Senin, 18 Juni 2012

Solo Tanpa Jokowi

Segudang prestasi telah tertoreh Jokowi ketika didapuk rakyat Solo sebagai pemangku jabatan nomer satu di tanah bengawan. Mulai dari pemindahan pedagang kaki lima yang tanpa kekerasan, pembenahan pasar tradisional, serta penyediaan fasilitas publik seperti Solo Car Free Day. Berbagai terobosan yang menjebol kemandekan tatanan birokrasi tersebut mendapatkan simpati publik, bahkan media masa ikut mengeluk-ngelukankannya, juga mengggadang-gadangnya menjadi pemimpin masa depan.
Jokowi dan Kota Solo
Jika Jokowi terus konsisten, maka namanya makin bersinar terang benderang. Nah, yang jadi pertanyaan, apakah berbanding lurus antara ketenaran sosok Jokowi dengan ketanaran Kota Solo? Tentu ini menjadi pertanyaan yang pantas dilontarkan.
Jika sosok Jokowi dipersonifikasikan sebagai kota Solo. Maka kota Solo bakal cilaka besar, karena Jokowi tidak bakal bisa menjabat sebagai walikota Surakarta untuk yang ketiga kalinya. Yang cukup pelik adalah, sosok pengganti Jokowi untuk menjadi walikota penerus beliau, tentu orang akan membandingkan kebijakan dan upaya yang dilakukannya dengan walikota sebelumnya, yakni Jokowi. Jika terjadi demikian, kota Solo dipertaruhkan kembali, apakah populer seperti ketika dipimpin Jokowi atau malah terjun bebas entah kemana rimbanya.
Tentu publik akan mengingat, semasa Jokowi menjabat, banyak gelaran budaya kelas dunia digelar, diantaranya SIEM (solo international etnik music), SIPA (solo international performing art), SBC (solo batik carnival) dan yang lainnya. Tak hanya itu, acara-acara nasional juga banyak berdatangan ke Solo. Mulai dari konggres luar biasa PSSI, pertemuan parlemen se-asia juga berada di Solo dan yang lainnya.
Kini, yang terjadi di kota Solo adalah wisata Jokowi. Jika ada gelaran nasional, maka peserta acara menginginkan Jokowi lah yang membukanya, kemudian selesai acara foto-foto bareng dengan Jokowi, yang bakal menjadi souvenir atau buah tangannya adalah foto bareng bersama Jokowi. Bukanya batik Solo atau kerajianan tangan. Tentu ini sah-sah saja, tetapi akan berdampak pada kota Solo. Karena Solo bukanlah Jokowi. Solo besar dan melambung saat ini tentu tidak bisa dilepaskan dari sosok Jokowi. Namun, tidak lantas mempersonifikasikan Jokowi adalah Solo, Solo adalah Jokowi. Tetapi yang harus dibangun adalah pondasi karakter dan budaya Solonya, itu yang akan membuat nama Solo terus dikenang dan melegenda, bukan pencintraan diri sosok Jokowi yang terus menerus. Seperti halnya kasus mobil ESEMKA ketika diangkat ke publik, tentu hanya berdampak positif pada sosok Jokowi semata, Solo hanya kecipratan momen dan peristiwa saja.
Seharunya budaya Solo atau potensi yang dimiliki Solo lah yang harus di rekayasa atau diangkat publik guna pencitraan kota, agar berdampak pada ekonomi kota Solo. Bukannya citra sosok Jokowi yang tentu akan melejitkan karir pribadi Jokowi sendiri.
Pembangunan Simbolisme
Jokowi pernah melontarkan sebuah tagline “Solo masa depan adalah Solo masa lalu”. Mungkin inilah platform Jokowi dalam membangun Solo. Ia ingin Solo menjadi kota yang maju tetapi dengan tidak meninggalkan budaya masa lalu. Tentu keinginan tersebut pantas kita apresiasi. Namun, ada beberapa hal yang pantas kita cermati.
Dalam rangka mewujudkan platform tersebut Jokowi menggeber dengan membuat simbol pembangunan masa depan Solo dengan cara mengadakan Bus Tingkat, Batik Solo Trans, dan Railbus. Lantas, untuk simbol pembangunan masa lalu, Jokowi mengadakan sepur klutuk jaladara, kereta kencana, dan bangunan-bangunan milik pemerintah (sekolah, kantor kelurahan, dan puskemas) dengan arsitek tempo dulu. Dari pengadaan atau pembangunan tersebut, bisa kita lihat, bahwa Jokowi terjebak pada pembangunan simbol semata tanpa memikirkan esensi pembangunan. Ia lebih memetingkan prasasti pembangunan dalam bentuk fisik. Ia juga gemar membangun rekam jejak keberhasilannya dengan monumen hotel yang bertebaran di penjuru kota Solo, meski ia berdalih membatasi pendirian mall.
Inilah paradigma yang sering digunakan oleh para pemimpin bangsa ini, bahwa pembangunan itu adalah pembangunan fisik, mereka berorientasi bahwa pembangunan itu harus berwujud pada benda atau materi. Mungkin mereka menganggap bahwa itu yang terlihat oleh kasat mata, agar bisa mendapatkan penilaian dari publik, atau bisa menjadi prasasti peninggalan ketika sudah tidak menjabat lagi. Lantas, jika pembangunan hanya diwujudkan dalam bentuk benda atau materi an sich? Bagaimana dengan manusianya? Apakah masyarakat Solo tidak butuh pembangunan mental dan spiritual. Dalam hal ini, Jokowi telendor atau bahkan tidak melirik untuk melakukan pembangunan dalam bidang mental dan spiritual untuk masyarakat Solo. Lihat saja, berapa hotel-hotel tinggi yang menjulang ke langit berdiri di Solo. Tanpa menyiapkan karakter budaya peyangganya, misalnya tukang becak yang menyapa ramah dengan senyum dan perilaku khas orang Solo ketika hendak bertanya atau mau mengantar ke hotel. Bukannya abang tukang becak yang ongkang-ongkang diatas becaknya, dengan kaki jegang, sambil menghisap rokok, tanpa mau turun atau senyum ketika ditanya oleh calon pengguna becak untuk keliling kota Solo. Karakter budaya orang Solo lah yang sebenarnya harus dipertahankan dan dibangun, karena itulah yang menjadi nilai jual. Kita ingat dengan streotip bahwa orang Solo itu halus dan ramah. Tetapi, apa yang terjadi sekarang?
Lihat dengan gelaran event budaya, begitu megah dan gegap gempitanya Solo menyelenggarakan SIEM, SIPA, SBC tiap tahunan (untuk SIPA dan SBC) Lantas, bagaimana dengan infrastruktur dan pembinaan budaya/sastra secara rutin atau hariannya, apakah hanya sekedar digelar sebagai ritual tahunan yang akbar saja? Apakah Solo punya Taman Budaya Solo? Ah…itu dulu, kini yang ada adalah Taman Budaya Jawa Tengah yang pembinaan dan peruntukan dananya untuk mengayomi seluruh pegiat budaya dan sastra seluruh Jawa Tengah. Yang ada kini hanya Gedung Kesenian Solo yang diinisiasi oleh beberapa anak muda secara swakelola yang menempati tempat mangkrak di Solo, yakni di eks gedung Solo Theater di komplek sriwedari. Itu pun isunya gedungnya bakal dirobohkan atau digusur.
Kalau di Jawa Barat kita kenal ada saung Mang Ujo yang gelaran hariannya bisa kita tonton dan bisa menjadi objek wisata yang jelas oleh para wisatawan karena terdapat jadwal pentas dan pembinaan harian terlaksana. Lantas Solo punya apa? Mungkin kita akan berkata, Solo punya ketoprak Sriwedari, itupun hidup tak mau, matipun segan, yang hanya ditonton segelintir orang, cukup mengenaskan bukan? Bagi kota Solo yang mengaku sebagai kota budaya. Apakah Wisatawan hanya kita suguhi dengan budaya ritual tahunan saja, layaknya SIPA dan SBC? Apakah Solo tidak punya gelaran budaya harian yang layak untuk diapresiasi. Lantas, apa solusinnya? Data semua komunitas sastra/seni yang ada di Solo, petakan potensi mereka. Setelah itu, fasilitasi mereka tempat yang layak untuk melakukan aktifitas. Nah, kemudian buat jadwal agenda mereka. Promokan kegiatan mereka, kalau perlu jadikan mereka satu paket wisata yang selama ini sudah dan sedang akan berjalan. Misalnya, para wisatawan yang menikmati “Bus Tumpuk”, ada sesi untuk menyaksikan kegiatan atau seni keroncong yang dikelola oleh komunitas, atau seni tari yang dilakukan oleh komunitas tari atau musik yang ada di kota Solo. Kalau di Jawa Barat punya Saung Mang Ujo, Solo seharusnya melakukan itu, angkat salah satu atau lebih sanggar yang ada di Solo, kemudian bantu untuk membuat branding layaknya Saung Mang Ujo. Maka, komunitas seni yang ada di Solo akan mendapat pasokan darah segar untuk menghidupi komunitas mereka sendiri, tanpa harus menengadahkan tangan ke pemerintah. Karena semua bakal diuntungkan secara finansial. Jadi, pemkot tidak akan terkuras energinya untuk menjadi penyelanggara, cukup menjadi fasilitator buat para komunitas. Bahkan, secara tidak langsung telah memberi jalan kepada komunitas itu sendiri untuk menafkahi komunitasnya secara mandiri tanpa ada suntikan dana dari pemkot. Meskipun, sesekali pemkot tetap perlu memberikan suntikan dana kepada komunitas. Nah, kalau pemkot Surakarta berhasil menggandeng komunitas seni yang ada di Solo, walhasil Solo akan punya suguhan seni yang terjadwal.
Ini seharusnya yang menjadi salah satu perhatian bagi Jokowi, pembangunan budaya/sastra harus menjadi ujung tombak, jika Jokowi konsiten dengan tagline di atas, karena perpaduan budaya dengan pembangunan moderan itulah yang sesunguhnya menjadi jembatan masa lalu dan masa depan.
Mungkin paradigma fisik dan materi yang menjadi tolak ukur keberhasilan oleh Jokowi, sehingga pembangunan budaya tidak terperhatikan dan tak tersentuh dengan baik. Kita bisa melihat perlakuan Jokowi terhadap budaya berwujud benda, pembuatan Night Market Pasar Ngarsopuro yang diperuntukan untuk mewadahi penjualan budaya berwujud benda yang menelan dana cukup besar. Mengikutsertakan pengrajin handicraft, misalnya batik, kaligrafi, wayang kulit dan sebagainya untuk ikut pameran baik di tingkat lokal maupun nasional. Lantas, bagaimana dengan penyediaan fasilitas budaya non benda? Apakah ada semacam tempat gelaran rutin seperti Night Market Ngarsopuro? Tidak ada bukan! Itulah yang terjadi sekrang di kota budaya ini.
Bagaimana dengan kehidupan bersastra di Solo? Kalau ditanya tentang seputar kehidupan literasi di Solo, sungguh sangat miris. Berapa jumlah komunitas sastra yang bisa hidup di Solo dan bertahan. Mereka harus berebut jatah dana dengan kota lain, untuk bisa terus bernafas di bawah naungan TBJT. Itu pun, untuk penerbitan kumpulan cerpenya yang diperuntukan untuk komunitas sastra berbagai kota, konon bakal dihentikan untuk pendanaannya atau bahkan sudah dihentikan. Bukan berarti komunitas sastra dan budaya itu harus mengemis pada pemerintah terus menerus, tetapi harus ada sentuhan tangan pemerintah agar mereka bisa terus bernafas agar bisa hidup mandiri dan menjadi icon kota Solo.
Jokowi mungkin lupa atau amnesia dengan masalah literasi, bagaimana novel Laskar Pelangi yang menaikan kota Bangka Belitung menjadi 300 persen jumlah wisatawan yang berkunjung ke pulau Laskar Pelangi tersebut. Bagaimana pujangga Ronggowarsito yang termahsyur dari Soo itu membuat nama Solo begitu harum dan melegenda. Ya, lewat tulisan sebenarnya bisa menaikan popularitas sebuah kota (meskipun bukan itu tujuan utama novel diciptakan). Esensi sebuah karya sastra adalah memanusiakan manusia, mengangkat peradaban suatu masyarakat, karena bangsa yang diakui telah punya peradaban adalah bangsa yang sudah mengenal tulisan.
Jokowi kini harus merubah paradigma pembangunan yang simbolis semata, ia harus mulai memikirkan pembangunan mental dan budaya wong Solo. Sudah saatnya mangambil ancang-ancang untuk membuat kota Solo mandiri tanpa Jokowi. Ya, Solo Tanpa Jokowi harus mulai terperhatikan. Apalagi kini Jokowi tengah disibukan oleh pencalonan dirinya sebagai calon Gubernur DKI. Praktis kepemimpinan di tanah bengawan dipegang oleh AD 2. Tentu ini akan berdampak terhadap kota Solo. Waktu, tenaga dan kosentrasi Jokowi kini beralih untuk merebut DKI 1, tanpa terlebih dahulu mempersiapkan Solo untuk mandiri, tanpa keberadaan sosok Jokowi. Apalagi jika Jokowi bisa naik ke kursi DKI 1, walhasil Solo bakal terkaget-kaget tanpa keberadaannya.
Solo Tanpa Jokowi
Bukan berarti kalimat Solo Tanpa Jokowi adalah sebuah tulisan nyinyir atau negative, tetapi sebuah kalimat untuk berpikir nasib kota Solo tanpa Jokowi, semua harus bersiap diri tanpa keberadaannya, meskipun kita tahu ada beberapa proyek simbolis yang dilakukan Jokowi gagal. Contoh, pembangunan City Walk yang beralih fungsi dari tujuan awal peruntukannya, kini City Walk lebih banyak digunakan untuk parkir mobil, dibandingkan untuk para pejalan kaki. Ironis bukan? Belum lagi proyek Gapuro Makutho yang kini mangkrak, tanpa ada kejalasan. Kemudian Taman Sekartaji yang menelan biaya milyaran rupiah hanya sekedar digunakan sepasang anak muda untuk mojok ketika malam minggu. Kasus Taman Satwa Taru Jurug pun tak genah juntrungnya. Banyak PR sebenarnya yang belum diselesaikan oleh Jokowi terhadap kota Solo.
Sosok Jokowi yang terus-menerus mendapatkan perhatian dari media tentu akan menaikan popularitas dirinya. Tetapi apakah berimbas dengan kota Solo. Mungkin ada yang berpendapat, ya, Solo kecipratan popularitasnya Jokowi. Namun, apakah itu saja yang diharapkan? Tentu kita berharap bahwa citra kota Solo lah yang mencuat tinggi tanpa mengesampingkan sosok Jokowi dalam menata kota Solo. Sehingga jika Solo tanpa Jokowi, pamor solo masih bersinar dan tidak meredup.
Sisa waktu yang dimiliki oleh Jokowi ini harus digunakan sebaik mungkin, Jokowi harus merubah paradigma berpikir. Pembangunan itu tak hanya bertumpu pada fisik semata, namun juga non fisik. Jokowi harus mau menjadi katalisator pencitraan kota Solo. Agar Solo bisa terus bersinar setelah ia tak lagi menjabat sebagai walikota Solo, karena Solo harus mandiri, Solo tanpa Jokowi!


Aries Adenata
Owner SAOS “Kaos Rasa Solo”
http://www.saos-solo.blogspot.com/