Jumat, 15 Oktober 2010

Upaya mencari tersangka pembuat badai perbukuan


Akhir-akhir ini dunia perbukuan diterjang badai. Ini adalah sebuah badai besar yang kesekian kalinya bagi para pelaku penerbitan. Sebuah PR besar yang harus dijawab, syukur-syukur bisa mencari tersangka pembuat badai industri kreatif buku. Bagaimana tidak, para pelaku industri ini pada mengeluh karena cash in mereka melompat jauh dari tebing nyaris ke dasar jurang, bahkan ada penerbit yang tumbang karena terjangan badai ini.

Namun aneh, ditengah badai ini, acara pelatihan baik kepenulisan offline maupun online merebak bak cendawan di musim dingin, belum lagi acara jumpa penulis dan bedah buku, hampir di tiap sekolah, sudut kota, di pojok kampung dan di tengah masjid digelar sebagai ritual perayaan lahirnya buku dan jumpa fans.

Mencari tersangka
Nah, siapa tersangkanya? Ini menjadi tugas kita bersama, selaku penulis, penerbit dan pemerintah tentunya (sebagai pembuat regulasi). Ada beberapa fenomena yang perlu kita perhatikan;

Pertama, masyarakat kita dihajar habis-habisan oleh pameran buku. Bayangkan, satu kota bisa dalam setahun 6-8 kali pameran. Tentu, masyarakat akan babak belur, kemudian malas melangkahkan kaki ke pameran. Kini, pameran bukan sebuah hal istimewa karena tiap bulan pasti ada sebuah pameran. Seharusnnya pameran buku dijaga ritmenya, biar tidak berlari dan saling bertuburkan. Inilah ulah para EO yang berebut kue dan dengan genitnya menawarkan ke penerbit. Namun, penerbit seperti tak kuasa dengan kegenitan para EO, mereka tergoda kemudian ikut semua pameran yang diadakan. Siapa yang akan menjadi korban? Sang EO atau Penerbit? Semuanya tentu akan mendapatkan imbasnya. Tinggal menanti titik puncak kejenuhan masyarakat. Waspadalah!

Kedua, era digital. Mau tidak mau harus diakui, ini juga harus dijadikan tersangka. Orang kini mulai melirik untuk memiliki ebook dari pada buku karena lebih praktis. Bahkan, saya mendapatkan pengakuan yang jujur dari salah satu penulis, mereka dalam mencari refernce tinggal Tanya mbah google. So? Sang penulis yang mau menjual tulisannya dalam bentuk buku saja kini lebih memanfaatkan internet dari pada cari reference dalam bentuk buku. Masak mau maksa orang beli buku sedangkan dia internet minded?

Belum lagi keunggulan internet, sepatu rusak, kulkas rusak, hingga cara merawat baju saja, tinggal klik, sudah bertebaran di dunia maya, gratis! Kenapa harus repot beli buku ke took buku dan harganya melambung karena kenaikan kertas.

Ketiga, faktor penerbit itu sendiri. Mereka pengekor suatu buku jika buku itu meledak dipasaran, jika ada yang berjudul ayat-ayat cinta misalnya, maka akan lahir ratusan judul yang mirip bahkan covernya nyaris tak bisa dibedakan. Harusnya selektif dengan naskah. Biar suguhan itu bervariatif bagi pembaca. Bayangkan saja, jika menu makan yang ada dihadapan kita sejenis, maka kita tidak akan berselera, tetapi jika menu itu banyak pilihan, tentu kita akan tergoda untuk segera mencicipinya.

Nah, seharunya penerbit punya team research yang handal sebelum membuat buku. Segala hal harus diperhitungkan. Jika ini dilakukan, maka bakal berdampak baik bagi penerbit dan pembaca.

Upaya menghadang badai
Lantas, apakah kita harus diam saja melihat badai ini? Sekitar satu-dua minggu yang lalu, saya ngobrol panjang dengan manajer penerbit Era Intermedia, Pak Adi. Mereka bermain di dua kaki, yang satu adalah menerbitkan buku idelis, sedangkan yang kedua adalah proyek. Jika buku idealis atau umum itu seret di pasar, maka mereka akan mendapatkan darah segar dari buku proyek. Sekarang pemerintah lagi getol menggelontorkan dana buku-buku pengayaan, sekali cetak untuk satu judul bisa 15 hingga 30 ribu. Banyak bukan? Nah, inilah fungsi subsisdi silang, buku idealis tetap harus berjalan, buku proyek juga kita garap.

Masih banyak penerbit yang ngotot hanya bertahan dengan buku umum atau idealisnya. Tak hanya itu, penerbit yang masih menerapkan majemen ortodok harus segera bisa berbenah diri. Lekas bangkit menghadang badai ini. Buat langkah konkrit mulai dari: membuat team atau divisi pemburu buku proyek, kuatakan team kreatif, uasahakan ada divisi research meskipun hanya kecil

1 komentar: