadang kami juga dilatih untuk menjadi algojo untuk mengeksekusi musuhnya.Tak pelak jika musuh ibu datang, seisirumah seolah menjadi pasukan cadangan yang siap setiap saat jika ibu kewalahan menghadapi musuhnya.
“Pastikan ada benda di dekat kalian jika ia datang tiba-tiba kedalam rumah kita!” Pesan Ibu ketika kami baru nonton bareng berita kriminal di salah satu chanel stasiun televisi.
“Baik Bu!” Jawab adik laki-lakiku sambil tangannya mencari-cari benda yang dapat ia jumpai didekatnya.
“Kenapa kamu diam saja!” Ucap Ibu melihat adik perempuanku yang diam tak bergerak mengambil suatu benda apapun untuk di jadikan senjata.
“Iya Bu, sebentar lagi. Setelah selesai memakai bedak ” Jawab adikku yang asyik memakai bedak di sambil nonton tv.
“Lho…kamu juga tidak memegang benda apapun?!” Teriak Ibu kepadaku.
“Bentar lagi Bu! Nanggung, banyak tugas kampus yang harus saya selesaikan” Jawabku. Aku berusaha menyelesaikan tugasku sambil nonton televisi.
“Terserah kalian semua, yang penting jika ia datang kalian sudah siap untuk menyerbunya!” Ucap ibu yang memaksa kami untuk menjadi pasukan yang berada di bawah komandonya.
Acara kriminal ditelevisi yang kami tonton bareng-bareng itu terus saja menyiarkan tayangan-tayangan bagaimana para penjahat menghabisi nyawa para korbannya ada yang membunuh dengan cara diracun, ditikam dari belakang, dikeroyok rame-rame, kepalanya dipenggal dan dibuang ketengah sungai, yang perempuan diperkosa dulu kemudian tubuhnya dicabik-cabik dan setelah itu mayatnya di buang di got, urat tangan diputus hingga darah sang korban mengucur deras sampai mati kehabisan darah. Seakan tayangan yang kami tonton itu adalah sebuah pendidikan yang diberikan kepada kami untuk menghabisi musuh ibu yang harus dihadapi setiap saat. Hingga tayangan kriminal itu selesai, musuh ibu tak kunjung datang. Aku terasa lega hari itu, karena aku mengira tidak akan ada adegan eksekusi. Tapi ternyata perkiraan saya salah. setelah acara itu selesai kami melangkah pergi menuju kekamar kami masing-masing. Tapi baru beberapa langkah kami mendengar…
“Aaaaaaaaaa………….” Suara ibu menjerit dengan keras. Seketika itu juga Ibu mengambil sandal jepit, kemudian dengan sekonyong-konyong melemparkannya kearah musuhnya, tak puas hanya dengan sandal jepit, Ibu melemparkan sepatu yang berada di dekatnya, ibu makin bernafsu menghabisi musuhnya, ia mengambil sapu dan kemudian memukulinya dengan membabi buta hingga ia tak bernyawa lagi. Ibu belum puas juga dengan kematiannya, ia kemudian mengambil pisau dapur dan memincang-mincang tubunya Setelah adegan eksekusi itu usai, ibu menyuruhku membuangnya di got depan rumah.
“Jangan sampai ada orang yang tahu kalu kau membuangya di got!” Perintah Ibu.
“Baik Bu” Jawabku dengan penuh keengganan.
Selesai sudah satu adegan eksekusi yang ditampilkan ibu di depan mataku dan adiki-adikku. Aku berharap ibu bisa berhenti menampilkan adegan-adegan eksekusi di depan mataku dan adik-adikku, tapi entah kapan harapan itu akan terwujud.
@@@
Udara cerah menghiasi suasana pagi hari ini. Mentari bersinar dengan hangatnya. Kami sekeluarga tak mau melewatkan hari yang baik ini. Hari ini kami berencana akan pergi kerumah Kakek dan Nenek. Aku juga berharap hari ini tidak ada adegan eksekusi lagi di depan mataku, apalagi di rumah Kakek dan Nenek.
Dalam perjalanan menuju rumah Kakek dan Nenek, Ibu asyik bercerita tentang masa kecilnya, ada sepercik kebahagian yang terpancar dari wajah Ibu ketika mengisahkan masa lalunya. Tak mau ketinggalan Ayah juga menceritakan sepenggal kisah masa lalunya ketika di desa. Maklum, Ayah juga satu kampung dengan Ibu. Aku dan adik-adikku begitu senang bila Ayah dan Ibu sedang menceritakan masa lalunya.
“Kenapa Ibu mau dengan Ayah ?” Tanya usil adikku.
“Ya…pokoknya suka!” Jawab Ibu yang menyembunyikan alasan sesungguhnya.
“Ya karena Ayah paling ganteng satu kampung!” Sahut Ayah dengan begitu percaya diri.
Huuu….. sorak kami semua. Sorakan kami menambah hangat suasana, ketika kami bersorak aku sempat melirik wajah Ibu, ia hanya tersenyum simpul mendengar Ayah memuji dirinya sendiri. Tak terasa kami sudah dekat dengan rumah Kakek dan Nenek.
Neneeeeek……. Teriak adikku ketika baru saja turun dari mobil. Nenek langsung saja menghampiri adikku dan langsung memeluknya. Tak mau ketinggalan kakek juga ikut menyambut kedatangan kami dengan kehangatan.
“Mau berapa hari tinggal disini cucu-cucuku ?”
“Sepuasnya Kek!” Jawab adikku.
“Hus ngawur! Kamu disini kan hanya selam liburan, kalau sudah masuk ya kembali kerumah!” Sahut Ayah yang mendengar ucapan adikku.
“Tapi Yah…?”
“Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya kita pulang kalau liburannya sudah habis. Nanti Ayah akan menjemput kalian!”
Kami semua melangkah masuk kedalam rumah yang begitu bersih dan bersahaja. Ada guratan-guratan masa lalu yang masih tersisa di dalam rumah ini. Ayah dan Ibu akan menginap satu malam disini, keesokan harinya mereka akan kembali kerumah untuk bekerja dan beberapa hari kemudian mereka akan menjeput kami setelah masa liburan kami habis.
Malam ini kami akan makan malam bersama dengan hidangan istimewa yang dibuat oleh Nenek kami. Saya tak mau melewatkan momen yang baik ini, saya akan mengorek keterangan dari nenek, kenapa Ibu bisa bermusuhan dengannya, apakah ada alasan tertentu sehingga membuat Ibu betul-betul tidak suka dengannya, atau ada penyebab lain yang tidak diketahui Nenek dan Kakek!.
Makan malampun tiba. Aku duduk di diantara Nenek dan Kakek, agar aku leluasa berbicara dengannya. Sedangkan adik-adikku duduk berdekatan dengan Ayah dan Ibu.
“Nek, tolong ceritakan masa kecil Ibu ya!” Rajukku untuk memulai rencanaku.
“Kenapa kamu ingin tahu ?”
“Ya…biar tahu masa kecil ibu, apakah sama dengan masa kecil kami Nek !”
“Ibumu itu waktu kecil mbandel banget dan dia suka ngumpet di kolong tempat tidur jika dimarahi” Ungkap Nenek. Ibu hanya diam mendengar cerita yang disampaikan oleh nenek.
“Apa kesukaan Ibu waktu kecil Nek ?” Sahut adik perempuanku.
“Lha…! Ini kesukaan Ibumu yang ndak saya sukai. Apa hayoo?”
“Suka main kemana-mana Nek!” Jawab adik perempuanku.
“Bukan!” Jawab Nenek.
“Suka makan jajanan Nek!” Sahut adik laki-lakiku.
“Bukan itu juga”
“Lalu apa Nek ?” Desak adik perempuanku.
“Dia suka manjat pohon!”
Haaa… aku dan adik-adikku terkejut mendengar jawaban Nenek. Saya tak mengira kalau Ibu waktu kecil seperti itu. Setahu kami Ibu adalah seorang yang feminim, seorang yang penuh kasih sayang dan lembut.
“Kok seperti anak cowok!” Sahut adik perempuanku.
Ibu lagi-lagi hanya diam. Ia tidak berkomentar dengan jawaban adikku.
“Nek, apa Ibu waktu kecil punya pengalaman buruk?” Tanyaku dengan sedikit kuperhalus. Pertanyaan yang menjurus kearah mencari keterangan tentang penyebab kenapa ibu bisa bermusuhan dengannya.
“Apa ya…!” Nenek mencoba mengingat peristiwa tempo dulu.
Belum sempat Nenek menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba musuh ibu datang. Ia langsung menjamah piring yang ada di depan kami. Dengan sigap ibu langsung menyerang musuhnya. Piring itu pecah, namun musuh ibu dapat menghindar. Setelah itu musuh ibu menjamah gelas, dengan gesit ibu menyerangnya kembali. Namun lagi-lagi musuhnya dapat menghindar. Kini musuh itu menjamah baju Ayah. Ibu terdiam sebentar, menata serangan yang akan dilancarkan. Ibu tampak ragu-ragu. Sebelum ibu sempat melancarkan serangan, musuh ibu itu sudah berada di muka Ayah. Ibu Manahan serangannya, ia kelihatan berpikir ulang. Kecoa itu diam tak bergerak di wajah Ayah seolah menunggu dan menantang Ibu, apa yang akan dilakukan Ibu dengan baju Ayah dan wajah Ayah?!.
Tuk semua Ibu yang ada didunia.
Kartasura-2007


Menjemput Bidadari



“Kuharap Tuhan mencabut nyawamu”
Suara itu tiba-tiba hadir. Dalam sekejab suara itu menjelma menjadi sesosok tubuh. Matanya yang jelita begitu indah. Binarmya memancarkan selaksa kedamaian. Guratan kecantikan paras wajanya begitu purna.
“Aku sudah menantikan cumbuan suamimu” ucapnya seraya ia mendekatiku. Jungkit langkah kakinya bagaikan meniti singgasana awan putih. Tubuhnya serasa ringan melayang di udara.
Dadaku mulai bergemuruh mendengar ucapnya yang kedua. Darahku mendidih, mengalir ke sekujur tubuhku. Emosiku meluap-luap siap di muntahkan. Tapi aku tak sanggup. Takjub melihat wujudnya. Keanggunannya. Kecantikannya. Kelembutannya. Gairahnya. Semua begitu sempurna. Takdir menorehkan aku perempuan, tapi kehadirannya membiaskan berjuta kekaguman. Belum sempat mulutku melontarkan pertanyaan. Apa maksud kehadirannya!. Apa maksud kata-katanya!. Heranku tambah menjadi-jadi. Dari belakang tubuhnya mengembang sayap putih murni. Kepak-kepak sayapnya menebarkan pesona mistis. Belum hilang rasa heranku. Tubuhnya mengeluarkan aroma wangi kasturi yang menusuk hidungku, betapa harumnya. Di barengi kilauan cahaya yang berpendar dari auranya. Kemudian kepak-kepak kecil berkembang menjadi kepak-kepak besar yang menerbangkan tubuhnya. Sosok itu semakin jauh meninggalkan tanpa memberi isyarat apa kehendaknya. Tak lama kemudian tubuh itu menghilang di gulung angin meninggalkan seribu tanya. Tubuhku gemetar, panas, dingin. Keringatku luruh ke sekujur penjuru di tangkap jemari- jemari udara kemudian di hempaskan ke sekeliling alam, bau aneh merebak.
Ku himpun ruang kesadaranku agar aku mampu berpijak ke bumi. Kini waktu dan kesadaranku sudah bergandengan bersama mengisi jejak kehidupan.
“Istriku. Makan malam yuk !” ajak suamiku mencoba mencairkan suasana yang beku setelah pertengkaran yang tejadi. Suaranya menembus ke relung kesadaranku. Aku merasa ada sesuatu yang aneh yang telah terjadi pada diriku. Aku masih ingat. Terekam jelas dalam benakku. Jam sembilan tadi suamiku pulang. Pertengkaran hebat menyambut kedatangannya. Setengah jam kemudian pertengkaran kami mulai reda. Suamiku berucap. Istriku makan malam yuk !. Ya. Kata-kata yang meluncur dari mulut suamiku itu tepat jam sembilan tiga puluh karena aku masih sempat melirik jam di dinding. Penasaran medesakku. Ku lirik benda bulat yang menempel di dinding, jam. Jantungku berdegum keras. Kulihat jarum jam berhenti di angka sembilan. Mulutku nganga. Bulu kudukku serempak berdiri. Aku tidak yakin apa yang telah terjadi sepotong waktu telah hilang dariku. Kini benang waktu itu terjalin kembali namun ada waktu yang telah tercuri dariku.
Gelap merangkak menyelimuti jagat raya hitam menelungkup semesta. Cahaya-cahaya kecil menyembul di balik kepekatan malam kini telah larut. Suamiku sudah tertidur pulas. Melupakan pertengkaran yang telah terjadi hari ini. Penasaranku masih mendesak-desak. Sebongkah kalut enggan pergi dari pikiranku. Sesuatu di atas normal. Melewati batas. Di luar imaji. Kemana aku harus mengaduh. Ke suamiku…? Curiga selalu mengintai setiap gerak-geriknya. Ketidakpercayaan melekat pada tuturnya. Setiap hari letupan-letupan emosi terjadi di antara kami. Teror kata selalu kuhujamkan kepadanya tak peduli hatinya remuk, sakit, hancur yang penting aku puas. Kepuasan pribadi yang tak akan kubagi dengan siapapun.
Serum cinta selalu kami hirup bersama. Secawan kasih selalu kita teguk berdua. Roda waktu terus menggelinding melindas kenangan lalu. Kini bahtera rumah tangga selalu dihiasi istilah di sakiti atau menyakiti hati. Mataku sulit kupejamkan. Ah… Aku ingin melupakan itu semua. Ku harap esok akan menemukan setangkai jawaban tentang teka-teki waktu yang lenyap. Bintang bertaburan di hamparan langit maha luas. Malam tertidur dengan damai.
@@@
Kepulan asap dari secangkir kopi hangat yang ku buat mengusik hidung suamiku yang masih tidur, membuat ia terbangun. Kemudian ia langkahkan kakinya menuju meja makan. Seteguk kopi membuka percakapan kami.
“Istriku. Hari ini aku pulang malam lagi. Ada rapat !”
“Bohong”
“Istriku. Apa yang harus kulakukan untuk membuktikan kejujuranku”
“Bohong. Pencuri tidak akan mengakui perbuatannya. Jika mengakui perbuatannya. Pastilah penjara penuh”
“Istriku. Betapa mudah syakwa sangka yang kau keluarkan dari mulutmu. Apakah sudah tidak ada setitik saja kepercayaan yang tersisa di dadamu”
“Tak mungkin lagi aku percaya padamu” tak sengaja Ku lirik jam. Jarum jam menujukkan pukul delapan tiga puluh.
“Aku sudah berkata jujur. Terserah apa katamu” sambil meletakkan secangkir kopi hangat.
Kilauan cahaya berpendar ke sekeliling ruangan. Putih menguasai segenap isi ruangan ini.
“Kenapa kau begitu tega menyakiti hati suamimu” suara itu sepertinya pernah kudengar. Perlahan-lahan wujudnya mulai nampak.
“Bukan begitu maksudku”Kilahku
“Lalu mengapa kau begitu puas menyakiti hatinya”
“Sungguh. Kulakukan semua itu karena aku mencintainya”
“Begitukah caranya!” suaranya lembut. Kibasan sayapnya menebar pesona.
“Itukah makna cinta yang kau miliki jika masih kau gunakan cara itu. Sebentar lagi ia meninggalkanmu dan menjadi milikku”
Sedetik kemudian sesosok tubuh itu hancur berkeping-keping berhamburan ke seluruh penjuru udara. Lenyap tak berbekas meninggalkan keharuman yang luar biasa. Siapakah dia sebenanya. Bidadari yang turun dari surga?. Kutengok jam yang selalu menempel di dinding. Aneh!. Jam itu tak bergerak sama sekali berhanti di pukul delapan.
“Terserah apa katamu” suara percakapan terakhir di meja makan bersama suamiku membelah kesenyapan. Waktu mendorong jarum jam bergerak kembali. Tapi waktu telah tercuri setengah jam.
“Suamiku Kau lihat kejadian tadi”
“Kejadian mana?”
Ganjil. Aneh. Di atas normal. Melewati batas. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk kejadian yang kualami ke dua kalinya. Mengapa semua ini terjadi padaku. Mengapa ia memperkarakan cinta. Apa arti cinta. Makna cinta. Hakikat cinta. Ah… cinta. Cinta adalah sebuah rasa yang tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Cinta adalah anugerah terindah dari Tuhan untuk manusia.
Pagi beranjak siang. Berjuta tanya. Beribu penasaran selalu menggelayutiku. Malampun tiba dengan lambat menyapa alam dengan menebarkan kegelapan.
“Suamiku apa yang kau inginkan dalam hidupmu”
“Aku hanya ingin hidup damai dan kelak berada di surga di temani Bidadari”
“Hanya itu suamiku”
“Ya” percakapan ketika malam pertama kami.
@@@
Secercah cahaya sinar matahari menyambangi kamar. Seperti biasa di pagi hari kami duduk bersama di meja makan.
“Suamiku besok akhir pekan kita liburan kemana?”
“Maaf” suaranya pelan
“Besok akhir pekan aku sudah ada janji. Mau ketemu dengan kolegaku”
“Kapan Kau punya waktu untuk istrimu” suaraku agak meninggi
“Minggu lalu Kau bilang kita akan liburan minggu depan. Mana janjimu!” Aku berhenti sejenak
“Munafik” sambil jarikku menujuk kearahnya.
“Lalu mana janjimu. Katanya mau membelikan perhiasan”
Suamiku terduduk diam.
“Bagaimana janjimu yang lain. Dua minggu yang lalu kau berkata akan membeli perabotan rumah tangga”
Suamiku tetap membisu.
“Kau ini bagaimana. Janji tinggal janji. Tak pernah menepatinya. Dasar laki-laki pembual”
Bau harum memenuhi seluruh ruangan. Sesosok tubuh bersayap muncul kembali tapi kali ini berbeda suamiku dapat melihat keganjilan yang sedang terjadi ia kaget dan bingung melihat ini semua.
“Kenapa Kau belum ubah sifatmu” suaranya lembut. Ia mendekat ke arah kami.
“Terserah aku. Apa pedulimu !”
“Hari ini akan kujemput suamimu”Bidadari itu mendekat kearah suamiku. Kemudian Ia merengkuhnya. Membelainya. Kepakan sayapnya membawa mereka terbang menuju langit. Cahaya berpendar terang. Bau harum perlahan hilang di lumat udara
Aku hanya diam.
Sungguh ! . Semua yang kulakukan selama ini hanya untuk mu. Agar kau di jemput Bidadari.
Tiba-tiba kilauan cahaya berpijar dari tubuhku. Bau harum menyeruak dari auraku. Sayap putih menyembul dari punggungku. Kemudian kepak-kepak sayapku membawaku terbang.
Hahaha………
Makhluk jahanam yang selama ini membisikki wanita itu tertawa menang.


Memperkarakan cinta…?.Solo 2005






Sepotong Waktu Orang Terpinggir*


Sudikah kiranya tuan mendengar sepenggal kisah dalam hidupku di mulai dari sepotong waktu dalam drama kehidupanku yang terjadi di belahan bumi, di suatu negeri yang di kenal Negeri tentrem kertaraharja gemah ripah loh jinawi, tepatnya di sudut sebuah kota. Riuh rendah suara manusia menguap di terjang angin, alam yang terang benderang perlahan-lahan lenyap di telan keperkasaan raja kegelapan. Beberapa penghuni mulai pulang kerumah masing-masing di sambut sepasang binar mata teduh dan serekah senyum kerinduan membuyarkan kelelahan yang melekat di tubuh, bercengkrama dengan keluarga adalah hadiah terindah dari surga bagi orang-orang yang tingal di sudut kota. Terbayar sudah kepenatan sehari yang hanya mampu untuk membeli sekilo beras dan sepotong tempe itupun ketika mujur hanya itu, binar mata dan serekah senyum pelipur lara mereka, tak ada lain yang di cari di negeri ini. Duh ! binar mata dan rekah senyum keluarga.
Waktu terus menggelinding malam itu, lampu rumah tetanggaku mulai padam pertanda sang penghuni berangkat berlayar ke samudera impian. Setelah meninabobokan kedua putriku hingga terlelap pulas. Aku dan istriku bercakap-cakap tentang masa depan. Ya! Tentang sebuah masa depan. Suatu topik pembicaraan yang tabu bagi aku seorang yang berprofesi guru, sungguh kata masa depan bagi seorang guru adalah kata-kata yang begitu indah di dengar tapi hanya bertengger di awang-awang.
“Kelak kita akan punya mobil sendiri, rumah lebih dari satu, menyekolahkan anak di sekolah termahal (apakah mahal jaminan kualitas?) dan terfavorit” kata istriku dengan semangat yang berkobar-kobar.
“Kelak kita…”belum selesai istriku melanjutkan angannya yang lain aku memotongnya
“Sudah aku juga punya cita…”.
Suara megaphone berdenging.
“Saudara-saudara! Kalian saya beri waktu dua jam untuk berkemas dan meninggalkan tempat ini”
Anganku yang baru mau mulai mengembara terhenti mendengar teriakan orang dari luar. Seditik kemudian mataku melirik kearah jarum jam.Dua belas malam tepat, ya! Mataku tidak salah. Aku bingung.
Suara gedoran pintu ikut mericuhi suasana, membuatku tambah kalut malam itu, aku segera merengkuh istriku dan kedua anakku. Sudah beberapa bulan ini di layar televisi marak di tayangkan penggusuran. Menjadi sebuah trend sekaligus kebanggaaan penguasa bisa menggusur sak enak udele dewe. Kulangkahkan kedua kakiku menuju pintu, kuharap yang datang adalah tetanggaku atau pak RT yang akan menjelaskan tentang semua kejadian ini. Ku buka pintunya perlahan-lahan…
“Anda masih punya waktu dua jam untuk meninggalkan rumah ini!”
“Ta-a-a-api Pak ”
“Nggak ada tapi-tapian!”
“Ta-a-a-api Pak ”
“Nggak ada kompromi !”
“Ta-a-api Pak”
“Bukan urusan saya. Silahkan protes ke atasan saya” orang itu balik arah kemudian lenyap di telan kegelapan.
Suara mereka masih menggema walau wujud mereka sudah tidak ada disini. Mereka bagaikan segerombol malaikat yang berbaju polisi Pamong Praja. Setiap ucap atasan selalu dilakukan, tak ada keinginan untuk membangkang. Kakiku terasa di paku ke bumi, tubuhku mematung. Untung istriku segera tanggap dengan kondisi yang ada, ia menghampiriku kemudian menggadeng tanganku di ikuti langkah-langkah dua malaikat kecilku. Mataku nanar melihat rumahku. Selangkah demi selangkah kutinggalkan raga dan jiwaku dari istana kenangan, bayangnya semakin menyusut. Tak ada perlawanan dariku, dari orang pinggiran macam aku. Apa arti perlawanan jika hukum sudah di beli penguasa !. Apa arti Keadilan jika di tegakkan diatas darah dan tangis rakyat !. Apa arti semua itu jika moncong senjata di depan hidung !. Aku menyerah.
Aku dan keluargaku pergi meninggalkan rumahku seperti penjahat yang di gelandang keluar dari sarangnya. Entah kemana aku harus menginjakkan kaki mencari tempat berteduh di tengah malam buta. Oh… dimana rasa kemanusiaan.
Ke esokan harinya.
“Maaf Pak anda di pecat karena ulah anda tidak sesuai dengan visi dan misi yayasan sekolah” ucap kepala sekolah dengan gayanya yang sok ramah.
@@@
“Kang aku pakai semalam ya tempatnya” lelaki sopir truk itu langsung berjalan masuk dengan menggandeng wanita yang ada di sampingnya.
“Iya Bang pakai saja tapi jangan lupa fulusnya”
“Beres !”lelaki itu menutup pintu buru-buru, tanda birahinya mulai menerjang. Sekilas matanya mengerdip kearahku seolah ingin berkata beres nanti urusanya di belakang.
Setelah pintunya tertutup aku segera bersiul.
Kode siulan itu segera di tanggapi pelangganku yang lain. Bergegas beberapa orang mulai berdatangan ke gubukku yang kubuat dari kardus dan rongsokan, mereka segera ku tariki karcis tontonan yang akan segera di mulai. Setelah mereka memberikan uang tontonan, mereka langsung menempel ke gubuk mencari lubang-lubang yang memeng aku buat dengan sengaja agar bisa melihat kedalam. Sambil menyelam minum air, mungkin itu pepatah yang cocok. Sambil menyewakan tempat untuk bermain cinta aku juga membuat tontonan yang menghasilkan uang.
Sejak rumah dan pekerjaanku di gusur delapan tahun yang lalu aku sudah berusaha mencari pekerjaan kemana-mana tapi tak ada hasilnya, akupun putus asa, apa arti idealisme ketika tidak sesuai realita, apa arti idealisme ketika tidak bisa di bumikan. Untuk menghidupi kedua putriku aku membuat gubuk dari rongsokan dan kardus yang kujadikan lahan mencari nafkah. Ya!, tempat untuk bermesum. Pelangganku memang hanya orang-orang pinggiran, sopir truk, sopir angkot, kuli bangunan. Tapi cukup lumayan untuk menghidupi keluargaku,itu semua kulakukan karena penghasilan dari pengangkut sampah tidak mencukupi, pekerjaan yang kudapat setelah penggusuran itu. Belum pernah tercatat dalam sejarah penggusuran menghasilkan kemakmuran, kesejahteraan, tapi mengapa ikon pembangunan selalu dengan penggusuran.
Oh, iya aku lupa bertutur tentang istriku. Sejak peristiwa penggusuran itu istriku mulai mengaduh tentang ini dan itu. Aku berusaha mewujudkan angannya tapi apa daya aku hanya orang pinggiran, seorang pengangkut sampah. Semakin hari, detik demi detik bergulir dalam nafasku ia semakin berani untuk berterus terang bahwa ia sudah tidak tahan dengan hidup semacam ini. Hatiku gundah mendengar ucapnya belum lagi kedua putriku yang sedang sakit. Setelah beberapa minggu keterusterangannya ia menjadi pendiam, tak lama setelah aksi diamnya ia pun menghilang entah kemana tak tahu rimbanya. Aku berjuang sendiri untuk menghidupi kedua putriku dengan cara apapun yang penting mereka bisa makan, termasuk dengan menyewakan gubukku ini. Pernah suatu hari temanku ingin memakai tempat ini tetapi dengan gratis karena uangnya pas-pasan tuk bayar sang perempuan, sebenarnya aku mau menolak, tapi dia sahabatku yang profesinya hampir sama denganku, seorang pemulung. Akupun merelakan tempatku tuk sahabatku agar ia merasakan surga dunia. Tapi bagaimana makanku hari ini, kuputar otaku, segera aku bersiul kemudian seperti biasa para penonton berhamburan datang, akupun menarik uang satu persatu dari mereka, dengan segera mereka menempel ke lubang-lubang yang kubuat, bioskop ala orang pinggiran, murah meriah, sebuah hiburan pelepas lelah, penat, pusing sekaligus menegangkan urat syaraf.
Tampak dari kejauhan tiga orang mendekat ke arahku, semakin mendekat aku mulai menyadari siapa mereka, makin dekat peluh dan keringatku makin bercucuran.
“Bang jangan gusur penghidupanku”teriakku
“Kami mau…”
“Bang ini uang rokok untuk Abang” kusergah pembicaraanya
“Kalau kurang, kutambah uangnya Bang!”
“Kami mau… pakai tempatmu”
Aku terhenyak mendengarnya, sungguh di luar dugaanku, kukira mereka mau menggusurku, tapi mereka malah mau makai.
“Untuk abang berdua gratis kok!”
“Makasih, kau aman menjalankan usahamu”
Mereka segera masuk ke gubukku. Mereka berdua masih mengenakan baju seragam Tramtib, yang satunya adalah perempuan. mungkin sang perempuan adalah salah satu hasil dari operasi penertiban yang meaka lakukan, tebakku. Akupun tak mau rugi segera aku bersiul tak lama kemudian seperti biasanya para penikmat pertunjukan segera berhamburan mencari tempat yang cocok bagi mereka. Sebelum pertunjukan selesai mereka tidak menghenyakkan kakinya dari tempat tontonan. Bintang-bintang bertaburan di atas langit. Pertunjukan mulai usai. Malam kembali sunyi.
Secercah cahaya menelusup dari balik celah-celah kardus menghujam ke arah pelopak mataku, silau. Membuatku terbangun. Udara dingin merasuk ke sekujur tubuhku hingga terasa ke tulang-belulang. Setetes demi setetes embun terus menghujam ke bumi menuruti kehendak alam. Gelap tersingkap terang, sebuah harapan yang ingin kugapai hari ini semoga hari ini ada perubahan dalam hidupku. Sebuah harapan yang kurindukan di setiap pagi tetapi selalu sirna ketika bersentuhan dengan dunia nyata. Tapi anehnya setiap pagi selalu kulakukan, sebuah cita dan harapan terus ku kumandangkan dalan jiwaku.
Lariiiii…..
“Awas ada operasi trantib”teriak orang-orang yang berhamburan menyelamatkan diri.
Aku tersentak. Baru semalam petugas Tramtib berucap “Usahamu aman”. Tapi di pagi buta ketika aku dan orang-oang baru mengepakan angannya, teror sudah di tebarkan dengan nama operasi penertiban, tak lain tak bukan Penggusuran. Rekaman peristiwa delapan tahun yang lalu selintas berkelebat dalam memoriku. Akankah ini terulang kembali, ya !, tak usah ragu, ini pasti akan terjadi karena kulitku terasa sakit ketika kucubit. Aku segera berlari menyelinap diantara orang-orang yang menyelamatkan diri. Dari kejauhan aku masih sempat menyaksikan gubukku runtuh perlahan-lahan.
Ku seret kedua kakiku mengikuti kemana arah angin bertiup. Aku menggelandang bersama kedua putriku dan dengan satu-satunya harta yang kumiliki, gerobak pengangkut sampah. Aku berharap ada keajaiban hari ini. Sehari penuh aku menjajakan jasaku untuk mengangkut sampah, kesana-kemari, tapi keberuntungan ternyata tidak memihakku hari ini. Hari mulai malam, kucari tempat untuk menginap tapi tak kutemukan, tentu kami perlu tempat bermalam. Akhirnya gerobak yang setia mendampingiku kujadikan rumah berjalan. Kedua putriku tidur di dalam gerobak dengan perut kosong dan kuharap mereka terbang dengan mimpi indahnya.
Mentari mulai muncul. Aku berharap hari ini aku dapat sesuap nasi. Aku berjalan kesana kemari dengan gerobakku. Akhirnya aku berhenti di tempat proyek pembangunan, aku putuskan jadi kuli bangunan sehari. Sebuah keberuntungan hari ini kami dapat makan.Sehari jadi kuli bangunan di proyek tubuhku terasa lelah sekali. Aku enggan berjalan mencari tempat bermalam, ku putuskan untuk bermalam saja di proyek ini.
“Bang aku pinjam gerobaknya-ya!”pinta teman baruku. Seorang kuli bangunan.
“Untuk apa?”
“Biasa, tuk menghangatkan badan”jawabnya
“Silahkan Bang tapi jangan lupa uang rokoknya”
Aku mempersilahkannya kemudian aku merebahkan badanku. Beberapa menit telah berlalu. Para kuli bangunan berkerumun di dekat gerobakku, Aku heran !, mereka seperti mendapat tontonan yang begitu mengasyikan. Aku mendekat.
“Bang di gerobak ada yang sedang bermain cinta”seseorang bebisik ketelingaku.
Aku penasaran. Selama ini aku tak pernah dan tak sudi melihat semacam itu, tapi malam ini aku penasaran. Kudekati gerobakku, kusibakan orang-orang yang sedang berkerumun, aku makin mendekat, kulihat wajah sang perempuan, wajahnya kira-kira masih belasan tahun, lebih dekat lagi, wajahnya seperti ku kenal, penasaranku makin memuncak, aku mendekat pelan. Kini wajahnya jelas sekali. Ia adalah Putriku !.


Glossary:
Negeri tentrem kertaraharjo gemah ripah loh jinawi = Negara yang tentram aman sejahtera.
Sak enak udele dewe = Semaunya sendiri.