Essay Sastra

Duel di Jalan Raya Sastra Solo
Aries Adenata, S.S


Pendekar Sastra Akademisi
Sudah bukan rahasia lagi, para akademisi sastra hanya berkutat pada wilayah kampus semata. Mereka mengurung diri dalam dunianya sendiri. Seolah sudah tak ada dunia lagi di luarnya. Apakah ini dikarenakan sistem yang ada di lingkungan kampus? Atau memang ini adalah watak para pendekar sastra akademisi yang sudah merasa aman dan gagah di hadapan para mahasiswanya, tapi kecut untuk keluar kandangnya? Pertanyaan ini mungkin bagi kalangan para pendekar sastra akademisi akan membuat telinga mereka panas, mukanya merah padam, bahkan kebakaran jenggot.
Para pendekar sastra akademisi cukup mahir menggunakan juru-jurus teori sastra ilmiah untuk menghadapi sebuah karya-karya sastra. Sebuah teori yang cukup jlimet. Namun, menjadi pertanyaan besar. Jurus yang mereka gunakan teryata hanya bisa ditangkap oleh kalangan terbatas. Yakni, para intelektual saja. Ketika kritik karya atau karya lainnya mereka di sodorkan ke khalayak umum, tulisan mereka tidak bisa dipahami oleh semua kalangan. Pun, karya mereka disodorkan ke penerbit, para penerbit berdalih tulisan mereka tidak marketable karena menggunakan bahasa ilmiah yang cukup susah di terima pasar. Lagi-lagi, karya mereka harus masuk kandang seperti tuannya, bahkan karya mereka akan masuk ke perpustakaan hingga lapuk dimakan rayap.
Karya yang seharusnya dapat dinikmati semua kalangan. Karya yang seharusnya memberikan pencerahan bagi masyarakat. Karya yang seharusnya dapat memotivasi para pembacanya. Tapi, kasihan karya mereka tak bisa dibaca, karena masuk rak perpustakaan.
Kalau kita menarik ke persoalan itu ke domain yang lebih kecil. Taruhlah ke wilayah Solo. Di kota yang sekarang sedang menghasung jargon. “Solo, The Spirit of Java”. Di sana terdapat beberapa Universitas yang ada jurusan sastranya. Apakah para pendekar yang menghuninya telah memberikan andil atau perannya ke masyarakat Solo? Sudahkah memberikan kontribusi yang nyata terhadap keilmuannya, pikirannya, tenaganya atau apapun untuk Solo? Konon, pertanyaan ini acap kali dilontarkan oleh masyarakat dan pekerja seni di Solo. Pertanyaan yang muncul itu tentunya berawal dari hukum sebab-akibat. Sebabnya apa? Biarlah itu menjadi PR untuk para pendekar sastra akademisi!
Pendekar Sastra Jalanan
Ada beberapa komunitas sastra yang tumbuh-kembang di Solo. Diantaranya adalah FLP (Forum Lingkar Pena), Meja Bolong, Seketsa Kata, Kabut Institut, Ketik (komunitas sastra anak SMA). Para pendekarnya cukup giat mengolah kanuragannya baik di padepokannya maupun dan di jalan raya sastra Solo. Bagi mereka, langsung menjajal jurus mereka di jalan raya sastra Solo adalah suatu keharusan, karena di jalan itulah medan mereka untuk memberikan bukti nyata bahwa mereka bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat umumnya, dan masyarakat Solo pada khususnya. Berbagai pertandingan, sabung, pamer jurus, perekelahian mereka gelar di jalan raya sastra Solo. Mulai dari, bedah buku, bedah cerpen, workhshop penulisan, training jurnalistik dan lain-lain. Bahkan, salah satu komunitas sastra yaitu FLP Solo mampu mengolaborasikan pendidikan formal dengan komunitas sastra. Dengan kata lain, FLP berhasil memadu-padankan kurikulum formal dengan kurikulum sanggar sastra. Kini, FLP telah bekerja sama dengan beberapa sekolah yang ada di Solo untuk membuka kelas ekstra jurnalistik atau creative writing. Diantaranya adalah SDIT Nur Hidayah, SMPIT Nur Hidayah, SDII Al Abidin, SD Al Azhar, MAN PK, Ponpes Al Mukmin Ngruki, semua sekolah yang disebutkan tadi telah bekerja sama dengan FLP untuk melatih para siswa-siswinya agar bisa menulis dan mengapresiasi karya sastra. Bahkan, FLP Solo pernah bekerja sama dengan lembaga Universitas, yaitu STAIN Surakarta untuk melakukan pelatihan penulisan untuk mahasiswa asing yang yang kuliah di PTAIN seluruh Indonesia. Disamping terjun langsung mendampingi para siswa, para pegiat FLP juga aktif mengeluarkan buku-buku mereka.
Sedangkan para pendekar komunitas sastra Kabut Institut aktif menulis di media cetak lokal maupun nasional. Bahkan, akhir-akhir ini tulisan-tulisan mereka sering nongol di media cetak nasional. Serta komunitas-komunitas yang lainnya giat turun ke jalan raya sastra Solo dengan warna mereka sendiri-sendiri.
Jalan Raya Sastra Solo
Kini sudah saatnya para pendekar sastra akademisi untuk turun ke jalan raya sastra Solo untuk mengadu kemampuan. Menjajal kanuragannya. Alangkah serunya jika para pendekar sastra akademisi Solo berduel dengan para pendekar jalanan di jalan Raya Satra Solo. Duel yang akan memperlihatkan kemahiran jurus masing-masing. Kematangan dalam olah kanuragannya. Satu menggunakan jurus kritik ilmiah, sedangkan yang satunya menggunakan kritik umum .
Apabila duel itu sungguh terjadi, mungkin para penikmat sastra, guru, siswa dan siapapun yang peduli dengan sastra akan sangat antusias untuk melihat duel mereka dalam rangka memetik pelajaran dari jurus-jurus yang mereka keluarkan.
Duel itu pun juga akan memperkaya wacana di jagad sastra. Alih-alih akan memberikan sumbangsih bagi kemajuan dunia sastra di Solo. Kini, tinggal menunggu waktu saja, ajakan untuk turun ke jalan raya sastra Solo yang ditulis oleh penulis yang merupakan juga orang jalanan raya sastra Solo ini, ditanggapi oleh para pendekar sastra akademis atau tidak. Jika ditanggapi, penulis secara tidak langsung telah menyatakan kesiapannya untuk berduel di jalan raya atau sebaliknya berduel di ring yang di pilih oleh kedua pihak untuk menghidupkan sastra yang ada di Solo.
Jika memang enggan untuk turun atau duel di jalan raya satra Solo. Mungkin ada jalan lain yang bisa ditempuh, yaitu dengan memadu-padankan jurus-jurus para pendekar akademisi sastra dengan para pendekar sastra jalanan dalam rangka menemukan jurus-jurus baru yang bisa diterima dan digunakan oleh semua kalangan, baik dari kalangan intelektual maupun kalangan umum yang berminat dengan sastra.
Ada satu pihak lagi yang mesti terlibat di jalan raya sastra Solo jika para pendekar itu berduel. Yakni para pembaca atau penikmat karya sastra. Dari merekalah akan diketahui atau dinilai, jurus manakah yang paling baik diantara mereka. Apakah jurus para pendekar sastra akedamisi atau para pendekar sastra jalanan.
Semoga jika itu terjadi, ada pihak ketiga yang mefasilitasi atau mempertemukan mereka agar bisa turun ke jalan raya sastra Solo bersama. Yakni, Pemerintah kota Solo. Jika pemkot peka, atau punya niatan menghidupkan budaya lokal atau sastra lokal dengan jargonnya yang diusungnya kini “Solo, The Spirit of Java”. Tentunya pemkot Solo punya power untuk mempertemukan mereka dalam rangka merealisasikan dan membumikan jargonnya.
Semoga saja ajakan untuk turun ke jalan raya sastra Solo ini ditanggapi para pendekar sastra akademisi, kalau toh tidak, semakin membuktikan bahwa mereka hanyalah macan di kandangnya sendiri! Setuju? (dimuat di Solopos, 1/3/`09)


Menanyakan Kelamin Komunitas Sastra Kota
Aries Adenata, S.S


Solo The Spirit Of Java. Jargon yang kini diusung oleh kota budaya Solo ini menggaung santer ke seluruh pelosok negeri bahkan ke seluruk pejuru dunia. Terbukti penyelenggarakan World Congress of the Organization of Heritages Cities di bulan Oktober mendatang diselenggarakan di kota Solo. Tak hanya itu, Solo ditetapkan sebagai World Heritage Cities. Nah, melihat jargon dan historis Solo yang semakin diakui dan dikukuhkan sebagai kota warisan budaya ini.
Ada sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh komunitas sastra kota. Apa peran dan kelamin komunitas sastra kota saat ini dan mendatang? Beberapa tahun ini marak dan tercatat beberapa komunitas sastra kota yang sempat hidup dan meramaikan khasanah sastra kota Solo. Sebut saja, Meja Bolong, FLP, Sketsa Kata, Pawon, HPK dan komunitas-komunitas lainnya.
Komunitas sastra kota ini tak jelas dengan peran yang akan diambilnya bagi kota Solo. Ada beberapa pertanyaan besar untuk dijawab oleh komunitas sastra kota Solo. Pertama, komunitas sastra kota akan dibawa ke arah pembentukan satrawan atau penulis-penulis muda yang membawa kearifan lokal, sastra hijau dan sesuai dengan kelamin komunitas mereka dalam kegiatan dan berkarya, atau diberi ruang untuk berekspresi sesuai dengan streotyp yang selama ini ada. Sastra bebas berekspresi secara individual tanpa ada kekang atau mengikuti kelamin dari sebuah komunitasnya. Atau keduanya disinergikan. Yaitu membawa identitas kelaminnya atau genre komunitasnya sekaligus memberi ruang kepada individu untuk bereksperimen.
Kedua, perlukah sebuah kelamin yang jelas bagi sebuah komunitas sastra? Atau justru sudah saatnya tidak tabu untuk saling memperlihatkan kelamin masing-masing komunitasnya? Selama ini komunitas sastra kota terkesan saling bersyakwasangka antara satu dengan yang lain terkait dengan jenis kelamin. Bahkan, mereka kadang saling mengitip dibalik celana komunitas lainnya hanya untuk mengetahui kelamin komunitas sastra lainnya. Walaupun mereka sering meneriakan bahwa sastra adalah otoritas yang bebas dari nilai, kepentingan, tak berpihak dan tak berkelamin. Tetapi sesungguhnya semua komunitas sastra, disangkal atau tidak disangkal mereka menghasung ideologi atau berkelamin tertentu. Namun, itu semua hanyalah pada tataran teori belaka. Tetapi, sesungguhnya diranah kenyataan mereka masih menjaga jarak secara idelogis atau kelamin, seolah bahwa komunitas mereka adalah bukan muhrimnya untuk komunitas tertentu. Akan tetapi, secara dzhohir mereka saling bersentuhan untuk mengadakan kegiatan yang menyemarakan jagad sastra di kota Solo. Semoga pertanyaan kedua ini akan memantik komunitas-komunitas sastra kota Solo untuk saling terbuka memperlihatkan kelamin mereka untuk bisa menujukan kepada khalayak umum bahwa sastra adalah wilayah yang toleran, egaliter dan demokratis. Semua ideologi dan kepentingan dapat duduk bersama dan berdialog, bukannya untuk saling mencurigai, saling menghujat, saling menjatuhkan, saling menikam, saling-saling-saling yang lainnya, yaitu membuat pihak lain tersudut atau tiarap untuk sementara waktu, atau bahkan tiarap untuk selamanya. Atau justru pertanyaan kedua ini akan membuat satu komunitas dengan komunitas lainnya saling menutup rapat-rapat celana mereka agar kelamin mereka tidak ketahuan dan diintip komunitas lainnya? Ah…terserah mereka John Koplo!
Pertanyaan ketiga adalah apakah komunitas sastra kota dan para pegiat sastra akan bersinergi dengan tagline kota Solo, yaitu Solo The Spirit of Java? Nah, ketika tagline ini ditarik kearah karya sastra, akankah tagline ini dikunyah dengan mentah, ataukah tagline tersebut diejawantahkan dalam bentuk tagline yang lain sehingga bermetamorfosis menjadi tagline baru bagi pegiat sastra dan komunitas sastra kota, misalnya Solo The Spirit of Writing. Ya, Solo adalah sumber inspirasi untuk menulis. Solo gudang peristiwa sosial, budaya, sejarah dan politik. Mulai dari peritiwa geger kerajaan Surakarta, perjuangan empatlima kerusuhan mei, para priyayi kampong batik, pergeseran trend belanja dari pasar tradisional menuju pasar modern dan berbagai peristiwa lain. Jika semua itu menjadi sumber inspirasi para pegiat komunitas sastra kota dan penulis Solo. Maka, persitiwa tersebut akan tercatat dalam sejarah jagad karya sastra, karena sastra adalah cermin masyarakat tersebut. Peristiwa atau sejarah yang dibungkus karya sastra bisa jadi akan banyak digemari, disenangi bahkan dibaca banyak kalangan, sebut saja karya sastra yang berlatar belakang sejarah, misalnya Para Priyayi tulisan Umar Kayam yang memotret masyarakat jawa tempo dulu atau yang sekarang sedang meledak dipasaran yaitu karya sastra Gajah Mada tulisannya Langit Kresna Hadi. Juga ada karya sastra lainnya yang memotret Solo lebih jelas dari masa pergerakan hingga mencari bentuk nilai kebangsaan dari kacamata masyarakata Solo, yaitu De Winst tulisan Afifah Afra.
Jika Solo adalah sumber inspirasi bagi karya sastra dan karya sastra tersebut digemari, disenangi dan dibaca banyak kalangan. Maka, tulisan tersebut akan menjadi magnet untuk masyarakat domestik untuk meneliti bahkan berkunjung ke Solo. Dan jika karya sastra tersebut diterjemahkan kebahasa asing kemudian menjadi konsumsi masyarakat asing, maka tulisan tersebut akan menjadi media promosi yang efektif bagi kota Solo. Meskipun tujuan dari karya sastra sesungguhnya bukanlah media promosi, tetapi salah satu tugas karya sastra adalah memotret peristiwa yang terjadi dalam masyarakat tersebut yang akan berdambak bagi khalayak umum menjadi tertarik dengan peristiwa yang melingkupi dan tempat terjadinya perstiwa dari karya tersebut. Semoga!
Pertanyaan terakhir sekaligus pembuka wacana. Kini posisi komunitas sastra kota Solo dipertaruhkan dengan keberadan DKS (dewan kesenian Surakarta) apakah dengan keberadaan DKS akan menjadi tempat peraduan mereka untuk saling bersinergis dan lebih giat lagi untuk menyemarakan jagat sastra di Solo? Ataukah DKS yang akan mengambil alih peran komunitas sastra kota Solo? Atau akankah mereka saling berbaku hantam hanya sekedar untuk mendapatkan kucuran dana dari DKS yang notanebene uang tersebut dari rakyat?!
Diatas sudah ada empat pertanyaan pemantik untuk dijawab komunitas sastra kota Solo. Sekarang yang kita tunggu adalah sikap dari para pegiat sastra kota untuk mensikapinya. Apakah empat pemantik pertanyaan diatas ditanggapi dingin-dingin saja, ditanggapi dengan telinga merah atau akan ditanggapi dengan tangan terbuka yang kemudian akan menjadi PR bersama untuk merumuskan peran dan masalah kelamin diantara komunitas sastra kota Solo. Kini, masalah kelamin bukanlah otoritas dokter saja, tetapi juga masalah bagi pegiat dan komunitas sastra kota untuk diselesaikan. Ah…lagi-lagi masalah kelamin!



Menggagas Temu Sastra Solo

Aries Adenata


Berbicara tentang kegiatan bersastra atau berbudaya, kota Solo adalah tempat menyemai benih, tempat kelahiran juga tempat tumbuh-kembang para seniman dan budayawan. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan besar adalah, dengan semua predikat yang disandangnya, apalagi jargon yang sekarang dihasung oleh pemkot Solo, Solo The Spirit of Java. Apakah para pelaku seni atau pekerja seni Solo mampu membawa masyarakat menjadi subyek dari proses berkesenian atau justru tetap mempertahankan masyarakat yang hanya dijadikan obyek seni itu sendiri. Kenapa pertanyaan itu muncul? Ya, muncul karena rasa keprihatinan penulis melihat fenomena bahwa sastra sekarang hanya menjadi milik kalangan tertentu yang memuja-mujanya begitu berlebihan. Sastra kini menempati dunianya sendiri, ia tidak mampu dijangkau oleh masyarakat awam, apalagi untuk bisa hidup ditengah-tengah masyarakat yang kini semakin komplek permasalahannya.
Sastra juga bisa diibaratkan buah durian, bagi pemuja ia begitu nikmat, bagi orang yang tidak suka, mencium baunya saja ia sudah muntah-muntah apalagi untuk memakannya, ia bakalan mabuk laur biasa. Untuk menjawab pertanyan diatas, tentunya harus ada upaya yang serius dari pemkot kota Solo , DKS (dewan kesenian Surakarta) dan para pelaku seni di kota Solo dan sekitarnya. Kenapa harus Solo dan sekitarnya, karena Solo adalah medan magnet bagi para pelaku seni sekitarnya, tentunya sangat bijak bila para pelaku seni dan masyarakat daerah disekitarnya ikut memperhatikan dan diperhatikan oleh kota Solo, karena disekitarnya adalah daerah dari dampak medan magnet tersebut, yang tentunya berdampak bagi citra Solo dan daerah disekitarnya juga. Harus ada sebuah mutualisme-simbiosis diantara berbagi pihak yang berkepentingan untuk terus melestarikan seni dan budaya.
Lalu, upaya apakah yang harus ditempuh? Siapa yang harus memikul tanggung jawab tersebut? Dimana? Kapan? Ada beberapa institusi yang secara moral punya kewajiban untuk memikul tanggung jawab tersebut. Pertama adalah pemerintah kota Solo. Karena secara infrastruktur dan finansial pemkot Solo sangat mendukung. Tengok saja fasilitas yang ada di Solo, misalnya TBJT (taman budaya Jawa Tengah) yang berlokasi di wilayah Solo. Dengan menyandang nama Jawa Tengah tentunya daya jangkau tempat tersebut tidak hanya untuk kalangan Solo semata, tetapi untuk seluruh jawa Tengah. Sekali lagi, saya menegaskan bahwa secara fasilitas dan spirit, Solo adalah poros untuk berkesenian dan bersastra.
Kalau kita melihat dari segi spirit pemkot kota Solo, Solo The Spirit of Java. Sangat tepat jika pemkot Solo menjadi pemantik dan pelopor untuk memprakarsai temu sastra Solo (plus melibatkan daerah sekitarnya). Kita perlu mengacungkan jempol kepada walikota Solo yang baru saja kelar mengadakaan dua hajatan besar, yaitu konggres WHC (Worlds Heritage Cities). Hajatan yang lain adalah SIEM (Solo International Etnic Music). Hajatan yang kata Jokowi bakal digelar rutin tiap tahun. Saya berharap Jokowi dengan semangat yang menggebu-gebu untuk rebranding kota Solo juga diimbangi dengan penataan dari dalam, jangan hanya show of force saja. Penataan dari dalam tersebut bisa diawali dengan temu sastra Solo untuk menyerap ide-ide dari para pelaku seni juga sekaligus melibatkan masyarakat untuk sama-sama membangun brand kota Solo dan budayanya.
Elemen kedua yang seharusnya punya beban moral yang cukup besar adalah DKS (Dewan Kesenian Surakarta). DKS yang baru saja dibentuk dan diprakarsai oleh Jokowi ini belum kelihatan gebrakannya yang menonjol. Jika kita mengaca apa yang telah dilakukan leh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), maka sangat patut jika DKS dipertanyakan keberadaannya. Bagaimana tidak, DKJ yang menyandang Dewan Kesenian Jakarta, bukannya Dewan Kesenian Indonesia ternyata mampu untuk menjadi pematik berkesenian dan bersastra bagi wilayah-wilayah seluruh Indonesia. Banyak kegiatan yang diprakarsai oleh DKJ tidak semata untuk menghidupkan dan menonjolkan sastra atau kesenian Jakarta saja, namun juga memberikan ruang dan tempat untuk sastra dan kesenian daerah yang kemudian diboyong ke Jakarta untuk difasilitasi agar bisa tampil di Jakarta. Belum lagi kegiatan rutin DKJ yang lain. Misalnya, sayembara menulis novel DKJ yang pesertanya adalah orang-orang dari berbagai pelosok negeri ini. Bahkan sayembara ini adalah salah satu penghargaan sastra yang bergengsi di Indonesia.
Nah, seharusnya DKS bisa belajar dari apa yang telah dilakukan oleh DKJ. Untuk itu, DKS sangat pantas sebagai elemen kedua yang jadi tertuduh untuk punya beban moral dalam rangka memprakarsai temu satra Solo. Kegiatan serupa ini pernah digelar oleh DKJ dan mendulang sukses. Dari acara temu sastra Jakarta lahirlah dua buku, yaitu antologi cerpen dan antologi essay yang memperluas cakrwala khazanah sastra di Indonesia khususnya bagi Jakarta sendiri, karena dengan keberadaan buku yang berisi gagasan-gagasan para pelaku seni untuk mencari format dan solusi bagi pengembangan sastra dan budaya.
Satu lagi yang tak kalah penting untuk punya beban moral adalah masyarakat dan komunitas-komunitas sastra, tetapi kadarnya bebeda dengan elemen-elemen diatas. Masyarakat dan komunitas tersebut punya beban moral untuk mendukung apa yang dilakukan oleh pihka-pihak yang beritikad baik demi mekestarkan seni dan budaya. Bukannya menghujat apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mau berbuat baik untuk kepentingan seni dan budaya. Bukan berarti masyarakat dan komunitas-komunitas sastra itu tidak boleh kritis terhadap kebijakan yang diambil.
Bukan berarti tulisan ini mencari siapa yang jadi tertuduh untuk gagasan diatas. Tetapi, hanya mengingatkan saja bahwa pemkot Solo jika berjalan sendiri tak akan mampu, sama halnya jika DKS tidak dapat dukungan juga tidak akan bias berjalan sendiri, begitu pula masyarakat dan komunitas-komunitas sastra, mereka akan menemui jalan buntu jika tidak dapat perhatian dari yang lain. Alangkah syahdunya jika semua elemen itu bergandengan tangan untuk menggagas wacana diatas demi kehidupan sastra dan budaya Solo dan sekitarnya.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah, semua elemen itu punya itikad untuk menggagas temu sastra Solo atau tidak? Guna mengurai benang merah masalah kehidupan bersastra dan berbudaya yang kian hari kian tidak menentu arahnya. Ada sebuah kata-kata bijak yang patut kita jadikan bahan renungan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghagai budayanya. Benarkan kita sudah menghargainya? Hingga produk kebudayaan kita banyak dicuri oleh bangsa lain. Salah satunya adalah hak paten batik yang kini dimiliki oleh Malaysia. Belum lagi kekayaan intelektual yang lain. Namun, kita tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkannya. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi dan menjadi sebuah pelajaran yang paling berharga buat kita semua.
Kita harus yakin bahwa masalah bersastra dan berbudaya ini bisa kita selesaikan bersama. Mengutip salah satu jargon iklan calon kandidat presiden Indonesia 2009 (yang kini sudah menyatakan mundur dari bursa pencalonan presiden) “There is a will, there is a way”. Semoga…




Menghadirkan Sastra di Ruang Publik Solo

Aries Adenata


Sastra dan Masyarakat
Sastra adalah sebuah media untuk menyampaikan kebaikan untuk kebaikan. Sastra adalah media untuk memanusiakan manusia. Sastra adalah cermin atau pantulan dari masyarakat itu sendiri dan ungkapan-ungkapan lainnya. Sedabrek ungkapan sastra nyaring terdengar ditelinga kita. Namun, secara umum (bukan kesimpulan) bahwa sastra adalah alat untuk menebarkan nilai, idealisme, dan pemikiran.
Nah, jika ungkapan-ungkapan tentang sastra itu memang benar adanya, yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana posisi sastra di tengah masyarakat kini? Kenapa pertanyaan itu bisa muncul! Ya, kini sastra patut dipertanyakan keberadaannya. Sastra tidak lagi menempati hati masyarakat. Sastra yang dahulu menjadi ujung tombak untuk sebuah perubahan, jika kita tarik keberadaan karya sastra tempo dulu, ketika di zaman Hindia Belanda, sastra menjadi sebuah alat propaganda, ketika era menjelang kemerdekaan, sastra menajdi sarana untuk memprovokasi masyarakat agar punya semangat nasionalis, dan bagaimana ketika sastra menjadi alat pendobrak sebuah tradisi kolot yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, lihat saja karya sastra”Siti Nurbaya”karangan Marah Rusli, sebuah karya yang menentang akan perjodohan yang sudah tidak lagi tepat untuk diterapkan di zaman sekarang (masih banya lagi pesan yang disampaikan oleh karya tersebut, ini hanya satu tafsir saja).
Dahulu juga, ketika zaman belum mengenal media radio ataupun televisi, bagimana cerita rakyat atau dongeng menjadi media satu-satunya dalam menyampaikan pesan kepada masayakat, sarana itu menjadi sangat ampuh. Dengan hadir dalam pertemuan keluarga menjelang tidur, cerita rakyat hadir dan diperbincangkan ditengah-tengah pertemuan warga, pertunjukan wayang orang dan wayang kulit bisa kita dapati di kampung-kampung. Dan bagaimana sekarang? Sastra tak menempati ruang kusus masyarakat, kini masyarakat lebih suka dengan media audio visual.
Publik Space di Solo
Kini, public space di Solo mulai tergarap dan tertata lebih baik. Mulai dari City Walk, Taman Balai Kambang, Taman Sriwedari, Taman Budaya Jawa Tengah dan berbagai tempat lainnya. Dengan adanya public space yang kini sudah tersedia lebih baik, seharusnya ada upaya untuk memanfaatkan tempat tersebut semaksimal mungkin, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Memanfaatkannya. Kita coba menarik satu contoh saja, Taman Budaya Jawa Tengah, disana tersedia berbagai fasilitas mulai dari arena teater, musik dan lain-lain, tapi, yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sebuah masyarakat atau komunitas kecil bisa tampil atau diberi ruang dan waktu untuk bisa menikmati dan menggunakan fasilitas tersebut, jika harus merogoh kocek yang besar untuk bisa menggunakannya, bagi masyarakat proletar atau komunitas marjinal, mereka tidak akan mampu untuk menggunakan, apalagi menikmati fasilitas yang tersedia disana.
Tak adil jika kita tidak membandingkan dengan public space yang lain, lihat saja city walk, sebuah fasilitas yang dilengkapi dengan hot spot, masyarakat diberi keleluasaan yang luar biasa untuk bisa mengakses internet secara gratis. Sedangkan untuk memanfaatkan, sekedar duduk dan menikmati pemandangan di sekitarnya, tidak dipungut biaya.
Sastra Solo di Publik Space Solo?
Sudah dibahas diatas, bagaimana posisi sastra di masa lalu dan kini, serta bagaimana kondisi public space yang ada di Kota Solo dengan jargonnya “The Spirit of Java”. Nah, kini yang menjadi PR bersama adalah, bagaimana mereposisi kembali sastra di tengah masyarakat? Juga, bagaimana memanfaatkan public space yang ada di Kota Solo?
Penulis mencoba menawarkan sebuah gagasan, entah diterima atau hanya dianggap sebuah celotehan saja, tetapi ada sebuah niatan baik untuk membumikan sastra kembali. Gagasan tersebut adalah, dengan memanfaatan public space yang sudah tersedia itu, untuk dimanfaatkan atau digunakan untuk kegiatan bersastra dan berkesenian, agar masyarakat kecil, serta umum dapat menikmati, serta mendapatkan pembelajaran dan penyebaran nilai dari sastra.
Kita sudah mahfum, bahwa di Solo ada sebuah public space yang diperuntukan untuk bersastra dan berkesenian. Tetapi, ruang itu hanya bisa dinikmati oleh yang punya anggaran, juga orang yang betul-betul konsern dengan sastra dan seni, kita sering melihat, bagaimana acara-acara sastra dan seni di TBJT, hanya dihadiri oleh segelitir orang saja, karena image yang ada, TBJT adalah tempat yang angker dan angkuh, angker dalam artian hanya orang yang punya talent di bidang sastra saja yang mau masuk. Angkuh, karena hanya orang tertentu saja yang bias memanfaatkan fasilitas disana.
Solo adalah gudang komunitas sastra dan pegiat sastra, jika pegiat sastra dan komunitas sastra memanfaatkan public space yang ada di Solo, sastra dan seni tak kan dipandang lagi menjadi sebuah aktivitas eklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja, jika sastra dan seni hadir di ruang public space tersebut, maka, masyarakat umum akan mudah mengakses dan menikmati sastra tersebut, juga kegiatan pemanfaatan public space tersebut oleh pegiat sastra dan komunitas sastra adalah dalam upaya untuk memasyarakat sastra dan seni di tengah masyarakat yang kini posisinya sudah tergeser oleh audio visual. Namun, perlu diperhatikan juga, bahwa manusia adalah mahkluk sosial, mereka akan membutuhkan sarana untuk berinteraksi dengan orang lain. Untuk itu, jika ada aktifitas di public space, maka aktifitas itu akan menjadi tempat atau sarana untuk berinteraksi dengan yang lain.
Ada satu public space di Solo yang kini bergeliat dan mulai menampakan eksitensinya di tengah-tengah masyrakat, yaitu city walk. Keberadaannya kini muali terasa, namun, belum begitu optimal. Ada bebrapa event seni, sastra maupun budaya yang sudah beberapa kali berlangsung disana, diantaranya adalah pameran kartun, Solo batik carnival, kuliner dan lain-lain. Sungguh, jika tempat ini dimanfaatkan betul-betul oleh para pegiat sastra dan komunitas sastra, maka, city walk akan menjadi ruang ekpresi sastra dan budaya yang mampu memasyarakatkan sastra dan budaya karena beberapa faktor. Pertama, ketika hadir disana, masyarakat tidak harus dipungut biaya. Kedua, kesan inklusifitas yang menempel di TBJT tidak akan muncul disana, karena image yang muncul untuk city walk adalah tempat kongkow-kongkow, berbeda dengan TBJT yang berkesan tempat khusus untuk sastra dan seni saja. Ini adalah sebuah keuntungan dan peluang yang harus diambil oleh para pegiat sastra dan komunitas sastra, jika mereka ingin menghadirkan sastra di public space Solo.
Semoga saja public space yang lain di Kota Solo juga aksesnya semudah city walk alias gratis. Jika pemkot beritikad demikian, maka penulis yakin akan makin suburnya pegiat sastra dan komunitas sastra, seni dan budaya yang akan lahir, tumbuh dan memanfaatkan public space yang ada. Maka, akan terejawantahkan betul semboyan yang kini santer didengung-dengungkan oleh pemkot Solo, yaitu “Solo The Spirit of Java”.
Yang menjadi persoalan berikutnya adalah, apakah ada para pegiat sastra atau komunitas sastra mau membaur, memanfaatkan dan hadir di public space di Solo? Saya yakin ada! Karena para pegiat sastra dan komunitas sastra ingin terus menghidupkan dan memasyarakat sastra kembali. Tapi kapan? Dan siapa? Kita tunggu saja tanggal mainnya…