Selasa, 22 Maret 2011
Book Review 01: Dua Kelamin bagi Midin
Bagi saya, membaca adalah sebuah kenikmatan sendiri. Layaknya mengunyah, mencecap sebuah makanan lezat, setiap kali melakukannya, saya akan melakukannya dengan pelan sambil menikmati setiap kunyahannya. Saya takut kenikmatan itu lekas sirna jika saya cepat-cepat menelannya. Seperti yang kulakukan terhadap buku Kumpulan Cerpen Kompas 1970-1980; Dua Kelamin Bagi Midin. Buku dengan ketebalan 400 halaman ini begitu saya nikmati. Saya enggan untuk meneguk kenikmatannya dalam sekali duduk.
Buku itu saya beli satu tahun yang lalu, namun saya baru mengatamkan hari senin kemarin 21 Maret 2011. Ada kenikmatan yang meledak dalam tubuh saya, entah di bagian mana.
Di penghujung buku tersebut, saya dibuat kaget luar biasa, saya mengenal Hamsad Rangkuti adalah penulis realis dan sederhana, namun menohok kemanusiaan kita. Tapi apa? Kali ini, lewat tulisan yang berjudul Dua Orang Bercakap-cakap, Hamsad menulis dengan gaya yang tetap sederhana, namun butuh sebuah nalar kritis, ia hanya menulis narasi pada paragraph pertama saja, selanjutnya sampai akhir cerita, isinya semuanya dialog. Inilah salah satu dialognya…
“ Telek asu! Tahu kau telek asu. Kalau itu maksud dia mengapa dia tidak gantungkan bangkai tikus. Bangkai tikus lebih busuk. Petani pasti senang melihat itu. Artinya seniman menggantung tikus, menggantung musuh petani. Yang jelas sebenarnya seniman-seniman itu mau mengejek rakyat. Mereka gantung dua kilo daging di dinding pameran, sementara rakyat makan tempe….”
Apa maksud Hamsad Rangkuti menulis dialog ini? Bisa jadi ia ingin mengkritik seniman yang sok seniman. Rambut gondrong acak-acakan biar dibilang seniman, membuat karya yang makin mengerutkan dahi biar dibilang seniman. Itulah gaya orang yang mau disebut seniman. Mau dibilang seniman? Pasang saja kutang di depan pintu rumahmu. Ketika ditanya, itulah seni kritis, para pejabat harus punya kacamata sebesar kutang, biar tahu penderitaan rakyat.
Lain lagi, Rahini Ridwan, dengan judul tulisan Kebohongan yang Terakhir. Ia mencoba membolak-balikan logika kita.
“Bukankah berbohong itu juga suatu suatu pekerjaan yang tidak gampang? Pekerjaan yang tidak dengan mudah dapat dilakukan oleh setiap orang? Bukankanh kebohongan juga membutuhkan bakat dan keberanian-fisik maupun mental? Bukankah berbohong juga adalah suatu pekerjaan yang penuh dengan resiko seperti halnya kerja yang lain? Bukankah orang yang berhasil dalam hidup adalah orang yang berani dan gigih terhadap resiko-resiko? Kalau betul demikian, apa pula perbedaannya aku dengan mereka yang lain?”
Lantas, apa itu kejujuran dan apa itu kebohongan? Sama-sama membutuhkan keberanian bukan? Namun, yang membedakannya adalah reward and punishment yang akan kita petik di dunia dan akhirat.
Sedangkan karya yang absurd, saya mendapatkan dalam buku tersebut dengan judul tulisan Subali Kawin karya Noorca Marendra Massardi. Benar-benar kali ini saya harus mengernyitkan dahi, apa maksud Noorca dengan tulisannya, ditambah gaya penulisannya yang sangat eksploratif. Ia menulis percakapan antara Subali dan istrinya, Sunarti, dengan mencampurkan peristiwa yang sedang atau telah terjadi di belahan dunia ini.
“-Sedang di Perancis barat kemungkinan akan turun salju. Bahkan di selatan akan mencapai satu derajat,-kata peramal cuaca. Subali mencium mulut istrinya. Hangatnya ibarat pemanas ruangan duapuluhtiga derajat. Dan, Sunarti balas ciuman suaminya. Padahal, sudah bertahun-tahun mereka hidup bersama. Maklumlah kalau semua Negara mengutuk Moskwa perang dingin akan terulang lagi.
-Kamu betul-betul merasa bahagia malam mini, Nar?”
-Aku sangat bahagia Mas Bal. Aku sangat bahagia-, sahut Sunarti. Diciumnya pipi Subali dengan Mesra. Brezhnev-pun lantas membalas pelukan Georges Marchais dengan hangat. Sebab Marchais-lah satu-satunya pentolan partai komunis Italia yang sungkem kepada Brezhnev beberapa hari setelah penyerbuan Rusia ke Afganistan. Padahal, partai komunis Italia dan Spanyol kedua ikut mengutuk agresi Soviet tersebut.”
Bagi saya cerpen ini sangat ekploratif dalam segi bentuk dan gaya. Ia meramu adegan perjumpaan suami istri layaknya sebuah adegan perang antar Negara, ideologi dan kepentingan.
Sebuah tulisan yang bagi saya adalah kecerdasaan menulis yang menghindari kevulgaraan, namun mampu memberi sketsa pilihan terhadap gaya untuk menampilkan bagaimana sebuah adegan bisa terhindari dan masuk kepada metafora indah, namun melipat-lipat dahi. Bahkan menyentil seseorang.
Ah, begitu banyak dan beragamnya kenikmatan yang ada dalam buku tersebut, dalam setiap judul ada sesuatu yang membuat ujung lidah kita terkejut akan sensasi kenikmatan yang ditimbulkannya. Terlalu panjang jika saya harus mendedah semua judul tulisan dalam buku tersebut, sehingga aromanya akan tercium di seluruh dunia.
Kawan, jika kau ingin menikmatinya, baca dan kunyahlah sendiri buku tersebut dengan khidmat. Mau?
Aries Adenata, S.S
Pendiri dan Pegiat Adenata Institute
NB: Bagi penerbit yang mau bukunya kami review, silahkan kirim buku sebanyak 2 eksemplar (Buku yang masuk akan kami donasikan untuk pendirian/penambahan koleksi Perpustakaan Adenata Institute). Tulisan akan kami sebarluaskan di facebook dan blog Adenata Institute.
Bagi penerbit atau perseorangan yang ingin menyumbang buku/perlengkapan perpustakaan, kami juga mempersilahkan dan membuka pintu dengan lebar. Perpustakaan Adenata Intitute ini akan dikelola bareng bersama FLP Solo Raya . Rencananya, perpustakan Adenata Institute akan menempati ruang di Solo Corner (depan RS Ortopedi Solo/Timur kampus UNS Pabelan) dan akan dibuka untuk umum.
Alamat Pengiriman Buku:
Adenata Institute
a.n Aries Adenata
Gumpang Rt 01/03, Kartasura
Sukoharjo , Jawa Tengah.
HP: 0852 9355 9082
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar