Senin, 07 Desember 2009

Menghadirkan Sastra di Ruang Publik Solo


Aries Adenata


Sastra dan Masyarakat

Sastra adalah sebuah media untuk menyampaikan kebaikan untuk kebaikan. Sastra adalah media untuk memanusiakan manusia. Sastra adalah cermin atau pantulan dari masyarakat itu sendiri dan ungkapan-ungkapan lainnya. Sedabrek ungkapan sastra nyaring terdengar ditelinga kita. Namun, secara umum (bukan kesimpulan) bahwa sastra adalah alat untuk menebarkan nilai, idealisme, dan pemikiran.
Nah, jika ungkapan-ungkapan tentang sastra itu memang benar adanya, yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana posisi sastra di tengah masyarakat kini? Kenapa pertanyaan itu bisa muncul! Ya, kini sastra patut dipertanyakan keberadaannya. Sastra tidak lagi menempati hati masyarakat. Sastra yang dahulu menjadi ujung tombak untuk sebuah perubahan, jika kita tarik keberadaan karya sastra tempo dulu, ketika di zaman Hindia Belanda, sastra menjadi sebuah alat propaganda, ketika era menjelang kemerdekaan, sastra menajdi sarana untuk memprovokasi masyarakat agar punya semangat nasionalis, dan bagaimana ketika sastra menjadi alat pendobrak sebuah tradisi kolot yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, lihat saja karya sastra”Siti Nurbaya”karangan Marah Rusli, sebuah karya yang menentang akan perjodohan yang sudah tidak lagi tepat untuk diterapkan di zaman sekarang (masih banya lagi pesan yang disampaikan oleh karya tersebut, ini hanya satu tafsir saja).
Dahulu juga, ketika zaman belum mengenal media radio ataupun televisi, bagimana cerita rakyat atau dongeng menjadi media satu-satunya dalam menyampaikan pesan kepada masayakat, sarana itu menjadi sangat ampuh. Dengan hadir dalam pertemuan keluarga menjelang tidur, cerita rakyat hadir dan diperbincangkan ditengah-tengah pertemuan warga, pertunjukan wayang orang dan wayang kulit bisa kita dapati di kampung-kampung. Dan bagaimana sekarang? Sastra tak menempati ruang kusus masyarakat, kini masyarakat lebih suka dengan media audio visual.

Publik Space di Solo
Kini, public space di Solo mulai tergarap dan tertata lebih baik. Mulai dari City Walk, Taman Balai Kambang, Taman Sriwedari, Taman Budaya Jawa Tengah dan berbagai tempat lainnya. Dengan adanya public space yang kini sudah tersedia lebih baik, seharusnya ada upaya untuk memanfaatkan tempat tersebut semaksimal mungkin, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Memanfaatkannya. Kita coba menarik satu contoh saja, Taman Budaya Jawa Tengah, disana tersedia berbagai fasilitas mulai dari arena teater, musik dan lain-lain, tapi, yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sebuah masyarakat atau komunitas kecil bisa tampil atau diberi ruang dan waktu untuk bisa menikmati dan menggunakan fasilitas tersebut, jika harus merogoh kocek yang besar untuk bisa menggunakannya, bagi masyarakat proletar atau komunitas marjinal, mereka tidak akan mampu untuk menggunakan, apalagi menikmati fasilitas yang tersedia disana.
Tak adil jika kita tidak membandingkan dengan public space yang lain, lihat saja city walk, sebuah fasilitas yang dilengkapi dengan hot spot, masyarakat diberi keleluasaan yang luar biasa untuk bisa mengakses internet secara gratis. Sedangkan untuk memanfaatkan, sekedar duduk dan menikmati pemandangan di sekitarnya, tidak dipungut biaya.

Sastra Solo di Publik Space Solo?
Sudah dibahas diatas, bagaimana posisi sastra di masa lalu dan kini, serta bagaimana kondisi public space yang ada di Kota Solo dengan jargonnya “The Spirit of Java”. Nah, kini yang menjadi PR bersama adalah, bagaimana mereposisi kembali sastra di tengah masyarakat? Juga, bagaimana memanfaatkan public space yang ada di Kota Solo?
Penulis mencoba menawarkan sebuah gagasan, entah diterima atau hanya dianggap sebuah celotehan saja, tetapi ada sebuah niatan baik untuk membumikan sastra kembali. Gagasan tersebut adalah, dengan memanfaatan public space yang sudah tersedia itu, untuk dimanfaatkan atau digunakan untuk kegiatan bersastra dan berkesenian, agar masyarakat kecil, serta umum dapat menikmati, serta mendapatkan pembelajaran dan penyebaran nilai dari sastra.
Kita sudah mahfum, bahwa di Solo ada sebuah public space yang diperuntukan untuk bersastra dan berkesenian. Tetapi, ruang itu hanya bisa dinikmati oleh yang punya anggaran, juga orang yang betul-betul konsern dengan sastra dan seni, kita sering melihat, bagaimana acara-acara sastra dan seni di TBJT, hanya dihadiri oleh segelitir orang saja, karena image yang ada, TBJT adalah tempat yang angker dan angkuh, angker dalam artian hanya orang yang punya talent di bidang sastra saja yang mau masuk. Angkuh, karena hanya orang tertentu saja yang bias memanfaatkan fasilitas disana.
Solo adalah gudang komunitas sastra dan pegiat sastra, jika pegiat sastra dan komunitas sastra memanfaatkan public space yang ada di Solo, sastra dan seni tak kan dipandang lagi menjadi sebuah aktivitas eklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja, jika sastra dan seni hadir di ruang public space tersebut, maka, masyarakat umum akan mudah mengakses dan menikmati sastra tersebut, juga kegiatan pemanfaatan public space tersebut oleh pegiat sastra dan komunitas sastra adalah dalam upaya untuk memasyarakat sastra dan seni di tengah masyarakat yang kini posisinya sudah tergeser oleh audio visual. Namun, perlu diperhatikan juga, bahwa manusia adalah mahkluk sosial, mereka akan membutuhkan sarana untuk berinteraksi dengan orang lain. Untuk itu, jika ada aktifitas di public space, maka aktifitas itu akan menjadi tempat atau sarana untuk berinteraksi dengan yang lain.
Ada satu public space di Solo yang kini bergeliat dan mulai menampakan eksitensinya di tengah-tengah masyrakat, yaitu city walk. Keberadaannya kini muali terasa, namun, belum begitu optimal. Ada bebrapa event seni, sastra maupun budaya yang sudah beberapa kali berlangsung disana, diantaranya adalah pameran kartun, Solo batik carnival, kuliner dan lain-lain. Sungguh, jika tempat ini dimanfaatkan betul-betul oleh para pegiat sastra dan komunitas sastra, maka, city walk akan menjadi ruang ekpresi sastra dan budaya yang mampu memasyarakatkan sastra dan budaya karena beberapa faktor. Pertama, ketika hadir disana, masyarakat tidak harus dipungut biaya. Kedua, kesan inklusifitas yang menempel di TBJT tidak akan muncul disana, karena image yang muncul untuk city walk adalah tempat kongkow-kongkow, berbeda dengan TBJT yang berkesan tempat khusus untuk sastra dan seni saja. Ini adalah sebuah keuntungan dan peluang yang harus diambil oleh para pegiat sastra dan komunitas sastra, jika mereka ingin menghadirkan sastra di public space Solo.
Semoga saja public space yang lain di Kota Solo juga aksesnya semudah city walk alias gratis. Jika pemkot beritikad demikian, maka penulis yakin akan makin suburnya pegiat sastra dan komunitas sastra, seni dan budaya yang akan lahir, tumbuh dan memanfaatkan public space yang ada. Maka, akan terejawantahkan betul semboyan yang kini santer didengung-dengungkan oleh pemkot Solo, yaitu “Solo The Spirit of Java”.
Yang menjadi persoalan berikutnya adalah, apakah ada para pegiat sastra atau komunitas sastra mau membaur, memanfaatkan dan hadir di public space di Solo? Saya yakin ada! Karena para pegiat sastra dan komunitas sastra ingin terus menghidupkan dan memasyarakat sastra kembali. Tapi kapan? Dan siapa? Kita tunggu saja tanggal mainnya…


*Kerja Keras adalah Energi Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar