Selalu
saja ada yang ingin menyeret Forum Lingkar Pena (FLP) ke salah satu partai
politik, acap-kali dan didaur ulang terus menerus tanpa henti. Seakan menjadi
pembenaran bahwa FLP dinisbatkan ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Saya
menjadi gusar dengan tulisan Danang Muchtar Syafi`i yang dimuat di Solopos pada
kolom Gagasan, Jumat Pon, 15 November 2013 dengan judul “Kemerdekaan Santri dalam
Politik”, lewat tulisan tersebut, Danang membangun opini ke khalayak ramai
bahwa FLP adalah bagian dari PKS. Bahkan menjadi salah satu mesin untuk
rekrutment kader PKS.
Membaca
Sejarah
Danang
tampaknya belum atau bahkan tidak membaca sejarah berdirinya FLP. Didalam buku
“Segenggam Gumam” (halaman 42) yang ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, pendiri FLP,
bahwa FLP lahir pada 1997 karena melihat minat membaca dan menulis di kalangan
remaja, mereka membutuhkan bacaan yang bemutu, juga banyaknya anak muda yang
bergerak di dunia penulisan namun potensi mereka tidak tersalur. Karena itulah
FLP didirikan. Bukan untuk menjadi mesin rekrutmen kader bagi PKS juga partai
lainnya.
Sangat
jauh berbeda gerakan yang dibangun oleh FLP dan PKS. FLP bergerak dalam ruang
literasi, merangsek ke dunia tulis dan baca, membina calon-calon penulis baru,
berbagi ilmu tulis-menulis jenjang pengkaderanya pun berkaitan erat dengan
seputar literasi. Salah satu contohnya; jenjang muda untuk bisa naik ke jenjang
madya syaratnya adalah tulisannya sudah pernah dimuat di media nasional atau
sudah pernah menerbitkan buku. Untuk mendirikan FLP cabang pun tidak mudah,
syaratnya harus ada salah satu anggotanya sudah masuk kategori jenjang madya
dan syarat lainnya. Tentu sistem pengkaderan ini tidak ditemukan di PKS atau
partai lainnya.
Bandingkan
dengan sejarah berdirinya PKS yang dahulunya bernama PK. PKS atau PK lahir pada
20 Juli 1998 dalam konfrensi pers di aula masjid Al-Azhar. Dari segi umur FLP
lebih tua dibandingkan PKS. Tidak mungkin ornganisasi yang lebih tua umurnya
menjadi gerakan dibawahnya. Secara sistem pengkaderan berbeda, apalagi beda
ruang gerakannya. PKS berada pada ruang politik, tentu mereka ingin mencetak
kader-kader politik sebanyak-banyaknya.
Tampaknya
Danang harus membaca sejarah FLP dulu sebelum menyeret-nyeret FLP dalam pusaran
gelombang PKS. Agar Danang tidak sembrono
membangun kontruksi pikiran khalayak ramai tentang FLP yang seakan-akan tidak
merdeka. FLP adalah sebuah gerakan literasi yang merdeka tidak berafiliasi
dengan partai manapun. Danang juga seharusnya melongok AD/ART FLP sebelum
membuat tulisan tentang FLP. Tidak ada satupun kalimat dalam AD/ART yang
menyebutkan FLP punya garis struktural dengan PKS atau partai lainnya. AD/ART
dalam organisasi layaknya sebuah kitab suci, ia menjadi arah dan pedoman
gerakan organisasi. Jadi, silahkan Danang baca dulu AD/ART FLP, jika sudah
tunjukan kalimat mana yang menyatakan FLP adalah wadah rekruitmen kader bagi
PKS. Begitu kan Danang?
Merdeka
itu Pilihan
Jika tema tentang FLP
dan PKS ini terus didaur ulang, tentu akan merugikan bagi FLP. Citra yang terbangun
bahwa FLP tidak merdeka secara karya atau personal. Soal kemerdekaan ini tentu
kita bedakan antara personal sebagai pengurus FLP dengan lembaga FLP.
Tentu setiap orang
punya kemerdekaannya dalam menyalurkan hak poltiknya. Jika terdapat anggota FLP
yang menjadi pengurus PKS tentu itu adalah kemerdekaan pilihan pandangan politiknya.
Mungkin ada kesamaan ideologi dan platform perbaikan bangsa yang ditawarkan PKS
dengan pandangan individualnya. Disinilah titik temu kader FLP secara personal
dengan PKS yang kemudian dianggap bahwa FLP adalah bagian dari PKS. Tentu
kemudian tidak masuk akal, jika ada sebagian kader FLP yang aktif di PKS
kemudian FLP dinisbatkan sebagai PKS.
Begitu pula jika ada
anggota FLP yang jadi pengurus partai PBB, HANURA, NASDEM, PAN, DEMORAT dan
partai lainnya itu hak di secara individual, tentunya bukan sebuah dosa bukan seorang
penulis aktif di sebuah partai politik! Mungkin streotip yang tumbuh
dimasyarakat bahwa politik itu kotor, jadi jika ada seorang penulis aktif di
parpol maka stempel buruk akan muncul kepadanya.
FLP sebagai lembaga
berada pada titik netral, ia tidak berafiliasi pada partai politik apapun. FLP
merupakan organisasi kepenulisan dengan anggota yang majemuk mulai dari NU,
Muhammadiyah, HTI, Jamaah Tabligh dan sebagainya.
Setiap anggota atau kader FLP punya kemerdekaan untuk menentukan saluran
politiknya sendiri.
Jumlah anggota FLP
yang mencapai ribuan dan berada diberbagai penjuru negeri ini memang membuat
partai politik memandang FLP adalah organisasi yang seksi untuk digoda. FLP adalah
gerakan kepenulisan yang sangat fenomenal, ia menjadi organisasi kepenulisan
yang terbesar di Indonesia, tak hanya di dalam negeri saja. FLP juga menjangkau
ke luar negri. FLP mempunyai empat belas cabang di luar negeri. Mulai dari
Hongkong, banyak anggotanya adalah buruh migrant yang dibina FLP. Lantas,
kemudian bisa melahirkan karya yang baik. Kemudian Malasyia, Jepang, Australia,
Mesir, Arab Saudi, Yaman, Turki, Amerika, Kanada, Jerman, Taiwan, Turki,
Pakistan. Sedangkan di Indonesia FLP sudah hadir di tiga puluh provinsi,
sedangkan jumlah provinsi di Indonesia sekarang adalah tigapuluh empat
provinsi. Tidak heran bukan! Jika banyak kepentingan yang ingin menyeret FLP
pada salah satu partai politik.
Sastra
dan Politik
Sastra
dan politik punya ruang yang berbeda, namun juga bisa di ruang yang sama. Bukan
selingkuh, tapi bersinergi membangun peradaban yang lebih baik. Selama ini yang
didengungkan adalah politik itu kotor, karena berita yang acap kali muncul
adalah korupsi, keculasan, kebohongan, intrik dalam panggung politik di negeri
ini. Berita kebaikan, kejujuran, kepedulian dalam politk jarang disiarkan dalam
media. Mungkin karena mainstraim media saat ini adalah “bad news is good news” jadi kebaikan dari politik itu tidak muncul.
Tidak heran jika masyarakat akan menghujat habis-habisan para penulis yang
terjun ke dunia politik.
Sudah
saatnya wajah politk di Indonesia itu menampilkan kebaikan agar ia tak dinilai
kotor selama-lamanya. Juga saatnya politik bergandengan tangan dengan sastra. Dalam sastra pesan-pesan kebaikan tersemat di
dalamnya, di dalam politik juga terdapat cara mendapatkan kekuasan yang baik,
pengaturan pemerintahan yang baik pula. Jika sastra dan politik bergandengan
tangan, kebaikan pesan dibantu dengan kekuasan yang baik maka tercipta satu
ruang kebaikan yang sama di negeri ini. Semoga!
*Aries Adenata, SS
Sekretaris Divisi Kaderisasi
Badan Pengurus Pusat (BPP) FLP
Salam.
BalasHapusTak sengaja saya menemukan tanggapan ini. Tentu saya bersyukur, ada salah satu petinggi FLP yang langsung menanggapi tulisan saya, yakni mas Aries Adenata. Terutama saya juga pernah "ngobrol", walau tak lama, dengan mas Aries. Namun, mohon maaf, tanggapan ini tidak suportif: Saya menulis itu, tanggapan mas Aries lain. Tak menangkap secara utuh dari "nasehat" saya tersebut untuk FLP. Buku-buku karya FLP, termasuk "Segenggam Gumam" itu, sering saya baca sekaligus dengan AD/ART FLP. Saya mudah menemukannya lantaran adik saya juga aktif di FLP. Sebenarnya sederhana saja, hemat saya, tulisan saya tersebut (seharusnya) bisa dipahami sebagai ikhtiar dalam menggawangi FLP dari godaan yang merusak keharmonisan dan kemerdekaan. Dan, tulisan itu berangkat dari beberapa curhatan kawan-kawan yang menegaskan diri sebagai santri Tarbiyah (tanpa Partai). Terimakasih. Lanjutkan budaya literer (sastra). :)
Ralat: Bukan Kemerdekaan Sastra dalam Politik, tapi kemerdekaan Santri dalam Politik ^_^
BalasHapus