Minggu, 08 Agustus 2010

Sinetron KCB, Sebuah Refleksi FLP yang Tak Mau Beranjak Dewasa (bagian satu)


Syukur tak terkira di bulan Ramadhan ini ada sebuah sinetron yang otak ceritanya adalah pegiat FLP.

Tapi? Kenapa harus tapi? Ya, karya-karya FLP selama ini dikenal dengan dakwah verbal, dimana simbol-simbol Islam begitu kental di dalamnya. Misalnya teriakan takbir, masjid, ukhti dsb. Celakanya lagi, hamper seragam cerita yang diangkatnya. Yakni, orang yang nakal kemudian menjadi baik, atau paling-paling akhirnya sang tokoh taubat. Seakan dunia ini hanya ada hitam dan putih.

Kini, karya itu disuguhkan dalam bentuk layar kaca. Apakah dengan gaya FLP selama ini? Jika ya! Maka genaplah sudah, bahwa olok-olokan kawan kita dari komunitas sastra lain betul-betul sohih. FLP adalah penulis kisah seragam dan taubat.

Sekilas saja, paling saya hanya mampu melihat sinetron itu tidak lebih dari 5 menit, karena saya mau muntah jika melihat sinetron Indonesia yang hanya memiliki adegan wajib dan seragam; nangis, racun/bunuh diri, menyiksa, selingkuh. Bahkan, menjual mimpi.

Sempat, saya menyaksikan sinetron KCB, mungkin hanya 5-10 menit, sebuah cerita lanjutan dari naskah novel KCB karya Kang Abik. Lagi-lagi, sebuah cerita tentang anak badung yang dimasukan pondok oleh kedua orang tuanya agar anak tersebut taubat dan menjadi baik. Lalu, yang menjadi pertanyaan. Apakah endingnya sang anak akan betul-betul taubat Mas Sakti? Dan, akan bertabur dakwah yang menggurui Mas Sakti? (sang penulis sekenario sinetron KCB). Jika ya! Inilah refleksi bahwa FLP tak mau beranjak lebih dewasa lagi. Ia enggan untuk menyuguhkan karya yang lebih humanis, karya dakwah yang tidak verbal semata, tidak sama dari turun temurun nenek moyangnya. Bukan berarti meninggalkan ke khasan FLP. Bukan! Tetapi bagaimana FLP mengekksplorasi jagad tulisan ini biar tidak seragam dan diulang-ulang. Ada yang menyuguhkan karya verbal dan non verbal.

Semoga FLP bisa lebih dewasa lagi, agar sejarah mencatat. Bahwa FLP tidak hanya bisa melukis dunia ini dengan hitam dan putih, tetapi, bisa melukis dunia ini dengan warna pelangi.

Bukan kah begitu kawan?
(Lihat artikel lainnya di: www.ariesadenata.blogspot.com)

1 komentar:

  1. yap.. setuju banget, mas!
    sinetron itu menurut saya justru bikin 'image' Ketika Cinta Bertasbih jadi -maaf- turun. maksudnya beberapa orang tentu akan menengok kembali seberapa luar biasanya kah KCB itu karena toh sekarang jadi sinetron juga. padahal novel nya kan nggak gitu-gitu amat ceritanya sampe jadi sinetron dan menjadi "Ketika CInta Bersambung"..
    two thumbs up untuk tulisan ini..:)
    winwinfaizah.multiply.com

    BalasHapus