Minggu, 24 November 2013

Kemerdekaan Sastra dalam Politik (Solopos, 24 Nov 2013)


            Selalu saja ada yang ingin menyeret Forum Lingkar Pena (FLP) ke salah satu partai politik, acap-kali dan didaur ulang terus menerus tanpa henti. Seakan menjadi pembenaran bahwa FLP dinisbatkan ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Saya menjadi gusar dengan tulisan Danang Muchtar Syafi`i yang dimuat di Solopos pada kolom Gagasan, Jumat Pon, 15 November 2013 dengan judul “Kemerdekaan Santri dalam Politik”, lewat tulisan tersebut, Danang membangun opini ke khalayak ramai bahwa FLP adalah bagian dari PKS. Bahkan menjadi salah satu mesin untuk rekrutment kader PKS.

 
Membaca Sejarah
            Danang tampaknya belum atau bahkan tidak membaca sejarah berdirinya FLP. Didalam buku “Segenggam Gumam” (halaman 42) yang ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, pendiri FLP, bahwa FLP lahir pada 1997 karena melihat minat membaca dan menulis di kalangan remaja, mereka membutuhkan bacaan yang bemutu, juga banyaknya anak muda yang bergerak di dunia penulisan namun potensi mereka tidak tersalur. Karena itulah FLP didirikan. Bukan untuk menjadi mesin rekrutmen kader bagi PKS juga partai lainnya.
            Sangat jauh berbeda gerakan yang dibangun oleh FLP dan PKS. FLP bergerak dalam ruang literasi, merangsek ke dunia tulis dan baca, membina calon-calon penulis baru, berbagi ilmu tulis-menulis jenjang pengkaderanya pun berkaitan erat dengan seputar literasi. Salah satu contohnya; jenjang muda untuk bisa naik ke jenjang madya syaratnya adalah tulisannya sudah pernah dimuat di media nasional atau sudah pernah menerbitkan buku. Untuk mendirikan FLP cabang pun tidak mudah, syaratnya harus ada salah satu anggotanya sudah masuk kategori jenjang madya dan syarat lainnya. Tentu sistem pengkaderan ini tidak ditemukan di PKS atau partai lainnya.
            Bandingkan dengan sejarah berdirinya PKS yang dahulunya bernama PK. PKS atau PK lahir pada 20 Juli 1998 dalam konfrensi pers di aula masjid Al-Azhar. Dari segi umur FLP lebih tua dibandingkan PKS. Tidak mungkin ornganisasi yang lebih tua umurnya menjadi gerakan dibawahnya. Secara sistem pengkaderan berbeda, apalagi beda ruang gerakannya. PKS berada pada ruang politik, tentu mereka ingin mencetak kader-kader politik sebanyak-banyaknya.
            Tampaknya Danang harus membaca sejarah FLP dulu sebelum menyeret-nyeret FLP dalam pusaran gelombang PKS. Agar Danang tidak sembrono membangun kontruksi pikiran khalayak ramai tentang FLP yang seakan-akan tidak merdeka. FLP adalah sebuah gerakan literasi yang merdeka tidak berafiliasi dengan partai manapun. Danang juga seharusnya melongok AD/ART FLP sebelum membuat tulisan tentang FLP. Tidak ada satupun kalimat dalam AD/ART yang menyebutkan FLP punya garis struktural dengan PKS atau partai lainnya. AD/ART dalam organisasi layaknya sebuah kitab suci, ia menjadi arah dan pedoman gerakan organisasi. Jadi, silahkan Danang baca dulu AD/ART FLP, jika sudah tunjukan kalimat mana yang menyatakan FLP adalah wadah rekruitmen kader bagi PKS. Begitu kan Danang?
Merdeka itu Pilihan
Jika tema tentang FLP dan PKS ini terus didaur ulang, tentu akan merugikan bagi FLP. Citra yang terbangun bahwa FLP tidak merdeka secara karya atau personal. Soal kemerdekaan ini tentu kita bedakan antara personal sebagai pengurus FLP dengan lembaga FLP.
Tentu setiap orang punya kemerdekaannya dalam menyalurkan hak poltiknya. Jika terdapat anggota FLP yang menjadi pengurus PKS tentu itu adalah kemerdekaan pilihan pandangan politiknya. Mungkin ada kesamaan ideologi dan platform perbaikan bangsa yang ditawarkan PKS dengan pandangan individualnya. Disinilah titik temu kader FLP secara personal dengan PKS yang kemudian dianggap bahwa FLP adalah bagian dari PKS. Tentu kemudian tidak masuk akal, jika ada sebagian kader FLP yang aktif di PKS kemudian FLP dinisbatkan sebagai PKS.
Begitu pula jika ada anggota FLP yang jadi pengurus partai PBB, HANURA, NASDEM, PAN, DEMORAT dan partai lainnya itu hak di secara individual, tentunya bukan sebuah dosa bukan seorang penulis aktif di sebuah partai politik! Mungkin streotip yang tumbuh dimasyarakat bahwa politik itu kotor, jadi jika ada seorang penulis aktif di parpol maka stempel buruk akan muncul kepadanya.
FLP sebagai lembaga berada pada titik netral, ia tidak berafiliasi pada partai politik apapun. FLP merupakan organisasi kepenulisan dengan anggota yang majemuk mulai dari NU, Muhammadiyah, HTI, Jamaah Tabligh dan sebagainya. Setiap anggota atau kader FLP punya kemerdekaan untuk menentukan saluran politiknya sendiri.
Jumlah anggota FLP yang mencapai ribuan dan berada diberbagai penjuru negeri ini memang membuat partai politik memandang FLP adalah organisasi yang seksi untuk digoda. FLP adalah gerakan kepenulisan yang sangat fenomenal, ia menjadi organisasi kepenulisan yang terbesar di Indonesia, tak hanya di dalam negeri saja. FLP juga menjangkau ke luar negri. FLP mempunyai empat belas cabang di luar negeri. Mulai dari Hongkong, banyak anggotanya adalah buruh migrant yang dibina FLP. Lantas, kemudian bisa melahirkan karya yang baik. Kemudian Malasyia, Jepang, Australia, Mesir, Arab Saudi, Yaman, Turki, Amerika, Kanada, Jerman, Taiwan, Turki, Pakistan. Sedangkan di Indonesia FLP sudah hadir di tiga puluh provinsi, sedangkan jumlah provinsi di Indonesia sekarang adalah tigapuluh empat provinsi. Tidak heran bukan! Jika banyak kepentingan yang ingin menyeret FLP pada salah satu partai politik.
Sastra dan Politik
            Sastra dan politik punya ruang yang berbeda, namun juga bisa di ruang yang sama. Bukan selingkuh, tapi bersinergi membangun peradaban yang lebih baik. Selama ini yang didengungkan adalah politik itu kotor, karena berita yang acap kali muncul adalah korupsi, keculasan, kebohongan, intrik dalam panggung politik di negeri ini. Berita kebaikan, kejujuran, kepedulian dalam politk jarang disiarkan dalam media. Mungkin karena mainstraim media saat ini adalah “bad news is good news” jadi kebaikan dari politik itu tidak muncul. Tidak heran jika masyarakat akan menghujat habis-habisan para penulis yang terjun ke dunia politik.
            Sudah saatnya wajah politk di Indonesia itu menampilkan kebaikan agar ia tak dinilai kotor selama-lamanya. Juga saatnya politik bergandengan tangan dengan sastra.  Dalam sastra pesan-pesan kebaikan tersemat di dalamnya, di dalam politik juga terdapat cara mendapatkan kekuasan yang baik, pengaturan pemerintahan yang baik pula. Jika sastra dan politik bergandengan tangan, kebaikan pesan dibantu dengan kekuasan yang baik maka tercipta satu ruang kebaikan yang sama di negeri ini. Semoga!


*Aries Adenata, SS
Sekretaris Divisi Kaderisasi
Badan Pengurus Pusat (BPP) FLP


















2 komentar:

  1. Salam.
    Tak sengaja saya menemukan tanggapan ini. Tentu saya bersyukur, ada salah satu petinggi FLP yang langsung menanggapi tulisan saya, yakni mas Aries Adenata. Terutama saya juga pernah "ngobrol", walau tak lama, dengan mas Aries. Namun, mohon maaf, tanggapan ini tidak suportif: Saya menulis itu, tanggapan mas Aries lain. Tak menangkap secara utuh dari "nasehat" saya tersebut untuk FLP. Buku-buku karya FLP, termasuk "Segenggam Gumam" itu, sering saya baca sekaligus dengan AD/ART FLP. Saya mudah menemukannya lantaran adik saya juga aktif di FLP. Sebenarnya sederhana saja, hemat saya, tulisan saya tersebut (seharusnya) bisa dipahami sebagai ikhtiar dalam menggawangi FLP dari godaan yang merusak keharmonisan dan kemerdekaan. Dan, tulisan itu berangkat dari beberapa curhatan kawan-kawan yang menegaskan diri sebagai santri Tarbiyah (tanpa Partai). Terimakasih. Lanjutkan budaya literer (sastra). :)

    BalasHapus
  2. Ralat: Bukan Kemerdekaan Sastra dalam Politik, tapi kemerdekaan Santri dalam Politik ^_^

    BalasHapus