Senin, 07 Desember 2009
Pasar Tradisional: Sebuah Identitas Budaya
Pasar Tradisional: Sebuah Identitas Budaya
Aries Adenata, S.S·
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya. Sebuah kalimat yang layak kita renungkan. Benarkah kita bangsa yang besar? Bisakah kita menghargai budaya kita sendiri? Tidak usahlah kita membahas sesuatu yang cakupannya begitu luas. Cobalah kita menengok yang ada di hadapan kita atau yang terjadi hampir tiap hari dalam kehidupan kita. Ya! Hampir setiap hari kita ataupun anggota keluarga kita mekukan proses jual-beli atau aktifitas belanja. Kenapa itu yang dibahas? Dan dimana aktifitas itu dilakukan? Apakah di Mall atau di pasar tradisional?
Jika kita tengok dan kita urai pertanyaan-pertnyaan diatas, banyak hal yang ternyata akan menggungkap sebuah identitas budaya bangsa kita. Budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur kita.
Pasar Tradisional Tempo Dulu
Warisan budaya itu adalah pasar tradisional. Dalam beberapa prasasti menyebutkan bahwa pasar tradisonal di masa Jawa kuno telah terbangun sebuah sistem berdasarkan kosmologi yang dianut dan dipercaya oleh masyarakat Jawa kuno.
Salah satu prasasti tersebut adalah Prasasti Garaman yang berangka tahun 975 Saka (1057 M). Dalam prasasti tersebut tersirat ada hubungan antara sistem pasar dengan panatur desa dan panasta desa. Di masa kemudian konsep itu dikenal dengan konsep mancapat dan mancalima, yaitu desa induk dikelilingi oleh empat desa yang terletak diarah empat penjuru mata angin, atau desa induk dikelilingi oleh delapan desa yang terletak di arah delapan penjuru mata angin.
Konsep panatur dan panasta desa ini dikaitkan dengan sistem klasifikasi hari-hari pasar yang lima atau pancawara yang kemudian dibakukan dengan menggunakan klasifikasi hari berdasarkan kosmologi yang dianut oleh masyarakat pada masa itu, yaitu Umanis/Manis, Pahing, Pon/Pwan, Wagai/Wage, dan Kaliwuan yang pada masa kini disebut Manis/Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon. Satu sistem atau rotasi yang lamanya lima hari pada masyarakat Jawa sekarang.
Dalam Prasasti Pangumulan A yang berangka 824 Saka (902 M) dijelaskan mengenai adanya orang-orang yang datang dari satu desa ke desa lain untuk berdagang pada hari-hari pasar. Dengan demikian, pada hari pasar, para pedagang dari desa itu sendiri maupun desa-desa di sekitar pasar membawa dagangan mereka ke pasar.
Disamping sistem berdasarkan kosmologi, pasar di Jawa kuno juga diperhatikan penempatan lokasi pasar. Pada masa Mataram kuno, lokasi pasar dekat dengan sungai, dengan kata lain dekat dengan akses transportasi. Penataan tempat lokasi pasar ini dapat dilihat dalam Parsasti Turyyan. Dalam prsasti tersebut disebutkan sungai tersebut adalah Kali Lesti yang melewati Kecamatan Turen (Jawa Timur). Sedangkan pada masa Majapahit dan kerajaan-karajaan pada abad ke 17 sampai ke 18 M. Dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh 8.2 dan pupuh 12.3 disebutkan sturktur pasar kerajaan Majapahit(Abad 14 sampai abad 15). Bahwa pasar terletak di sebelah tempat tinggal Bhatara Narapati dan di sebelah selatan pasar terdapat pemukiman yang padat. Juga dapat dilihat bahwa pasar pada abad 17 dan 18 M. struturnya tempatnya adalah dari selatan ke utara dimulai dengan keraton, alun-alun, kemudian pasar. Sepertihalnya yang ada di salah satu pasar di Solo yaitu. Jika strukturnya diurutkan maka akan sama, mulai dari selatan yaitu keraton kasunanan, kemudian alun-alun utara dan selanjutnya adalah sebuah pasar yang kita kenal dengan pasar Gede.
Pasar Tradisional, Sebuah Identitas Budaya.
Pasar bagi masyarakat Jawa tidak hanya dianggap sebagai tempat jual beli saja, tetapi pasar juga dianggap sebagai tempat interaksi sosial, bertemunya masyarakat, saling berkomunikasi dan pusat keramaian. Bagi masyarakat Jawa, mereka mengenal pepatah yaitu, “Tuna satak bathi sanak” yang artinya rugi uang, tapi mendapatkan saudara. Dengan peribahasa tersebut, masyarakat Jawa tidak hanya mengejar keuntungan semata, tetapi juga hubungan kekeluargaan kalau dapat dibina terus. Kenapa ini bisa terjadi, karena di pasar ada kesempatan bagi para pembeli dan penjual untuk saling tawar menawar yang berakibat timbulnya kesempatan untuk saling berkomunikasi. Jika dibandingkan dengan pasar modern atau Supermarket, Mall, Waralaba, Mini Market dan sebagainya kesempatan untuk tawar menawar yang akan menimbulkan sebuah proses untuk berkomunikasi tidak ada. Mereka hanya tinggal mengambil barang yang sudah ada label harga dan kemudian membayarnya di kasir, itu saja. Dari sisi karakter kita dapat melihat bahwa budaya sebenarnya masyarakat Jawa itu adalah masyarakat yang sosialis dan ramah.
Jika dilihat dari kacamata budaya pemanfaatan waktu, pasar tradisional akan memperlihatkan sebuah identias budaya masyarakat Jawa sesungguhnya. Di pasar tardisional aktivitas sudah dimulai sejak dini hari atau waktu Shubuh, sedangkan pasar modern yang kini membanjiri kota-kota besar di Jawa dan sekarang mulai menyerbu kota Solo, aktivitas atau jam buka baru dimulai sekitar pukul sembilan sampai sepuluh pagi. Dari perbandigan ini terlihat bahwa budaya asli masyarakat Jawa sebenarnya tidak pemalas, mereka sudah beraktivitas di pagi hari betul, sedangkan pasar modern yang notabene berasal dari barat menujukan bahwa sebenarnya budaya mereka adalah budaya malas untuk melakukan ativitas di pagi hari.
Dari dua identitas budaya diatas, pasar tardisional juga dapat memperlihatkan budaya pergaulan masyarakat Jawa, khususnya wanita Jawa. Pasar tardisional akn menkhiriaktivitasnya pada siang hatriya atau paling mentok pada soer hari. Sedangkan pasar modern akan tutup pada pukul sembilan sampai sepuluh malam. Dengan jam tutup pasar modern tersebut, para memungkinkan baik itu laki-laki maupun perempuan dapat beraktivitas dan pulang pada larut malam. Padahal dalam masyarakat Jawa mengenal pameo “Wong wedok wis bengi isih dolan, ora elok!”. Kearifan lokal atu The Local Wisdom itu jangan diartikan sebagai pembatasan gerak dan waktu bagi para perempuan Jawa. Justru budaya atau kearifan lokal tersebut menunjukan bahwa para perempuan Jawa begitu diperhatikan dan dijaga.
Dari segi budaya penetapan skala prioritas, pasar tradisional adalah tempat bagi orang yang memang betul-betul membutuhkan barang atau makanan yang akan dibeli karena memang barang atau makanan tersebut betul-betul mereka butuhkan. Sedangkan orang yang datang ke pasar modern adalah orang yang mengejar prestige saja dan juga mereka akan kewalahan ketika datang ke Mall karena beragam penawaran yang akan mengaburkan orang untuk membeli barang yang sebenarnya ingin dibeli, bisa jadi mereka akan membeli barang atau makanan yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena barang tersebut dibeli berdasar bujuk rayu program diskon dan beraneka produk yag ada. Disisi lain, barang atau makanan yang dibeli berasal dari luar negeri sebenarnya hanya untuk mengejar prestige saja, bagaimanapun lidah seseorang tidak akan bisa dibohongi. Lidah Jawa tetap lidah Jawa, mereka akan lebih suka mencecap dan mengunyah pecel, gado-gado daripada beefburger atau spagethi.
Jika pasar tardisional adalah sebuah identitas budaya kita. Maka, sangat layak jika kita menyebut pasar tradisional, The Truely of Heritage!(di ambil dari berbagai sumber)
*Kerja Keras adalah Energi Kita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar