Senin, 19 Oktober 2015

Menulislah Bung!




                       
Bung, cobalah tengok kebelakang! Apa yang kau lihat? Sederet kisah yang tlah kau lalui bukan? Hanya sepitas lalu, yah, bahkan tak berbekas sama sekali, ia akan memendar seiring dengan ruang dan waktu yang tertelan oleh waktu itu sendiri. Bung, ingat! Jatah umur yang diberikan kita sudah tercatat di lauhul mahfudz. Tak kurang dan tak lebih. Ada riuh tanya yang bakal mengusik hati kau, tentu! Ia akan mengolok dan menggunjing dirimu. Buat apa waktu yang selama ini diberikan oleh sang Rahman?
Ingat bung! Sedetik waktu yang tlah kita lewati, tak bakal bisa kita undo layaknya toot dalam computer, yang bisa seenaknya kita undo jika kita melewati satu huruf saja. Tidak, ia tak bakal bisa kita undo meskipun ia hanya sedetik saja. Cukup miris bukan? Yah, jika kau sudah berkubang dengan tanah, dan umurmu hanya dijatah dengan 40, 50, atau 60 tahun, cukup sudah umur yang melekat di ragamu, ia lenyap bersama raga yang telah tertimbun dengan tanah. Dan, namamu juga berakhir sudah seiring dengan langkah kaki para peziarah yang meninggalkan kubur dengan seret-seret sendal yang mereka pijak.
Bung, namamu, jejak kehidupanmu dan amalmu terhenti sudah. Ya, berakhir sudah, persis layaknya sebuah film bioskop yang ditutup dengan kalimat `The end`. Benar bukan? Kau mau berkata apa? Pasti `YA` kan? Apakah kau ingin seperti manusia pada umumnya. Jika sudah datang malaikat pencabut nyawa, hilang sudah nama, jejak dan amal kita? Ustadz Antonio Syafii pernah berkata, umur manusia ada dua. Pertama adalah umur secara biologis, jika tubuh ini sudah mencium tanah tanpa henti diiring tangis dan doa, dalam waktu 30, 40, 50, 65 selesai sudah riwayat sebuah nama. Ia terhenti tanpa ada rekam jejak di generasi selanjutnya. Kedua adalah umur secara karya, bisa jadi raga yang telah terbujur diatas tanah dengan kurun waktu 39, 49, 59 itu dicabut dari sang Pemberi Nyawa. Namun, jika ia punya karya, maka ia akan hidup sepanjang masa, rekam jejak kehidupannya bakal dikenang bagi generasi selanjutnya, bahkan, jika karya itu bisa mendatangkan manfaat bagi banyak orang, bisa jadi ia akan menjadi anak sungai pahala yang akan terus mengalir kepada kita. Bukankah kita sering mendengungkan istilah nafsu dunia dengan pasif income bukan? Kenapa kita tidak berpikir dengan keinginan paling purna tuk punya pasif income kelak di akhirat nanti. Biarkan income pahala itu mengalir terus kepada kita meskipun raga ini sudah dimakan ratusan atau bahkan ribuan ulat tanah.
Bung! Lihat jam tanganmu. Sekarang jam berapa? Tanggal berapa? Bulan apa? Tahun berapa? ... sudah kau lakukan? Inalilahi...kau pasti terperanjat bukan! Teryata kau sudah memakan waktu dengan tanpa sadar melewatkan begitu saja bukan?
Bung! Jangan kau pejamkan mata, tatap matahari, sebentar lagi ia bakal menggelinding ditelan bumi. Nah, itulah kejadian tiap hari yang bakal kau temui, matahari terus akan berputar sampai dengan tiba masanya tuk tidak berputar.
Saatnya sekarang tuk memilih. Memilih tuk tidak memilih atau memilih dengan kesadaran purna. Ambil kertas atau sahut laptop yang ada disampingmu, biarkan jari ini menuturkan kisah kehidupanmu lewat tulisan. Dan, ia bakal mengabadikan jejak kehidupanmu. Kelak, anak cucu, karib, kerabat, umat manusia bakal menjumpaimu dengan artefak tulisanmu yang terserak dimana-mana, sepanjang masa. Kau pun bakal tercatat dalam sejarah, bahwa kau punya rekam jejak kehidupan yang bisa ditelusur dengan sebuah bukti, yakni sebuah tulisan.
Bung, apakah kau puas hanya sekadar menulis kisahmu? Kisahmu saja? Bergunakah? Apakah kau tak punya keinginan yang lebih bijak? Membuat sebuah maha karya tulisan yang mampu menggerakan umat manusia untuk berbuat kebaikan. Membuat manusia menitikan air mata, lantas taubat nasuha. Membuat manusia yang tersesat kembali ke jalan yang lurus dan terang benderang? Bung! Jika kau mau, kau sanggup tuk membuatnya. Bukankah Hasan Al Bana, Imam Al Ghozali, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Syafi`i dan imam-imam lainnya juga manusia. Ia sepertimu, manusia yang diberikan waktu 24 jam dalam sehari, tak ada bedanya bukan? Kini, kau tak bisa mengelak dengan kata`Kesibukan`. Toh mereka yang mengeluarkan masterpiece karya juga punya jatah waktu yang sama bukan?
Kini, hamparan pilihan itu dihadapan kau, tinggal memilih, menulis tuk mengabadikan jejak kehidupan dan membuat pasif income di akhirat kelak, atau kau justru duduk termangu dengan tulisan ini, dan berkata, ”Benar ya tulisan ini! Kita harus membuat pasif income tuk akhirat kelak dengan sebuah tulisan” dan kau pun melipat tulisan di majalah ini, kemudian membuangnya ke tong sampah tanpa melakukan apa yang barusan kau ucap. Begitu?


[*] Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Solo Raya

Kamis, 15 Oktober 2015

Memberi ruang pada hati





Kita mungkin bisa merasakan (bagi yang bisa merasakan) ketika seseorang tersenyum dengan tulus, senyum yang datang dari hati, bukan senyum kepura-puraan, ada semacam cahaya (meminjam istilahnya Indrawan YP) atau energi (baca: istilah saya) yang bisa kita tangkap dengan hati.
 
Juga ketika seseorang berbuat dengan tulus dari hati mereka, ketika mereka berbuat kebaikan kita bisa merasakan itu. Ya, meski secara kasat mata kita tidak menangkapnya, namun ada getaran yang terpancar dan tertangkap oleh kita. Mungkin karena indra kita terbatas. Kadang kita juga tertipu oleh kemampuan indra kita sendiri. Maka, hati kitalah yang bisa merasakannya.

Bahkan, hati kita juga bisa merasakan tulisan yang datang dari hati, tulisan itu bisa kita rasakan berkekuatan, punya ruh, dan daya hentak.

Perbuaatan dan perkataan yang datang dari hati pasti akan memantulkan energi yang luar biasa. Ditengah riuh rendah kehidupan, gempuran-gempuran akan kebutuhan hidup yang tersesupi bodily hedonism (meminjam istilah dari mudji utrisno), kadang atau bahkan kita tidak memberi ruang pada hati kita. 

Inilah kegundahan yang sekarang saya rasakan, gundah untuk belajar untuk berkata, mendengar, serta berbuat dari hati. Juga gundah untuk menemukan orang-orang yang barkata dan berbuat dari hati. Ketika hati ketemu hati, kita merasakan kesejukan.

Berat memang, kita harus meluruhkan ego kita, acapkali kita ingin menampakan eksistensi diri kita, tetapi yang muncul kadang keinginan untuk besar dihadapan orang dengan mengecilkan orang lain, tampak ingin ada dengan mentiadakan orang lain.

Butuh kerja keras untuk memberi ruang pada hati kita, karena hidup kita sekarang dibajak oleh gawai (gadget), nyaris kehidupan sosial kita dirampas, tak ada upaya perlawanan dari kita, ditambah lagi pemikiran kita yang terus menerus dikontruksi oleh televise (kapitalis dan penuh kepentingan) yang bertemu dengan desakan nafsu ekonomi kita, itulah harapan mereka.
Ah…semoga kegundahan ini berkelindan dan bertemu dengan kegundahan yang sama dan menjelma menjadi ajakan untuk berkata dan berbuat dari hati secara berjamaah

Di pojok ruang/12: 54/16 –Okt-15