Aries
Adenata*
Parman
tersenyum sumringah. Tampak gurat kegembiraan dalam wajahnya. Ia membetulkan
kerah bajunya, lantas ia turun dari taxi. Langkahnya begitu mantap, dadanya
agak membusung. Ia menatap tajam orang-orang yang berjajar di depan rumahnya yang menyambut kedatangannya, ia
naikan kopernya lima belas centi lebih atas. Enam tahun sudah aku merantau ke
Malaysia, kini aku datang kampungku!
***
“Sebentar lagi
akan ada pilihan lurah lho Man, kamu tidak tertarik untuk ikut nyalon lurah?”
Tanya Wardiyo dengan nada membujuk.
“Aku tidak
tertarik Yo, aku mau buka usaha saja” Jawab Parman yang hari-hari ini jadi
pembicaraan orang sekampung karena pulang dari Malasyia.
“Bapakmu dulu
kan lurah, kamu masih punya trah lurah, saya yakin kamu bakal menang Man” desak
Wardiyo yang berharap Parman mau maju sebagai calon lurah.
Suara jangkrik
yang bersautan menambah suasana malam semakin hidup. Hawa dingin yang menyergah
membuat orang-orang yang lagi nongkrong di HIK menarik sarung mereka sekedar
untuk menutup kulit mereka agar tidak terasa dingin. Kepulan asap rokok yang
berbaur dengan kepulan kopi menjadi aroma tersendiri.
“Saya siap
jadi tim sukses kamu lho, Man!” Sahut Katimin sembari menyeruput kopi jahe yang
mulai dingin.
“Ah, aku ndak
yakin masih dikenal di kampung ini, aku sudah meninggalkan kampung ini enam
tahunan” Parman mulai ragu.
“Aku ndak
mikir jadi lurah, aku pengin usaha wae
”
Lanjut Parman yang berusaha tidak tergoda dengan bujuk orang-orang kampung yang
lagi menikmati hidup di HIK tengah kampung mereka.
“Beres Man,
aku siap jadi jurkammu. Aku yakin trah lurah dalam garis kehidupanmu masih
dikenal warga kampung ini. Aku yakin kamu pasti menang” Sahut Sariman dengan
intonasi yang menggebu.
“Heleh…isoh wae tho kowe
Man!” Timpal Parman.
“Udah malem, aku muleh disik yo.
Besok nongkrong di HIK
lagi yo, aku kangen HIK, udah enam tahun nggak ngrasin sego kucing sama wedang
jahe gepuk” Ucap Parman yang berusaha mengelak dari bujuk rayu orang-orang yang
masih nongkrong di HIK.
“Pokoknya,
kalau kamu maju jadi calon lurah, kami siap membantu memenangkamu, Man!” Teriak
Wardiyo yang sejak tadi bernafsu mendorong Parman untuk maju menjadi calon
lurah.
***
“Kapan kamu
mau nikah tho Man?” Tanya wanita yang rambutnya sudah beruban semua.
“Nggih,
rencana saya tahun ini Buk” Ucap Parman sambil menunduk. Parman masih
malu-malu.
“Yang bener
Man?”
“Siapa gadis
yang beruntung mendapatkan anak lanangku
iki?”
Tanya wanita beruban itu dengan gembira. Akhirnya, ia mendapatkan kabar yang
lama sudah ditunggunya.
“Lastri Bu.
Anak Pak Wahid!” Jawab Parman lirih. Malu bercampur suka.
“Yang bener
Man?“
“Nggih Bu”
Jawab Parman dengan mantap.
Wanita beruban
itu mencoba memperbaiki posisi duduknya. Kemudian melangkah mendekati Parman
yang tampak sedikit canggung untuk membicarakan pernikahan. “Man, Ibuk senang
sekali kamu sudah ketemu calon jodohmu. Bener Man, Ibuk seneng sekali. Tapi…”
Suara ibu agak berat. Seperti menahan sesuatu.
“Tapi apa bu?
Apa Ibuk tidak suka dengan Lastri” Tanya Parman dengan wajah sedikit cemas.
“Bukan…bukan…Ibuk
tidak masalah kamu mau nikah dengan siapa. Tapi, kondisi keuangan ibu belum
memungkinan dalam waktu dekat menikahkan kamu” Jawab wanita beruban itu dengan
terburu-buru takut anaknya salah menangkap maksud perkataannya.
“Oh gitu tho
Buk. Ndak usah kuwatir soal biaya bu. Aku punya tabungan hasil kerja di Malaysia,
insya Allah cukup, mungkin masih sisa. Nanti sisanya buat buka usaha disini
Buk” Jawab Parman lega, mendengar jawaban Ibunya yang tidak mempersoalkan
hubungannya dengan Lastri.
“Saya ndak mau
merepotkan kamu, Nak”
Buru-buru
Parman menyela ucapan Ibunya “Ndak ngrepotkan kok Buk, memang rencana saya,
uang tabungan itu untuk persiapan nikah dan buka usaha sepulang aku dari Malaysia.
“Yowis kalau
begitu”
***
Suasana kampung
semakin riuh dengan pembicaraan siapa kandidat yang bakal maju dalam
pertarungan memperebutkan lurah di kampung itu. Para penduduk mencoba menebak-nebak,
siapa yang mau maju. Desas-desus yang muncul Pak Lurah yang lama sudah tidak
bisa maju lagi karena sudah menjabat dua kali periode. Saling tebak-menebak pun
semakin santer, karena belum ada seorang pun yang mendeklarasikan maju sebagai
calon lurah di kampung itu. Masih sulit diterka, jika saja lurah lama masih
boleh, mungkin warga kampung itu akan menebak salah satu kandidat yang mau
berlaga adalah lurah incumbent. Di warung
sayur ibu-ibupun tak kalah seru membicarakan calon lurah. Apalagi soal siapa
calon ibu lurahnya. Sedangkan kaum adam lebih heboh lagi membicarakannya,
bahkan menjurus perjudian. Mereka menyiapkan taruhan jika sudah ada calon
lurah, berharap jago yang dipilihnya menang.
“Parman, kamu
jadi maju bukan?” Kami siap membantumu seratus persen. Siang-malam, kami akan
bekerja untuk memenangkanmu. Ucap Wardiyo dengan tekanan suara yang meyakinkan.
Parman diam
sejenak. Hatinya mulai surut, pendiriannya mulai kendor. Ia mulai menimbang
kesempatan ini. Jika ia jadi lurah, ia tidak usah buka usaha lagi, karena
dengan jabatan lurah, ia akan mendapatkan penghasilan. Juga akan menambah
tingkat gensinya di mata calon mertuanya. Lebih mudah lagi ia mendekati calon
mertuanya, pikir Parman.
“Siapa saja
calon yang sudah muncul Yo” Tanya Parman yang mulai masuk pembicaraan seputar
pemilihan lurah.
Wardiyo
menangkap isyarat, bahwa Parman mulai tertarik dengan pemilihan lurah. Ini
adalah kesempatan berharga bagi dia untuk membuat Parman yakin akan peluangnya
menjadi lurah.
“Ah, jangan
berpikir siapa lawan kamu Man. Berpikirlah dengan segala keunggulannu. Lihat
saja, kamu adalah mantan anak lurah, pasti orang kampung akan segan, warga juga
akan menilai, pasti kamu akan sukses seperti ayahmu, dulu ayahmu sukses
memimpin kampung ini, tidak seperti lurah yang sekarang” Wardiyo mencoba
memasukan keyakinan-keyakinan di dalam benak Parman.
“Tak hanya itu
Man, kamu juga punya modal besar. Kamu baru pulang dari Malaysia bukan? Pasti
tabunganmu banyak sekali. Sudah dua modal yang kamu miliki, trah lurah dan
modal logistik. Pasti kamu menang Man!” Ujar Wardiyo yang tampak antusias menjabarkan
peluang dan kemungkinan bahwa Parman bakal menang jika bertarung dalam
perebutan kursi lurah di kampung itu.
Parman terdiam
mendengar jawaban Wardiyo. Bagi Wardiyo ini sebuah kemanangan langkah
selanjutnya.
“Sudahlah,
saya yang bakal jadi ketua tim sukses kamu, Man. Kamu tinggal menyiapkan
logistiknya saja. Kamu tahu beres aja. Kamu bakal duduk manis jadi lurah
nantinya, Man” Wardiyo meyakinkan kembali Parman.
***
Pemilihan
lurah makin dekat, para calon lurah bermunculan, sekurangnya ada empat calon
lurah yang kini sudah muncul di permukaan. Mereka mengerahkan masa
masing-masing untuk mencari dukungan warga kampung. Berbagai cara mereka
lakukan, mulai dengan mengadakan rapat koordinasi pemenangan pemilu di rumah
makan, mengadakan wayangan, memberikan bantuan sosial ke masjid, perbaikan
infrastruktur kampung dan sebagainya. Tak kalah ketinggalan, Parman kini juga
mulai bertarung strategi untuk memperebutkan kursi lurah, sesuai arahan
Wardiyo. Parman rutin melakukan koordinasi di rumah makan besar, tak hanya itu,
sepulang dari rapat koordiaasi mereka diberi uang transportasi yang lumayan.
Parman juga membuat kaos untuk para team
sukses dan kader-kadernya. Tiap malam rumah Parman kini ramai, tak
tanggung-tanggung, makanan dan rokok disediakan non stop
oleh Parman. Hari semakin dekat Parman semakin yakin akan kemenangannya,
logistik yang ia keluarkan juga besar-besaran.
“Wes, yakin
saja, kamu bakal menang Man” Ucap Wardiyo dengan penuh keyakinan
“Iya Man,
warga kampung kita bakal memberikan suara ke kamu” Timpal Katimin dengan
semangat.
“Para
pesaingmu juga mulai kwatir, mereka melihat dukungan kepadamu semakin banyak,
untuk itu, mereka menambah jumlah logistiknya, isi amplop ditambah, lebih besar
dari kamu” Ujar Sariman setengah memberi keyakinan, namun setengahnya memancing
agar Parman menambah jumlah isi amplop uang transportasi untuk rapat
koordinasi.
“Oke, sudah
nanggung, sekali basah, basah sekalian. Kita tambah isi amplopnya, pokoknya
saya harus menang” Kini Parman mulai terasuki hawa obsesi kemenangan.
Mendengar
jawaban dan semangat Parman, mereka bertiga, Wardiyo, Katimin, Sariman tersenyum,
sambil saling memandang satu dengan yang lainnya. Pertanda kemakmuran bakal
mampir di kantong mereka.
Hari pemungutan
suara pun tiba, Parman datang ke balai desa dengan naik becak bersama rombongan
pendukungnya. Mereka ingin mengatakan bahwa becak adalah simbol perjuangan wong
cilik, jadi kalau memilih Parman, maka wong cilik akan diperjuangkan nasibnya
oleh Parman.
Warga kampung
berbondong-bondong menuju ke balai desa untuk memberikan suaranya. Pemungutan
suara ditutup pukul satu siang. Para kandidat duduk di depan. Berjajar sesuai
nomor urut dan gambar. Nomor satu gambar jagung, nomor dua gambar ketela, nomor
ketiga gambar padi, nomor keempat gambar tebu. Parman mendapat gambar tebu. Ia
yakin, tebunya bakal terasa manis akan kemenangan.
Jam di dinding
balai desa menujukan pukul satu siang, pencoblosan selesai. Panitia istirahat
sebentar. Setelah selesai istirahat, panitia kemudian melanjutkan perhitungan
suara. Detik-detik inilah yang menegangkan. Semua calon lurah yang duduk di
depan tampak tegang dan berkeringat.
Ada empat
kotak suara. Kotak suara satu selesai dihitung, Parman kalah. Keringat dingin
mengucur deras dari wajahnya. Kotak suara kedua dihitung, Parman menang. Tampak
wajah Parman mulai membaik dan berangsur tenang. Kotak ketiga juga selesai
dihitung, hasilnya Parman menang di kotak ketiga. Parman makin gembira,
wajahnya mulai tampak sumringah. Calon yang lain mulai tampak loyo. Kotak keempat,
yakni kotak terakhir mulai dihitung. Parman sudah yakin bakal menang, obsesi
akan kemenangan makin menggebu. Perhitungan selesai, Parman kalah di kotak
keempat. Keringat dingin deras mengucur dari wajah Parman. Panitia kemudian
menjumlah total suara dari keempat kotak suara. Hasilnya, Parman kalah.
Tiba-tiba
kepala Parman terasa berputar-putar, wajah Lastri seperti mengitari kepalanya,
seakan merajuk untuk segera dinikahi. Usaha yang diimpikan juga nampak berbayang
di depan matanya. Uang tabunganya kini sudah ludes. Parman jatuh pingsan.
***
Di belakang
balaidesa, Wardiyo, Katimin, Sariman duduk bersila.
“Jan, asem tenan.
Jagoku kalah” Ucap Katimin yang menjagokan Parman
“Huahaha…aku
menang, nomer urut dua menang, ketela
menang…hahaha…” Ucap Wardiyo sambil mengambil uang dari Katimin dan Sariman
yang kalah taruhan.