Duel di Jalan Raya Sastra Solo
Aries Adenata, S.S
Aries Adenata, S.S
Pendekar Sastra Akademisi
Sudah bukan rahasia lagi, para akademisi sastra hanya berkutat pada wilayah kampus semata. Mereka mengurung diri dalam dunianya sendiri. Seolah sudah tak ada dunia lagi di luarnya. Apakah ini dikarenakan sistem yang ada di lingkungan kampus? Atau memang ini adalah watak para pendekar sastra akademisi yang sudah merasa aman dan gagah di hadapan para mahasiswanya, tapi kecut untuk keluar kandangnya? Pertanyaan ini mungkin bagi kalangan para pendekar sastra akademisi akan membuat telinga mereka panas, mukanya merah padam, bahkan kebakaran jenggot.
Para pendekar sastra akademisi cukup mahir menggunakan juru-jurus teori sastra ilmiah untuk menghadapi sebuah karya-karya sastra. Sebuah teori yang cukup jlimet. Namun, menjadi pertanyaan besar. Jurus yang mereka gunakan teryata hanya bisa ditangkap oleh kalangan terbatas. Yakni, para intelektual saja. Ketika kritik karya atau karya lainnya mereka di sodorkan ke khalayak umum, tulisan mereka tidak bisa dipahami oleh semua kalangan. Pun, karya mereka disodorkan ke penerbit, para penerbit berdalih tulisan mereka tidak marketable karena menggunakan bahasa ilmiah yang cukup susah di terima pasar. Lagi-lagi, karya mereka harus masuk kandang seperti tuannya, bahkan karya mereka akan masuk ke perpustakaan hingga lapuk dimakan rayap.
Karya yang seharusnya dapat dinikmati semua kalangan. Karya yang seharusnya memberikan pencerahan bagi masyarakat. Karya yang seharusnya dapat memotivasi para pembacanya. Tapi, kasihan karya mereka tak bisa dibaca, karena masuk rak perpustakaan.
Kalau kita menarik ke persoalan itu ke domain yang lebih kecil. Taruhlah ke wilayah Solo. Di kota yang sekarang sedang menghasung jargon. “Solo, The Spirit of Java”. Di sana terdapat beberapa Universitas yang ada jurusan sastranya. Apakah para pendekar yang menghuninya telah memberikan andil atau perannya ke masyarakat Solo? Sudahkah memberikan kontribusi yang nyata terhadap keilmuannya, pikirannya, tenaganya atau apapun untuk Solo? Konon, pertanyaan ini acap kali dilontarkan oleh masyarakat dan pekerja seni di Solo. Pertanyaan yang muncul itu tentunya berawal dari hukum sebab-akibat. Sebabnya apa? Biarlah itu menjadi PR untuk para pendekar sastra akademisi!
Pendekar Sastra Jalanan
Ada beberapa komunitas sastra yang tumbuh-kembang di Solo. Diantaranya adalah FLP (Forum Lingkar Pena), Meja Bolong, Seketsa Kata, Kabut Institut, Ketik (komunitas sastra anak SMA). Para pendekarnya cukup giat mengolah kanuragannya baik di padepokannya maupun dan di jalan raya sastra Solo. Bagi mereka, langsung menjajal jurus mereka di jalan raya sastra Solo adalah suatu keharusan, karena di jalan itulah medan mereka untuk memberikan bukti nyata bahwa mereka bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat umumnya, dan masyarakat Solo pada khususnya. Berbagai pertandingan, sabung, pamer jurus, perekelahian mereka gelar di jalan raya sastra Solo. Mulai dari, bedah buku, bedah cerpen, workhshop penulisan, training jurnalistik dan lain-lain. Bahkan, salah satu komunitas sastra yaitu FLP Solo mampu mengolaborasikan pendidikan formal dengan komunitas sastra. Dengan kata lain, FLP berhasil memadu-padankan kurikulum formal dengan kurikulum sanggar sastra. Kini, FLP telah bekerja sama dengan beberapa sekolah yang ada di Solo untuk membuka kelas ekstra jurnalistik atau creative writing. Diantaranya adalah SDIT Nur Hidayah, SMPIT Nur Hidayah, SDII Al Abidin, SD Al Azhar, MAN PK, Ponpes Al Mukmin Ngruki, semua sekolah yang disebutkan tadi telah bekerja sama dengan FLP untuk melatih para siswa-siswinya agar bisa menulis dan mengapresiasi karya sastra. Bahkan, FLP Solo pernah bekerja sama dengan lembaga Universitas, yaitu STAIN Surakarta untuk melakukan pelatihan penulisan untuk mahasiswa asing yang yang kuliah di PTAIN seluruh Indonesia. Disamping terjun langsung mendampingi para siswa, para pegiat FLP juga aktif mengeluarkan buku-buku mereka.
Sedangkan para pendekar komunitas sastra Kabut Institut aktif menulis di media cetak lokal maupun nasional. Bahkan, akhir-akhir ini tulisan-tulisan mereka sering nongol di media cetak nasional. Serta komunitas-komunitas yang lainnya giat turun ke jalan raya sastra Solo dengan warna mereka sendiri-sendiri.
Jalan Raya Sastra Solo
Kini sudah saatnya para pendekar sastra akademisi untuk turun ke jalan raya sastra Solo untuk mengadu kemampuan. Menjajal kanuragannya. Alangkah serunya jika para pendekar sastra akademisi Solo berduel dengan para pendekar jalanan di jalan Raya Satra Solo. Duel yang akan memperlihatkan kemahiran jurus masing-masing. Kematangan dalam olah kanuragannya. Satu menggunakan jurus kritik ilmiah, sedangkan yang satunya menggunakan kritik umum.
Apabila duel itu sungguh terjadi, mungkin para penikmat sastra, guru, siswa dan siapapun yang peduli dengan sastra akan sangat antusias untuk melihat duel mereka dalam rangka memetik pelajaran dari jurus-jurus yang mereka keluarkan.
Duel itu pun juga akan memperkaya wacana di jagad sastra. Alih-alih akan memberikan sumbangsih bagi kemajuan dunia sastra di Solo. Kini, tinggal menunggu waktu saja, ajakan untuk turun ke jalan raya sastra Solo yang ditulis oleh penulis yang merupakan juga orang jalanan raya sastra Solo ini, ditanggapi oleh para pendekar sastra akademis atau tidak. Jika ditanggapi, penulis secara tidak langsung telah menyatakan kesiapannya untuk berduel di jalan raya atau sebaliknya berduel di ring yang di pilih oleh kedua pihak untuk menghidupkan sastra yang ada di Solo.
Jika memang enggan untuk turun atau duel di jalan raya satra Solo. Mungkin ada jalan lain yang bisa ditempuh, yaitu dengan memadu-padankan jurus-jurus para pendekar akademisi sastra dengan para pendekar sastra jalanan dalam rangka menemukan jurus-jurus baru yang bisa diterima dan digunakan oleh semua kalangan, baik dari kalangan intelektual maupun kalangan umum yang berminat dengan sastra.
Ada satu pihak lagi yang mesti terlibat di jalan raya sastra Solo jika para pendekar itu berduel. Yakni para pembaca atau penikmat karya sastra. Dari merekalah akan diketahui atau dinilai, jurus manakah yang paling baik diantara mereka. Apakah jurus para pendekar sastra akedamisi atau para pendekar sastra jalanan.
Semoga jika itu terjadi, ada pihak ketiga yang mefasilitasi atau mempertemukan mereka agar bisa turun ke jalan raya sastra Solo bersama. Yakni, Pemerintah kota Solo. Jika pemkot peka, atau punya niatan menghidupkan budaya lokal atau sastra lokal dengan jargonnya yang diusungnya kini “Solo, The Spirit of Java”. Tentunya pemkot Solo punya power untuk mempertemukan mereka dalam rangka merealisasikan dan membumikan jargonnya.
Semoga saja ajakan untuk turun ke jalan raya sastra Solo ini ditanggapi para pendekar sastra akademisi, kalau toh tidak, semakin membuktikan bahwa mereka hanyalah macan di kandangnya sendiri! Setuju? (dimuat di Solopos, 1/3/`09)
*Kerja Keras adalah Energi Kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar