Minggu, 08 Agustus 2010

Benarkah Mereka Murtad dari FLP?


Beragam komentar bersembulan ketika saya menulis refleksi kecil tentang sinetron KCB yang dikaitkan dengan FLP. Ada yang jengah, juga ada yang simpatik. Maklum, FLP adalah sebuah organisasi yang TAMBUN –maaf, menggunakan istilah tambun, karena laju besarnya tak berimbang - . Jika, ada yang bersuara lantang tentang FLP, ribuan pasang anak mata dari berbagai penjuru bumi Indonesia akan menyergap, tak hanya itu, mereka juga akan memuntahkan kata untuk menghadang diskursus tersebut(mungkin karena kecintaan terhadap FLP).

Saya akan mencoba menggeser diskursus KCB dengan wajah FLP kedepan. Ya, saya mencuplikan dua tanggapan terkait tulisan saya yang lalu (Sinetron KCB, sebuah refleksi FLP yang tak mau beranjak dewasa)

Mmm… ada perang batin juga mungkin bagi para penulis FLP. Saya pernah bilang ke adik-adik: berani gak bikin Da Vinci Code versi dunia Islam, dimana sekte-sekte berbasis Hassan Sabbah bisa jadi sangat kuat atau ada pesantren-pesantren yang memang sistem feodal...nya demikian ekstrim? iiiii..tattuuuut. Saya nulis Existere saja banyak yg mengkritik lho. Tapi memang harus ada yang berani untuk menulis sesuatu yang lain. Bahwa da'wah yg universal ini pada akhirnya akan merambah hingga ujung-ujung dunia : para teroris, pelacur, pedofil, sipir penjara, mucikari. Semoga para penulis muslim bisa terus istiqomah ya... (Sinta Yudisia-facebook)

Saya termasuk anggota pasif FLP yang kadang nyinyir juga terhadap buku-buku karya FLP. Tapi, ketika orang luar yang berkomentar, ada juga syaraf yang meradang. Bagaimanapun "ibu" saya FLP. Meski agak lucu. Oleh oknum aktivis FLP, karya saya kadang dinilai sudah tidak "FLP" lagi. Malah ada yang bilang tak layak terbit. Mungkin karena ke "FLP" an nya telah ilang. Atau saya tidak cukup "FLP". Maklum pesantren tak pernah, liqo 3 kali DO. Tapi, belakangan saya berpikir lain. Agak lain. Melihat reaksi beragam terhadap sinetron KCB, saya menjadi bependapat, setiap seniman pena bolehlah memainkan perannya masing-masing. FLP tak perlu seragam. (Tasaro-dalam milis FLP)

Benarkah Mereka Murtad?

Dari kedua tanggapan diatas -meskipun banyak yang memberikan tanggapan terhadap tulisan yang sebelumnya-, ada dua dimensi yang patut kita perbincangkan. Dimensi yang pertama adalah ada pergeseran kultur di dalam FLP. Mereka mencoba untuk mengksplorasi jagad tulisan ini. Mereka mencoba mendobrak tradisi yang selama ini sudah melekat turun menurun dari nenek moyangnya -walaupun tidak semuanya sama-. Melintas sekat pemahaman bahwa penulis FLP adalah penulis taubat. Bayangkan, ada penulis FLP yang mengangkat kisah pelacur, menulur gang Doly, mendedahnya, kemudian menyuguhkan dalam sebuah novel. Mereka seperti ingin mengatakan bahwa Islam tidak hanya bicara soal sholat dan puasa. Islam juga bicara korupsi, penindasan, perlawanan, pelacuran, wc, pelecehan, gender, negara, politik, pemerintahan dsb. Islam itu universal (syamil)

Dimensi yang kedua adalah gejolak dari internal yang begitu dahsyat. Bayangkan! Sudah menjadi darah daging bagi para penulis FLP menggoreskan tinta tentang pertaubatan. Ada anggota FLP menulis yang berbeda, tidak hanya hitam dan putih, namun melukiskan warna lain, bahkan radak abu-abu. Apa yang mereka dapat? Reaksi keras, bahkan dihujat, MURTAD! Sebuah pergolakan yang cukup keras memang, tapi inilah dinamika yang mendewasakan bagi FLP. Saya yakin, sudah ada yang berubah dari FLP, setelah membaca tanggapan dari Deny Prabowo. Ya, karya anak FLP sudah masuk ke celah-celah yang selama ini dianggap sebuah tembok yang sulit ditembus.

Inilah wajah FLP kedepan, karya mereka harus melintas sekat, batas, budaya, bahkan agama, karena FLP sejatinya terbuka untuk semua suku dan agama. FLP.

Tapi, yang menjadi PR besar adalah, ketika ada pioner perubahan itu muncul. Bagaimana dengan anggota yang lain, yang masih menganggap gaya FLP tempo dulu adalah sesuatu yang sakral? SALAH, jika kita mengajak mereka semua berubah kelamin baru, sama saja kita akan menyeragamkan kelamin FLP lagi. Tetapi, bagaimana FLP punya aneka wajah yang berbeda, dan tidak saling meghujat satu yang lain, menganggap satu sohih, sedangkan yag lain tidak sohih untuk dinyatakan sebagai karya FLP.


Dan, saya yakin juga ada banyak anak FLP yang berwarna diluar sana. Namun, belum terekspos baik oleh kita. Karena jarang ada tradisi kritik sastra di dalam FLP.

Memulai Tradisi Kritik Sastra

Itulah sebenarnya tugas kita. Bagaimana memulai tradisi kritik karya atau sastra dari dalam. Dengan kritik karya/sastra, akan muncul pebincangan dan terekspos sebuah karya anak FLP, dengan diperbincangkan akan membuka mata orang untuk melongok isi karya tersebut, dengan dilongok, akan ada penilain baik dan buruk dari pembaca lainnya. Kritik sastra tidak hanya sekedar menilai baik dan buruk, ia juga mengemban tugas untuk menyeberluaskan sebuah karya yang ada. Indah bukan? Jika FLP memulai tradisi kritik sastra/karya dari dalam?

Inilah seharusnya wajah FLP kedepan, akan banyak kritik karya yang dialamatkan terhadap karya FLP baik dari para kritikus karya internal maupun kritikus karya dari akademisi dan luar lingkaran FLP.



Melawan Jebakan Politik Sastra dan Kanonisasi Sastra

Setelah bisa muncul dengan aneka wajah dan rupa –sudah tidak ada konflik internal tentang madzabnya-, FLP harus siap bertanding di jagad sastra Indonesia dengan karya dan politik sastra. Kalau dengan karya, ya, saya yakin akan banyak bermunculan yang berwarna. Lalu, bagaimana dengan politik sastra? FLP harus melek dengan masalah ini, diluar sana, genderang perang terhadap dominasi standart nilai sastra sudah ditabuh bertalu-talu, salah satunya oleh Saut Sitomurang yang gemar berteriak-teriak. Ada titik kecil pembelaan terhadap karya anak FLP yang keluar dari Saut Sitomurang.

“Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih “cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tersebut, yang menolak untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka? Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya? Fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena diukur dengan standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu tentu saja jelek amat hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu membayangkan Ayu Utami dan Djenar memakai jilbab? Kok bisa lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau itu?” (Saut Sitomurang - Makalah untuk Kongres Cerpen Indonesia V Banjarmasin, 26-28 Oktober 2007)

Ini sebuah peluang baik yang sebenarnya harus ditangkap oleh FLP. Sudah ada orang luar yang melirik dan membela madzab FLP. Tapi? Apakah ada niat untuk mengarah kesana?


23.10, 8 Agustus 2010
Aries Adenata, S. S
Ketua FLP Solo Raya
(www.ariesadenata.blogspot.com)

3 komentar: