Senin, 07 Desember 2009
Menanyakan Kelamin Komunitas Sastra Kota
Aries Adenata, S.S
Solo The Spirit Of Java. Jargon yang kini diusung oleh kota budaya Solo ini menggaung santer ke seluruh pelosok negeri bahkan ke seluruk pejuru dunia. Terbukti penyelenggarakan World Congress of the Organization of Heritages Cities di bulan Oktober mendatang diselenggarakan di kota Solo. Tak hanya itu, Solo ditetapkan sebagai World Heritage Cities. Nah, melihat jargon dan historis Solo yang semakin diakui dan dikukuhkan sebagai kota warisan budaya ini.
Ada sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh komunitas sastra kota. Apa peran dan kelamin komunitas sastra kota saat ini dan mendatang? Beberapa tahun ini marak dan tercatat beberapa komunitas sastra kota yang sempat hidup dan meramaikan khasanah sastra kota Solo. Sebut saja, Meja Bolong, FLP, Sketsa Kata, Pawon, HPK dan komunitas-komunitas lainnya.
Komunitas sastra kota ini tak jelas dengan peran yang akan diambilnya bagi kota Solo. Ada beberapa pertanyaan besar untuk dijawab oleh komunitas sastra kota Solo. Pertama, komunitas sastra kota akan dibawa ke arah pembentukan satrawan atau penulis-penulis muda yang membawa kearifan lokal, sastra hijau dan sesuai dengan kelamin komunitas mereka dalam kegiatan dan berkarya, atau diberi ruang untuk berekspresi sesuai dengan streotyp yang selama ini ada. Sastra bebas berekspresi secara individual tanpa ada kekang atau mengikuti kelamin dari sebuah komunitasnya. Atau keduanya disinergikan. Yaitu membawa identitas kelaminnya atau genre komunitasnya sekaligus memberi ruang kepada individu untuk bereksperimen.
Kedua, perlukah sebuah kelamin yang jelas bagi sebuah komunitas sastra? Atau justru sudah saatnya tidak tabu untuk saling memperlihatkan kelamin masing-masing komunitasnya? Selama ini komunitas sastra kota terkesan saling bersyakwasangka antara satu dengan yang lain terkait dengan jenis kelamin. Bahkan, mereka kadang saling mengitip dibalik celana komunitas lainnya hanya untuk mengetahui kelamin komunitas sastra lainnya. Walaupun mereka sering meneriakan bahwa sastra adalah otoritas yang bebas dari nilai, kepentingan, tak berpihak dan tak berkelamin. Tetapi sesungguhnya semua komunitas sastra, disangkal atau tidak disangkal mereka menghasung ideologi atau berkelamin tertentu. Namun, itu semua hanyalah pada tataran teori belaka. Tetapi, sesungguhnya diranah kenyataan mereka masih menjaga jarak secara idelogis atau kelamin, seolah bahwa komunitas mereka adalah bukan muhrimnya untuk komunitas tertentu. Akan tetapi, secara dzhohir mereka saling bersentuhan untuk mengadakan kegiatan yang menyemarakan jagad sastra di kota Solo. Semoga pertanyaan kedua ini akan memantik komunitas-komunitas sastra kota Solo untuk saling terbuka memperlihatkan kelamin mereka untuk bisa menujukan kepada khalayak umum bahwa sastra adalah wilayah yang toleran, egaliter dan demokratis. Semua ideologi dan kepentingan dapat duduk bersama dan berdialog, bukannya untuk saling mencurigai, saling menghujat, saling menjatuhkan, saling menikam, saling-saling-saling yang lainnya, yaitu membuat pihak lain tersudut atau tiarap untuk sementara waktu, atau bahkan tiarap untuk selamanya. Atau justru pertanyaan kedua ini akan membuat satu komunitas dengan komunitas lainnya saling menutup rapat-rapat celana mereka agar kelamin mereka tidak ketahuan dan diintip komunitas lainnya? Ah…terserah mereka John Koplo!
Pertanyaan ketiga adalah apakah komunitas sastra kota dan para pegiat sastra akan bersinergi dengan tagline kota Solo, yaitu Solo The Spirit of Java? Nah, ketika tagline ini ditarik kearah karya sastra, akankah tagline ini dikunyah dengan mentah, ataukah tagline tersebut diejawantahkan dalam bentuk tagline yang lain sehingga bermetamorfosis menjadi tagline baru bagi pegiat sastra dan komunitas sastra kota, misalnya Solo The Spirit of Writing. Ya, Solo adalah sumber inspirasi untuk menulis. Solo gudang peristiwa sosial, budaya, sejarah dan politik. Mulai dari peritiwa geger kerajaan Surakarta, perjuangan empatlima kerusuhan mei, para priyayi kampong batik, pergeseran trend belanja dari pasar tradisional menuju pasar modern dan berbagai peristiwa lain. Jika semua itu menjadi sumber inspirasi para pegiat komunitas sastra kota dan penulis Solo. Maka, persitiwa tersebut akan tercatat dalam sejarah jagad karya sastra, karena sastra adalah cermin masyarakat tersebut. Peristiwa atau sejarah yang dibungkus karya sastra bisa jadi akan banyak digemari, disenangi bahkan dibaca banyak kalangan, sebut saja karya sastra yang berlatar belakang sejarah, misalnya Para Priyayi tulisan Umar Kayam yang memotret masyarakat jawa tempo dulu atau yang sekarang sedang meledak dipasaran yaitu karya sastra Gajah Mada tulisannya Langit Kresna Hadi. Juga ada karya sastra lainnya yang memotret Solo lebih jelas dari masa pergerakan hingga mencari bentuk nilai kebangsaan dari kacamata masyarakata Solo, yaitu De Winst tulisan Afifah Afra.
Jika Solo adalah sumber inspirasi bagi karya sastra dan karya sastra tersebut digemari, disenangi dan dibaca banyak kalangan. Maka, tulisan tersebut akan menjadi magnet untuk masyarakat domestik untuk meneliti bahkan berkunjung ke Solo. Dan jika karya sastra tersebut diterjemahkan kebahasa asing kemudian menjadi konsumsi masyarakat asing, maka tulisan tersebut akan menjadi media promosi yang efektif bagi kota Solo. Meskipun tujuan dari karya sastra sesungguhnya bukanlah media promosi, tetapi salah satu tugas karya sastra adalah memotret peristiwa yang terjadi dalam masyarakat tersebut yang akan berdambak bagi khalayak umum menjadi tertarik dengan peristiwa yang melingkupi dan tempat terjadinya perstiwa dari karya tersebut. Semoga!
Pertanyaan terakhir sekaligus pembuka wacana. Kini posisi komunitas sastra kota Solo dipertaruhkan dengan keberadan DKS (dewan kesenian Surakarta) apakah dengan keberadaan DKS akan menjadi tempat peraduan mereka untuk saling bersinergis dan lebih giat lagi untuk menyemarakan jagat sastra di Solo? Ataukah DKS yang akan mengambil alih peran komunitas sastra kota Solo? Atau akankah mereka saling berbaku hantam hanya sekedar untuk mendapatkan kucuran dana dari DKS yang notanebene uang tersebut dari rakyat?!
Diatas sudah ada empat pertanyaan pemantik untuk dijawab komunitas sastra kota Solo. Sekarang yang kita tunggu adalah sikap dari para pegiat sastra kota untuk mensikapinya. Apakah empat pemantik pertanyaan diatas ditanggapi dingin-dingin saja, ditanggapi dengan telinga merah atau akan ditanggapi dengan tangan terbuka yang kemudian akan menjadi PR bersama untuk merumuskan peran dan masalah kelamin diantara komunitas sastra kota Solo. Kini, masalah kelamin bukanlah otoritas dokter saja, tetapi juga masalah bagi pegiat dan komunitas sastra kota untuk diselesaikan. Ah…lagi-lagi masalah kelamin!
*Kerja Keras adalah Energi Kita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar