Senin, 07 Desember 2009
Menggagas Temu Sastra Solo
Aries Adenata
Berbicara tentang kegiatan bersastra atau berbudaya, kota Solo adalah tempat menyemai benih, tempat kelahiran juga tempat tumbuh-kembang para seniman dan budayawan. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan besar adalah, dengan semua predikat yang disandangnya, apalagi jargon yang sekarang dihasung oleh pemkot Solo, Solo The Spirit of Java. Apakah para pelaku seni atau pekerja seni Solo mampu membawa masyarakat menjadi subyek dari proses berkesenian atau justru tetap mempertahankan masyarakat yang hanya dijadikan obyek seni itu sendiri. Kenapa pertanyaan itu muncul? Ya, muncul karena rasa keprihatinan penulis melihat fenomena bahwa sastra sekarang hanya menjadi milik kalangan tertentu yang memuja-mujanya begitu berlebihan. Sastra kini menempati dunianya sendiri, ia tidak mampu dijangkau oleh masyarakat awam, apalagi untuk bisa hidup ditengah-tengah masyarakat yang kini semakin komplek permasalahannya.
Sastra juga bisa diibaratkan buah durian, bagi pemuja ia begitu nikmat, bagi orang yang tidak suka, mencium baunya saja ia sudah muntah-muntah apalagi untuk memakannya, ia bakalan mabuk laur biasa. Untuk menjawab pertanyan diatas, tentunya harus ada upaya yang serius dari pemkot kota Solo , DKS (dewan kesenian Surakarta) dan para pelaku seni di kota Solo dan sekitarnya. Kenapa harus Solo dan sekitarnya, karena Solo adalah medan magnet bagi para pelaku seni sekitarnya, tentunya sangat bijak bila para pelaku seni dan masyarakat daerah disekitarnya ikut memperhatikan dan diperhatikan oleh kota Solo, karena disekitarnya adalah daerah dari dampak medan magnet tersebut, yang tentunya berdampak bagi citra Solo dan daerah disekitarnya juga. Harus ada sebuah mutualisme-simbiosis diantara berbagi pihak yang berkepentingan untuk terus melestarikan seni dan budaya.
Lalu, upaya apakah yang harus ditempuh? Siapa yang harus memikul tanggung jawab tersebut? Dimana? Kapan? Ada beberapa institusi yang secara moral punya kewajiban untuk memikul tanggung jawab tersebut. Pertama adalah pemerintah kota Solo. Karena secara infrastruktur dan finansial pemkot Solo sangat mendukung. Tengok saja fasilitas yang ada di Solo, misalnya TBJT (taman budaya Jawa Tengah) yang berlokasi di wilayah Solo. Dengan menyandang nama Jawa Tengah tentunya daya jangkau tempat tersebut tidak hanya untuk kalangan Solo semata, tetapi untuk seluruh jawa Tengah. Sekali lagi, saya menegaskan bahwa secara fasilitas dan spirit, Solo adalah poros untuk berkesenian dan bersastra.
Kalau kita melihat dari segi spirit pemkot kota Solo, Solo The Spirit of Java. Sangat tepat jika pemkot Solo menjadi pemantik dan pelopor untuk memprakarsai temu sastra Solo (plus melibatkan daerah sekitarnya). Kita perlu mengacungkan jempol kepada walikota Solo yang baru saja kelar mengadakaan dua hajatan besar, yaitu konggres WHC (Worlds Heritage Cities). Hajatan yang lain adalah SIEM (Solo International Etnic Music). Hajatan yang kata Jokowi bakal digelar rutin tiap tahun. Saya berharap Jokowi dengan semangat yang menggebu-gebu untuk rebranding kota Solo juga diimbangi dengan penataan dari dalam, jangan hanya show of force saja. Penataan dari dalam tersebut bisa diawali dengan temu sastra Solo untuk menyerap ide-ide dari para pelaku seni juga sekaligus melibatkan masyarakat untuk sama-sama membangun brand kota Solo dan budayanya.
Elemen kedua yang seharusnya punya beban moral yang cukup besar adalah DKS (Dewan Kesenian Surakarta). DKS yang baru saja dibentuk dan diprakarsai oleh Jokowi ini belum kelihatan gebrakannya yang menonjol. Jika kita mengaca apa yang telah dilakukan leh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), maka sangat patut jika DKS dipertanyakan keberadaannya. Bagaimana tidak, DKJ yang menyandang Dewan Kesenian Jakarta, bukannya Dewan Kesenian Indonesia ternyata mampu untuk menjadi pematik berkesenian dan bersastra bagi wilayah-wilayah seluruh Indonesia. Banyak kegiatan yang diprakarsai oleh DKJ tidak semata untuk menghidupkan dan menonjolkan sastra atau kesenian Jakarta saja, namun juga memberikan ruang dan tempat untuk sastra dan kesenian daerah yang kemudian diboyong ke Jakarta untuk difasilitasi agar bisa tampil di Jakarta. Belum lagi kegiatan rutin DKJ yang lain. Misalnya, sayembara menulis novel DKJ yang pesertanya adalah orang-orang dari berbagai pelosok negeri ini. Bahkan sayembara ini adalah salah satu penghargaan sastra yang bergengsi di Indonesia.
Nah, seharusnya DKS bisa belajar dari apa yang telah dilakukan oleh DKJ. Untuk itu, DKS sangat pantas sebagai elemen kedua yang jadi tertuduh untuk punya beban moral dalam rangka memprakarsai temu satra Solo. Kegiatan serupa ini pernah digelar oleh DKJ dan mendulang sukses. Dari acara temu sastra Jakarta lahirlah dua buku, yaitu antologi cerpen dan antologi essay yang memperluas cakrwala khazanah sastra di Indonesia khususnya bagi Jakarta sendiri, karena dengan keberadaan buku yang berisi gagasan-gagasan para pelaku seni untuk mencari format dan solusi bagi pengembangan sastra dan budaya.
Satu lagi yang tak kalah penting untuk punya beban moral adalah masyarakat dan komunitas-komunitas sastra, tetapi kadarnya bebeda dengan elemen-elemen diatas. Masyarakat dan komunitas tersebut punya beban moral untuk mendukung apa yang dilakukan oleh pihka-pihak yang beritikad baik demi mekestarkan seni dan budaya. Bukannya menghujat apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mau berbuat baik untuk kepentingan seni dan budaya. Bukan berarti masyarakat dan komunitas-komunitas sastra itu tidak boleh kritis terhadap kebijakan yang diambil.
Bukan berarti tulisan ini mencari siapa yang jadi tertuduh untuk gagasan diatas. Tetapi, hanya mengingatkan saja bahwa pemkot Solo jika berjalan sendiri tak akan mampu, sama halnya jika DKS tidak dapat dukungan juga tidak akan bias berjalan sendiri, begitu pula masyarakat dan komunitas-komunitas sastra, mereka akan menemui jalan buntu jika tidak dapat perhatian dari yang lain. Alangkah syahdunya jika semua elemen itu bergandengan tangan untuk menggagas wacana diatas demi kehidupan sastra dan budaya Solo dan sekitarnya.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah, semua elemen itu punya itikad untuk menggagas temu sastra Solo atau tidak? Guna mengurai benang merah masalah kehidupan bersastra dan berbudaya yang kian hari kian tidak menentu arahnya. Ada sebuah kata-kata bijak yang patut kita jadikan bahan renungan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghagai budayanya. Benarkan kita sudah menghargainya? Hingga produk kebudayaan kita banyak dicuri oleh bangsa lain. Salah satunya adalah hak paten batik yang kini dimiliki oleh Malaysia. Belum lagi kekayaan intelektual yang lain. Namun, kita tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkannya. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi dan menjadi sebuah pelajaran yang paling berharga buat kita semua.
Kita harus yakin bahwa masalah bersastra dan berbudaya ini bisa kita selesaikan bersama. Mengutip salah satu jargon iklan calon kandidat presiden Indonesia 2009 (yang kini sudah menyatakan mundur dari bursa pencalonan presiden) “There is a will, there is a way”. Semoga…
*Kerja Keras adalah Energi Kita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar