Sabtu, 16 Oktober 2010

Oleh-oleh Solo



Setelah memproklamirkan diri SAOS, para kisanak pasti bertanya, kemana SAOS, kok ndak kelihatan. Ngumpet, ya?

Eit, bukan ngumpet. Tapi kami terus-menerus olah kanuragan. Setelah proklamasi, kami disibukan dengan persiapan banyak hal terkait berdirinya SAOS. Kami ingin benar-benar menyuguhkan hidangan visual Solo dalam bentuk kaos.

Nah, SAOS sudah tahap pra final, design sudah ready (tapi belum kami publish, takut dibajak duluan). Dalam waktu dekat, kami akan segera produksi. Selanjutnya, kami akan segera membuka counter resmi kami.Mohon doanya, untuk tempat kami masih merahasiakan, karena team SAOS masih berdebat sengit untuk menentukan lokasi.

Sabar, ya kisanak!
SAOS “Kaos Rasa Solo”
Bakal jadi oleh-olehnya wong Solo…
www.saos-solo.blogspot.com
(gambar ilustrasi diolah dari wong Solo)

Jumat, 15 Oktober 2010

Upaya mencari tersangka pembuat badai perbukuan


Akhir-akhir ini dunia perbukuan diterjang badai. Ini adalah sebuah badai besar yang kesekian kalinya bagi para pelaku penerbitan. Sebuah PR besar yang harus dijawab, syukur-syukur bisa mencari tersangka pembuat badai industri kreatif buku. Bagaimana tidak, para pelaku industri ini pada mengeluh karena cash in mereka melompat jauh dari tebing nyaris ke dasar jurang, bahkan ada penerbit yang tumbang karena terjangan badai ini.

Namun aneh, ditengah badai ini, acara pelatihan baik kepenulisan offline maupun online merebak bak cendawan di musim dingin, belum lagi acara jumpa penulis dan bedah buku, hampir di tiap sekolah, sudut kota, di pojok kampung dan di tengah masjid digelar sebagai ritual perayaan lahirnya buku dan jumpa fans.

Mencari tersangka
Nah, siapa tersangkanya? Ini menjadi tugas kita bersama, selaku penulis, penerbit dan pemerintah tentunya (sebagai pembuat regulasi). Ada beberapa fenomena yang perlu kita perhatikan;

Pertama, masyarakat kita dihajar habis-habisan oleh pameran buku. Bayangkan, satu kota bisa dalam setahun 6-8 kali pameran. Tentu, masyarakat akan babak belur, kemudian malas melangkahkan kaki ke pameran. Kini, pameran bukan sebuah hal istimewa karena tiap bulan pasti ada sebuah pameran. Seharusnnya pameran buku dijaga ritmenya, biar tidak berlari dan saling bertuburkan. Inilah ulah para EO yang berebut kue dan dengan genitnya menawarkan ke penerbit. Namun, penerbit seperti tak kuasa dengan kegenitan para EO, mereka tergoda kemudian ikut semua pameran yang diadakan. Siapa yang akan menjadi korban? Sang EO atau Penerbit? Semuanya tentu akan mendapatkan imbasnya. Tinggal menanti titik puncak kejenuhan masyarakat. Waspadalah!

Kedua, era digital. Mau tidak mau harus diakui, ini juga harus dijadikan tersangka. Orang kini mulai melirik untuk memiliki ebook dari pada buku karena lebih praktis. Bahkan, saya mendapatkan pengakuan yang jujur dari salah satu penulis, mereka dalam mencari refernce tinggal Tanya mbah google. So? Sang penulis yang mau menjual tulisannya dalam bentuk buku saja kini lebih memanfaatkan internet dari pada cari reference dalam bentuk buku. Masak mau maksa orang beli buku sedangkan dia internet minded?

Belum lagi keunggulan internet, sepatu rusak, kulkas rusak, hingga cara merawat baju saja, tinggal klik, sudah bertebaran di dunia maya, gratis! Kenapa harus repot beli buku ke took buku dan harganya melambung karena kenaikan kertas.

Ketiga, faktor penerbit itu sendiri. Mereka pengekor suatu buku jika buku itu meledak dipasaran, jika ada yang berjudul ayat-ayat cinta misalnya, maka akan lahir ratusan judul yang mirip bahkan covernya nyaris tak bisa dibedakan. Harusnya selektif dengan naskah. Biar suguhan itu bervariatif bagi pembaca. Bayangkan saja, jika menu makan yang ada dihadapan kita sejenis, maka kita tidak akan berselera, tetapi jika menu itu banyak pilihan, tentu kita akan tergoda untuk segera mencicipinya.

Nah, seharunya penerbit punya team research yang handal sebelum membuat buku. Segala hal harus diperhitungkan. Jika ini dilakukan, maka bakal berdampak baik bagi penerbit dan pembaca.

Upaya menghadang badai
Lantas, apakah kita harus diam saja melihat badai ini? Sekitar satu-dua minggu yang lalu, saya ngobrol panjang dengan manajer penerbit Era Intermedia, Pak Adi. Mereka bermain di dua kaki, yang satu adalah menerbitkan buku idelis, sedangkan yang kedua adalah proyek. Jika buku idealis atau umum itu seret di pasar, maka mereka akan mendapatkan darah segar dari buku proyek. Sekarang pemerintah lagi getol menggelontorkan dana buku-buku pengayaan, sekali cetak untuk satu judul bisa 15 hingga 30 ribu. Banyak bukan? Nah, inilah fungsi subsisdi silang, buku idealis tetap harus berjalan, buku proyek juga kita garap.

Masih banyak penerbit yang ngotot hanya bertahan dengan buku umum atau idealisnya. Tak hanya itu, penerbit yang masih menerapkan majemen ortodok harus segera bisa berbenah diri. Lekas bangkit menghadang badai ini. Buat langkah konkrit mulai dari: membuat team atau divisi pemburu buku proyek, kuatakan team kreatif, uasahakan ada divisi research meskipun hanya kecil

Minggu, 03 Oktober 2010

Kenapa Pelangi itu Indah?


Setelah rinai hujan reda, ada keindahan yang ditunggu oleh jutaan pasang manusia di permukaan bumi ini. Namun sayang, keindahan itu tidak muncul pasti setiap hujan reda. Sebuah konfigurasi warna yang terlukis di atas langit. Warna itu terdiri dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu.

Hidup itu Penuh Warna?
Hidup ini tentu tidak hanya hitam saja, atau hitam dan putih saja, banyak warna yang bertebaran di sekitar kita, warna kulit penghuni bumi ini juga berbeda-beda, ada yang putih, hitam dan coklat. Itu hanya dari warna kulit saja, belum lagi tentang suku, ratusan suku tinggal di bumi ini juga. Mereka punya budaya dan cara hidup yang berbeda-beda, satu dengan yang lain tidak bisa kita samakan. Jika salah satu suku di dunia ini adalah makanan pokoknya jagung, maka kita tidak bisa memaksakan mereka untuk beralih makan nasi sebagai makanan pokoknya. Atau jika rumah mereka terbuat dari rumbai-rumbai, kita menganggap bahwa rumah yang atapnya terbuat dari rumbai itu jelek.

Ukuran bagus dan jelek tidak bisa kita samakan, apakah rumah panggung lebih bagus dengan rumah rumbai-rumbai atau tembok? Jika terjadi gempa di daerah yang rumahnya terbuat dari rumbai-rumbai, maka korbannya akan sedikit. Tetapi jika terjadi banjir di rumah yang terbuat dari tembok, maka akan mengurangi korabn yang jatuh. Jadi, ukuran bagus dan jelek tergantung dari sudut pandang kita melihatnya.

Masih ingat dengan cerita si buta yang diminta mendefinisikan gajah. Si buta yang pertama akan mengatakan panjang karena yang ia pegang adalah belalainya. Si buta yang kedua memegang badanya, maka ia akan mengatakan bahwa gajah itu lebar.

Kenapa Pelangi itu Indah?
Sebuah pertanyaan yang layak kita urai di tengah keberagaman suku, budaya dan agama di negeri sejuta warna ini. Kenapa pelangi itu disebut indah? Coba bayangkan, jika yang terlukis di atas langit itu hanya warna biru saja, atau kuning saja. Apakah jadi indah? Atau bayangkan saja, jika di dunia ini hanya ada dua warna, hitam dan putih. Bila kita sempitkan lagi, warna di dunia ini hanya tunggal alias satu, hitam.
Pelangi itu indah karena mereka berbeda warna yang terdiri dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Mereka tidak sama warnanya. Jika mereka sama, maka tidak akan menjadi indah, mereka saling melengkapi satu dengan yang lain, sehingga menjadi konfigurasi warna yang begitu indah di atas langit. Begitu juga dengan manusia seharusnya menyadari bahwa mereka mempunyai perbedaan satu dengan yang lainnya. Bukan menjadi sebuah masalah untuk hidup berdampingan satu dengan yang lain.

Tetapi, yang menjadikan itu semua bermasalah adalah menyeragamkan kehidupan ini, semua harus sama, semua harus putih atau hitam atau merah. Justru itu yang akan membenturkan harmoni kehidupan ini. Jangan menyatukan semua agama, ras, dan suku dengan dalih pluralisme karena sejatinya mereka berbeda. Biarkan mereka berkata “Bagiku agamaku, bagimu agamamu”.

Biarlah yang biru dengan kebiruannya, biarlah yang hijau dengan kehijaunnya, karena akan terbentuk sebuah warna yang indah. Seperti sebuah pelangi. Indah bukan?
Pelangi pelangi
Alangkah indahmu,
Merah kuning hijau
di langit yang biru,
Pelukismu agung
Siapa gerangan,
Pelangi pelangi
Ciptaan Tuhan….



*Aries Adenata