Sabtu, 28 Agustus 2010

Pendaftaran FLP Solo Raya Online (silahkan klik judul ini untuk mengisi formulir pendaftaran)


Forum Lingkar Pena dan Gerakan Sastra Motivasi

“Forum Lingkar Pena sangat fenomenal. FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia” (Taufiq Ismail).
Ungkapan Taufiq Ismail kami rasa tidak berlebihan. Dibandingkan dengan Negara-negara di Asia Tenggara lainnya, jumlah penulis di Indonesia-sebagaimana jumlah pertumbuhan penduduknya-sangat besar. Pada dekade terakhir Indonesia diramaikan oleh munculnya penulis-penulis muda berusia di bawah 30 tahun serta maraknya pertumbuhan kantong-kantong sastra di kota-kota di Indonesia.

Salah satu yang dianggap fenomenal adalah munculnya Forum Lingkar Pena (FLP), tahun 1997. Dalam waktu yang relatif singkat, organisasi yang memiliki cabang di hampir 30 propinsi dan di mancanegara ini telah beranggotakan lebih dari 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 500 di antaranya menulis secara aktif di berbagai media masa. Mereka berusaha membina 4500 anggota FLP lainnya untuk menjadi penulis pula! Selama dua belas tahun sejak berdiri, organisasi penulis ini telah menerbitkan lebih dari 500 buku yang sebagian besar terdiri dari karya sastra serius, fiksi remaja, dan cerita anak. Tidak ada lembaga yang mensponsori FLP. Kemandirian ini memungkinkan menulis sesuai kata hati. Koran Tempo, salah satu media paling berwibawa di Indonesia, menyebut FLP sebagi sebuah “Pabrik Penulis Cerita!”

Suatu hal yang menggembirakan, dari ratusan buku berlogo FLP yang diterbitkan oleh puluhan penerbit mitra, ternyata rata-rata berisi cerita-cerita yang memotivasi. Jadi, dengan jaringan yang luas, anggota yang banyak, serta produktivitas yang tinggi, tak berlebihan jika FLP memiliki kesempatan emas untuk memperbaiki negeri ini, lewat gerakan sastra motivasi.


Penfataran Anggota Baru

Untuk menyemai bibit para penulis muda, maka FLP Solo Raya membuka pendaftaran Anggota angakatan ke 6. Insya Allah bakal digelar di bulan oktober 2010. Untuk pendaftaran bisa dilakukan secara online via sms. Ketik: Daftar FLP_Nama_Alamat_TTL. Kirim ke: 08172831102. Jangan lupa klik judul di atas untuk mengisi formulir pendaftaran! Kami tunggu, ya!

NB: Informasi biaya dan tempat pelatihan menyusul

Rabu, 25 Agustus 2010

Tolong, aku terjebak di Australia!


Maaf, jika kau mengira aku betul-betul terjebak di negeri kangguru tersebut. Sekali lagi maaf. Tulisan ini hanya mau membagi rasa keheranan saja. Beberapa minggu yang lalu, aku iseng menulis kata “Candikala Aries Adenata” di search engine yang paling popular, yakni di mbah google.

Ha…! Novel yang saya tulis 3-4 tahun yang lalu terjebak salah satu sudut ruang koleksi National Library of Australia. Novel itu berjudul “Candikala”. Sebuah novel yang mengangkat mitos bunuh diri di Gunung Kidul. Sebuah mitos yang mereka namakan pulung gantung. Jika terjadi pulung gantung. Maka, warga(yang tua) rame-rame memukul kentongan mengelilingi kampong. Sedangkan anak-anak memainkan pecut alias cemeti.

Sebuah mitos yang di luar nalar dan akal sehat. Bayangkan! Angka bunuh diri di Gunung Kidul sekitar 20-30 pertahun. Sebuah angka tertinggi bunuh diri di Indonesia. Angka yang sangat fantastic bukan? Banyak faktor yang melatar belakangi kenapa mereka bunuh diri. Diantaranya adalah kemiskinan, penyakit, kondisi alam, dsb.

Sebuah tugas berat bagi negara dan para tokohnya untuk menyadarkan, bahwa mitos itu tidak benar. Bunuh diri adalah dosa besar dan tak terampuni!

Aku berharap, buku itu tidak terjebak secara fisik. Namun, ia dapat berjalan ke seantero dunia untuk mengabarkan duka di Gunung Kidul dan memberi pencerahan bagi mereka. Bukan kah begitu bung?

Kamis, 19 Agustus 2010

Welcome to My Webblog


After two days, using widget visitor statistic based on the country in my blog. I really surprise, the visitor coming from Malaysia, Australia, United State, Norway, Australia, it’s also from my Country, Indonesia.

Today’s, I’m still surprise, what they see in my blog, it’s just my own writing. But, I want said Welcome to my webblog and thanks for visiting.

I hope, you are not disappointed for visiting. The aim of this blog is to raising the spirit of Indonesia. In this site, you may get article about Indonesia, literature essay, short story, poem, and etc. I hope, one day, this blog/site will be bilingual language (Indonesia and English). So, Indonesia people and all people around the world can read about Indonesia social, politic, especially culture and art.

So, one against. Welcome to my webblog friends!

Rabu, 18 Agustus 2010

Musuh Ibu*


Entah sejak kapan ibu mendeklarasikan bermusuhan dengannya. Setahu saya, ibu selalu mengambil benda apapun yang ada didekatnya untuk mengeksekusinya. Ibu tak peduli dimana dan siapa yang melihatnya, Ibu pasti akan mengeksekusinya! Meskipun, itu terjadi dihadapan mataku dan adik-adikku. Lebih mengherankan lagi, ibu selalu membuang barang apapun yang sudah terjamah olehnya.
Pernah suatu hari, barang yang baru saja dibeli oleh ayah, yaitu rantang makanan yang terbuat dari stainless, dikasihkan kepada orang begitu saja karena telah dijamahnya. Kejadian lainnya lagi, baju kesayangan ayah, dibuang ibu ketempat sampah begitu saja, juga karena telah dijamahnya. Piring makan yang ada di rumah kami kian hari kian habis, tak lain tak bukan juga karena dibuang ibu karena sudah dijamah olehnya. Begitulah ibu, ia begitu anti dengan benda apapun yang telah dijamah oleh musuhnya itu. Jangan harap, ibu sudi menerima, apalagi menyentuh benda yang telah dijamah oleh musuh bebuyutannya. Aku tak habis pikir, kenapa ibu bisa sampai sebegitunya!
Entah sejak kapan, ibu mendeklarasikan bermusuhan dengannya. Setahu saya, ibu selalu mengambil benda apapun yang ada didekatnya untuk mengeksekusinya. Ibu tak peduli dimana dan siapa yang melihatnya, ibu pasti akan mengeksekusinya! Terkadang, kami juga dilatih untuk menjadi algojo untuk mengeksekusi musuhnya. Tak pelak, jika musuh ibu datang, seisi rumah seolah menjadi pasukan cadangan yang siap setiap saat jika ibu kewalahan menghadapi musuhnya.
“Pastikan ada benda di dekat kalian, jika ia datang tiba-tiba ke dalam rumah kita!” Pesan Ibu ketika kami baru nonton bareng berita kriminal di salah satu chanel stasiun televisi.
“Baik Bu!” Jawab adik laki-lakiku sambil tangannya mencari-cari benda yang dapat ia jumpai di dekatnya.
“Kenapa kamu diam saja!” Ucap Ibu melihat adik perempuanku yang diam tak bergerak mengambil suatu benda apapun untuk dijadikan senjata.
“Iya Bu, sebentar lagi. Setelah selesai memakai bedak ” Jawab adikku yang asyik memakai bedak sambil nonton tv.
“Lho, kamu tidak memegang benda apapun?!” Teriak Ibu kepadaku.
“Bentar lagi Bu! Nanggung, banyak tugas kampus yang harus saya selesaikan” Jawabku. Aku berusaha menyelesaikan tugasku sambil nonton televisi.
“Terserah kalian semua, yang penting, jika ia datang, kalian sudah siap untuk menyerbunya!” Ucap ibu yang memaksa kami untuk menjadi pasukan yang berada di bawah komandonya.
Acara kriminal ditelevisi yang kami tonton bareng-bareng itu terus saja menyiarkan tayangan-tayangan bagaimana para penjahat menghabisi nyawa para korbannya, ada yang membunuh dengan cara diracun, ditikam dari belakang, dikeroyok rame-rame, kepalanya dipenggal dan dibuang ketengah sungai, perempuan diperkosa dulu kemudian tubuhnya dicabik-cabik dan setelah itu mayatnya di buang di got, urat tangan diputus hingga darah sang korban mengucur deras sampai mati kehabisan darah. Seakan tayangan yang kami tonton itu adalah sebuah pendidikan yang diberikan kepada kami untuk menghabisi musuh ibu yang harus dihadapi setiap saat. Hingga tayangan kriminal itu selesai, musuh ibu tak kunjung datang. Aku terasa lega hari itu, karena aku mengira tidak akan ada adegan eksekusi. Tapi ternyata, perkiraan saya salah. Setelah acara itu selesai kami melangkah pergi menuju ke kamar kami masing-masing. Tapi baru beberapa langkah kami mendengar…
“Aaaaaaaaaa………….” Suara ibu menjerit dengan keras. Seketika itu juga Ibu mengambil sandal jepit, kemudian dengan sekonyong-konyong melemparkannya kearah musuhnya, tak puas hanya dengan sandal jepit, ibu melemparkan sepatu yang berada di dekatnya, ibu makin bernafsu menghabisi musuhnya, ia mengambil sapu dan kemudian memukulinya dengan membabi buta hingga ia tak bernyawa lagi. Ibu belum puas juga dengan kematiannya, ia kemudian mengambil pisau dapur dan memincang-mincang tubuhnya. Setelah adegan eksekusi itu usai, ibu menyuruhku membuangnya di got depan rumah.
“Jangan sampai ada orang yang tahu kalau kau membuangya di got!” Perintah Ibu.
“Baik Bu” Jawabku dengan penuh keengganan.
Selesai sudah satu adegan eksekusi yang ditampilkan ibu di depan mataku dan adiki-adikku. Aku berharap, ibu bisa berhenti menampilkan adegan-adegan eksekusi di depan mataku dan adik-adikku, tapi entah kapan harapan itu akan terwujud.
@@@
Udara cerah menghiasi suasana pagi hari ini. Mentari bersinar dengan hangatnya. Kami sekeluarga tak mau melewatkan hari yang baik ini. Hari ini kami berencana akan pergi kerumah kakek dan nenek. Aku berharap, hari ini tidak ada adegan eksekusi lagi di depan mataku, apalagi di rumah kakek dan nenek.
Dalam perjalanan menuju rumah kakek dan nenek, ibu asyik bercerita tentang masa kecilnya, ada sepercik kebahagian yang terpancar dari wajah ibu ketika mengisahkan masa lalunya. Tak mau ketinggalan, ayah juga menceritakan sepenggal kisah masa lalunya ketika di desa. Maklum, Ayah juga satu kampung dengan ibu. Aku dan adik-adikku begitu senang bila ayah dan ibu sedang menceritakan masa lalunya.
“Kenapa ibu mau dengan ayah?” Tanya usil adikku.
“Ya…pokoknya suka!” Jawab ibu yang menyembunyikan alasan sesungguhnya.
“Ya…karena ayah paling ganteng satu kampung!” Sahut Ayah dengan begitu percaya diri.
Huuu….. sorak kami semua. Sorakan kami menambah hangat suasana, ketika kami bersorak, aku sempat melirik wajah ibu, ia hanya tersenyum simpul mendengar ayah memuji dirinya sendiri. Tak terasa, kami sudah dekat dengan rumah kakek dan nenek.
Neneeeeek…teriak adikku ketika baru saja turun dari mobil. Nenek langsung saja menghampiri adikku dan langsung memeluknya. Tak mau ketinggalan kakek juga ikut menyambut kedatangan kami dengan kehangatan.
“Mau berapa hari tinggal disini cucu-cucuku?”
“Sepuasnya Kek!” Jawab adikku.
“Hus…ngawur! Kamu disini kan hanya selama liburan, kalau sudah masuk, ya kembali kerumah!” Sahut ayah yang mendengar ucapan adikku.
“Tapi Yah…?”
“Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya kita pulang kalau liburannya sudah habis. Nanti Ayah akan menjemput kalian!”
Kami semua melangkah masuk ke dalam rumah yang begitu bersih dan bersahaja. Ada guratan-guratan masa lalu yang masih tersisa di dalam rumah ini. Ayah dan Ibu akan menginap satu malam disini, keesokan harinya mereka akan kembali kerumah untuk bekerja dan beberapa hari kemudian mereka akan menjeput kami setelah masa liburan kami habis.
Malam ini, kami akan makan malam bersama dengan hidangan istimewa yang dibuat oleh Nenek kami. Saya tak mau melewatkan momen yang baik ini, saya akan mengorek keterangan dari nenek, kenapa ibu bisa bermusuhan dengannya, apakah ada alasan tertentu sehingga membuat ibu betul-betul tidak suka dengannya, atau ada penyebab lain yang tidak diketahui nenek dan kakek!
Makan malampun tiba. Aku duduk di diantara nenek dan kakek, agar aku leluasa berbicara dengannya. Sedangkan adik-adikku duduk berdekatan dengan ayah dan ibu.
“Nek, tolong ceritakan masa kecil ibu, ya!” Rajukku untuk memulai rencanaku.
“Kenapa kamu ingin tahu?”
“Ya…biar tahu masa kecil Ibu, apakah sama dengan masa kecil kami Nek!”
“Ibumu itu waktu kecil mbandel banget dan dia suka ngumpet di kolong tempat tidur jika dimarahi” Ungkap Nenek. Ibu hanya diam mendengar cerita yang disampaikan oleh nenek.
“Apa kesukaan ibu waktu kecil Nek?” Sahut adik perempuanku.
“Lha…! Ini kesukaan Ibumu yang ndak saya sukai. Apa hayoo?”
“Suka main kemana-mana Nek!” Jawab adik perempuanku.
“Bukan!” Jawab Nenek.
“Suka makan jajanan Nek!” Sahut adik laki-lakiku.
“Bukan itu juga”
“Lalu apa Nek?” Desak adik perempuanku.
“Dia suka manjat pohon!”
Haaa… aku dan adik-adikku terkejut mendengar jawaban Nenek. Saya tak mengira kalau Ibu waktu kecil seperti itu. Setahu kami Ibu adalah seorang yang feminim, seorang yang penuh kasih sayang dan lembut.
“Kok seperti anak cowok!” Sahut adik perempuanku.
Ibu lagi-lagi hanya diam. Ia tidak berkomentar dengan jawaban adik ku.
“Nek, apa Ibu waktu kecil punya pengalaman buruk?” Tanyaku dengan sedikit kuperhalus. Pertanyaan yang menjurus kearah mencari keterangan tentang penyebab kenapa ibu bisa bermusuhan dengannya.
“Apa ya…!” Nenek mencoba mengingat peristiwa tempo dulu.
Belum sempat Nenek menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba musuh ibu datang. Ia langsung menjamah piring yang ada di depan kami. Dengan sigap ibu langsung menyerang musuhnya. Piring itu pecah, namun musuh ibu dapat menghindar. Setelah itu musuh ibu menjamah gelas, dengan gesit ibu menyerangnya kembali. Namun, lagi-lagi musuhnya dapat menghindar. Kini musuh itu menjamah baju ayah. Ibu terdiam sebentar, menata serangan yang akan dilancarkan. Ibu tampak ragu-ragu. Sebelum ibu sempat melancarkan serangan, musuh ibu itu sudah berada di muka ayah. Ibu Menahan serangannya, ia kelihatan berpikir ulang. Kecoa itu diam tak bergerak di wajah ayah seolah menunggu dan menantang ibu, apa yang akan dilakukan ibu dengan wajah ayah?!

* Tuk wanita yang paling agung dalam hidupku;
Ibu, terimakasih kau selalu memompakan semangat untukku tanpa kenal letih…

Minggu, 08 Agustus 2010

Benarkah Mereka Murtad dari FLP?


Beragam komentar bersembulan ketika saya menulis refleksi kecil tentang sinetron KCB yang dikaitkan dengan FLP. Ada yang jengah, juga ada yang simpatik. Maklum, FLP adalah sebuah organisasi yang TAMBUN –maaf, menggunakan istilah tambun, karena laju besarnya tak berimbang - . Jika, ada yang bersuara lantang tentang FLP, ribuan pasang anak mata dari berbagai penjuru bumi Indonesia akan menyergap, tak hanya itu, mereka juga akan memuntahkan kata untuk menghadang diskursus tersebut(mungkin karena kecintaan terhadap FLP).

Saya akan mencoba menggeser diskursus KCB dengan wajah FLP kedepan. Ya, saya mencuplikan dua tanggapan terkait tulisan saya yang lalu (Sinetron KCB, sebuah refleksi FLP yang tak mau beranjak dewasa)

Mmm… ada perang batin juga mungkin bagi para penulis FLP. Saya pernah bilang ke adik-adik: berani gak bikin Da Vinci Code versi dunia Islam, dimana sekte-sekte berbasis Hassan Sabbah bisa jadi sangat kuat atau ada pesantren-pesantren yang memang sistem feodal...nya demikian ekstrim? iiiii..tattuuuut. Saya nulis Existere saja banyak yg mengkritik lho. Tapi memang harus ada yang berani untuk menulis sesuatu yang lain. Bahwa da'wah yg universal ini pada akhirnya akan merambah hingga ujung-ujung dunia : para teroris, pelacur, pedofil, sipir penjara, mucikari. Semoga para penulis muslim bisa terus istiqomah ya... (Sinta Yudisia-facebook)

Saya termasuk anggota pasif FLP yang kadang nyinyir juga terhadap buku-buku karya FLP. Tapi, ketika orang luar yang berkomentar, ada juga syaraf yang meradang. Bagaimanapun "ibu" saya FLP. Meski agak lucu. Oleh oknum aktivis FLP, karya saya kadang dinilai sudah tidak "FLP" lagi. Malah ada yang bilang tak layak terbit. Mungkin karena ke "FLP" an nya telah ilang. Atau saya tidak cukup "FLP". Maklum pesantren tak pernah, liqo 3 kali DO. Tapi, belakangan saya berpikir lain. Agak lain. Melihat reaksi beragam terhadap sinetron KCB, saya menjadi bependapat, setiap seniman pena bolehlah memainkan perannya masing-masing. FLP tak perlu seragam. (Tasaro-dalam milis FLP)

Benarkah Mereka Murtad?

Dari kedua tanggapan diatas -meskipun banyak yang memberikan tanggapan terhadap tulisan yang sebelumnya-, ada dua dimensi yang patut kita perbincangkan. Dimensi yang pertama adalah ada pergeseran kultur di dalam FLP. Mereka mencoba untuk mengksplorasi jagad tulisan ini. Mereka mencoba mendobrak tradisi yang selama ini sudah melekat turun menurun dari nenek moyangnya -walaupun tidak semuanya sama-. Melintas sekat pemahaman bahwa penulis FLP adalah penulis taubat. Bayangkan, ada penulis FLP yang mengangkat kisah pelacur, menulur gang Doly, mendedahnya, kemudian menyuguhkan dalam sebuah novel. Mereka seperti ingin mengatakan bahwa Islam tidak hanya bicara soal sholat dan puasa. Islam juga bicara korupsi, penindasan, perlawanan, pelacuran, wc, pelecehan, gender, negara, politik, pemerintahan dsb. Islam itu universal (syamil)

Dimensi yang kedua adalah gejolak dari internal yang begitu dahsyat. Bayangkan! Sudah menjadi darah daging bagi para penulis FLP menggoreskan tinta tentang pertaubatan. Ada anggota FLP menulis yang berbeda, tidak hanya hitam dan putih, namun melukiskan warna lain, bahkan radak abu-abu. Apa yang mereka dapat? Reaksi keras, bahkan dihujat, MURTAD! Sebuah pergolakan yang cukup keras memang, tapi inilah dinamika yang mendewasakan bagi FLP. Saya yakin, sudah ada yang berubah dari FLP, setelah membaca tanggapan dari Deny Prabowo. Ya, karya anak FLP sudah masuk ke celah-celah yang selama ini dianggap sebuah tembok yang sulit ditembus.

Inilah wajah FLP kedepan, karya mereka harus melintas sekat, batas, budaya, bahkan agama, karena FLP sejatinya terbuka untuk semua suku dan agama. FLP.

Tapi, yang menjadi PR besar adalah, ketika ada pioner perubahan itu muncul. Bagaimana dengan anggota yang lain, yang masih menganggap gaya FLP tempo dulu adalah sesuatu yang sakral? SALAH, jika kita mengajak mereka semua berubah kelamin baru, sama saja kita akan menyeragamkan kelamin FLP lagi. Tetapi, bagaimana FLP punya aneka wajah yang berbeda, dan tidak saling meghujat satu yang lain, menganggap satu sohih, sedangkan yag lain tidak sohih untuk dinyatakan sebagai karya FLP.


Dan, saya yakin juga ada banyak anak FLP yang berwarna diluar sana. Namun, belum terekspos baik oleh kita. Karena jarang ada tradisi kritik sastra di dalam FLP.

Memulai Tradisi Kritik Sastra

Itulah sebenarnya tugas kita. Bagaimana memulai tradisi kritik karya atau sastra dari dalam. Dengan kritik karya/sastra, akan muncul pebincangan dan terekspos sebuah karya anak FLP, dengan diperbincangkan akan membuka mata orang untuk melongok isi karya tersebut, dengan dilongok, akan ada penilain baik dan buruk dari pembaca lainnya. Kritik sastra tidak hanya sekedar menilai baik dan buruk, ia juga mengemban tugas untuk menyeberluaskan sebuah karya yang ada. Indah bukan? Jika FLP memulai tradisi kritik sastra/karya dari dalam?

Inilah seharusnya wajah FLP kedepan, akan banyak kritik karya yang dialamatkan terhadap karya FLP baik dari para kritikus karya internal maupun kritikus karya dari akademisi dan luar lingkaran FLP.



Melawan Jebakan Politik Sastra dan Kanonisasi Sastra

Setelah bisa muncul dengan aneka wajah dan rupa –sudah tidak ada konflik internal tentang madzabnya-, FLP harus siap bertanding di jagad sastra Indonesia dengan karya dan politik sastra. Kalau dengan karya, ya, saya yakin akan banyak bermunculan yang berwarna. Lalu, bagaimana dengan politik sastra? FLP harus melek dengan masalah ini, diluar sana, genderang perang terhadap dominasi standart nilai sastra sudah ditabuh bertalu-talu, salah satunya oleh Saut Sitomurang yang gemar berteriak-teriak. Ada titik kecil pembelaan terhadap karya anak FLP yang keluar dari Saut Sitomurang.

“Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih “cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tersebut, yang menolak untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka? Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya? Fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena diukur dengan standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu tentu saja jelek amat hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu membayangkan Ayu Utami dan Djenar memakai jilbab? Kok bisa lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau itu?” (Saut Sitomurang - Makalah untuk Kongres Cerpen Indonesia V Banjarmasin, 26-28 Oktober 2007)

Ini sebuah peluang baik yang sebenarnya harus ditangkap oleh FLP. Sudah ada orang luar yang melirik dan membela madzab FLP. Tapi? Apakah ada niat untuk mengarah kesana?


23.10, 8 Agustus 2010
Aries Adenata, S. S
Ketua FLP Solo Raya
(www.ariesadenata.blogspot.com)

Sinetron KCB, Sebuah Refleksi FLP yang Tak Mau Beranjak Dewasa (bagian satu)


Syukur tak terkira di bulan Ramadhan ini ada sebuah sinetron yang otak ceritanya adalah pegiat FLP.

Tapi? Kenapa harus tapi? Ya, karya-karya FLP selama ini dikenal dengan dakwah verbal, dimana simbol-simbol Islam begitu kental di dalamnya. Misalnya teriakan takbir, masjid, ukhti dsb. Celakanya lagi, hamper seragam cerita yang diangkatnya. Yakni, orang yang nakal kemudian menjadi baik, atau paling-paling akhirnya sang tokoh taubat. Seakan dunia ini hanya ada hitam dan putih.

Kini, karya itu disuguhkan dalam bentuk layar kaca. Apakah dengan gaya FLP selama ini? Jika ya! Maka genaplah sudah, bahwa olok-olokan kawan kita dari komunitas sastra lain betul-betul sohih. FLP adalah penulis kisah seragam dan taubat.

Sekilas saja, paling saya hanya mampu melihat sinetron itu tidak lebih dari 5 menit, karena saya mau muntah jika melihat sinetron Indonesia yang hanya memiliki adegan wajib dan seragam; nangis, racun/bunuh diri, menyiksa, selingkuh. Bahkan, menjual mimpi.

Sempat, saya menyaksikan sinetron KCB, mungkin hanya 5-10 menit, sebuah cerita lanjutan dari naskah novel KCB karya Kang Abik. Lagi-lagi, sebuah cerita tentang anak badung yang dimasukan pondok oleh kedua orang tuanya agar anak tersebut taubat dan menjadi baik. Lalu, yang menjadi pertanyaan. Apakah endingnya sang anak akan betul-betul taubat Mas Sakti? Dan, akan bertabur dakwah yang menggurui Mas Sakti? (sang penulis sekenario sinetron KCB). Jika ya! Inilah refleksi bahwa FLP tak mau beranjak lebih dewasa lagi. Ia enggan untuk menyuguhkan karya yang lebih humanis, karya dakwah yang tidak verbal semata, tidak sama dari turun temurun nenek moyangnya. Bukan berarti meninggalkan ke khasan FLP. Bukan! Tetapi bagaimana FLP mengekksplorasi jagad tulisan ini biar tidak seragam dan diulang-ulang. Ada yang menyuguhkan karya verbal dan non verbal.

Semoga FLP bisa lebih dewasa lagi, agar sejarah mencatat. Bahwa FLP tidak hanya bisa melukis dunia ini dengan hitam dan putih, tetapi, bisa melukis dunia ini dengan warna pelangi.

Bukan kah begitu kawan?
(Lihat artikel lainnya di: www.ariesadenata.blogspot.com)

Rabu, 04 Agustus 2010

Sederhana Saja!


“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu…

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada…”
— Sapardi Djoko Damono —

Mendengar bait-bait syair di atas, seakan hati kita dihujami ribuan tetes kesejukan. Ya, sederhana bukan? Hanya untuk mendapatkan kesejukan hati, cukup dengan sederet kata atau sepenggal kalimat. Tak usah dengan yang usaha yang beribet. Kadang, kita menganggap, untuk mengelola kehidupan rumah tangga ini butuh ekstra tenaga, ekstra pikiran. Bahkan, untuk menghadirkan romantisme dalam keluarga juga butuh sesuatu yang mahal.

Kenapa Sederhana?
Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah kenapa hanya dengan sederhana? Bukankah banyak masalah yang silih berganti dalam mengarungi bahtera rumah tangga? Tidak sederhana untuk mengurai benang kusut masalah dalam rumah tangga. Butuh ini dan itu.

Ya, dengan sederhana, ketulusan itu hadir menyeruak dari lubuk hati kita paling dalam. Dengan sederhana ada hati yang saling bertemu tanpa dinding ego yang menjulang tinggi selama ini.

Hidup ini akan terasa sederhana jika kita menghadirkan kesederhanaan dalam hidup kita, tak usah kita ngotot dengan idealisme kita yang melangit.
Cukup sederhana saja untuk mengelola riak dan badai yang muncul dalam rumah tangga kita yang sederhana.

Pertama, mau mendengar. Ya, dua manusia yang punya latar belakang yang berberda, budaya yang tak sama, harus bertemu dalam ruang tanpa sekat. Jika kita tidak pandai mengelola, akan ada dua budaya yang akan saling membentur. Mestinya, dua insan yang telah berjanji untuk hidup bersama tersebut mau mendengar, tidak hanya mau bicara saja. Jika yang satu berbicara, maka yang lainnya mau mendengar. Itulah selama ini yang saya lakukan, meskipun tubuh ini terhuyung mau rebah, setelah penat seharian dengan aktifitas mencari sesuap nasi. Aku pasti akan mendengar celoteh dan keluh kesah istri dengan sabar. Dengan mendengar, kita akan tahu apa isi hati pasangan kita, sikapnya terhadap sebuah masalah. Dengan mau mendengar, lantas akan muncul sebuah diskusi yang hangat antara kedua belah pihak. Tanpa ada yang merasa paling butuh sendiri untuk berbicara.

Kedua, memberikan perhatian yang sederhana. Kadang kita berpikir butuh sesuatu yang sepesial untuk memberikan perhatian kepada pasangan kita. Padahal, cukup dengan memberikan es teh (jika dia gemar minum es teh) ketika kita pulang ke rumah. Maka, pasangan kita akan merasa diperhatikan tiap hari oleh pasangan kita. Mudah bukan? Tak perlu mengajak pasangan kita ke bulan, karena memang kita tidak mampu.
Subhanallah, ternyata dengan manajemen sederhana. Yakni, dengan mau mendengar dan memberikan perhatian yang sederhana. Maka, rumah tangga kita akan bertabur kehangatan, bukannya bertabur ranjau yang sering meledak sewaktu-waktu karena kita salah injak. Begitu pun untuk mencintainya, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu…