Rabu, 19 Mei 2010

Membongkar Makna Bangkit di Hari Kebangkitan




Terjebak Ritual Peringatan
Sudah berapa tahun bangsa ini merdeka, sudah berapa tahun juga bangsa ini memperingati hari kebangkitan nasional. Sebanyak tahun itu pula kita memperingatinya, bangsa ini ternyata hanya gemar mendengungkan kata kebangkitan, bahkan terjebak pada ritual peringatan. Setiap hari kebangkitan, kita selalu memperingatinya dengan sebuah upacara bendera, di sekolah-sekolah bendera berkibar. Itukah yang hanya bisa dilakukan bangsa ini untuk memaknai hari kebangkitan? Coba kita tengok, ternyata momentum yang lain juga bernasib yang sama, mereka diperingati dengan upacara bendera yang harus atau bahkan diwajibkan bagi para pelajar di seluruh Indonesia. Mulai dari hari kemerdekaan, hari kartini, hari pendidikan, hari kesaktian pancasila, hari sumpah pemuda dan hari-hari yang lainnya yang dimiliki oleh bangsa yang kaya akan momentum atau peringatan ini.
Kita seolah berputar pada lingkaran ritual peringatan yang tak berujung. Ritual yang hanya berfungsi untuk mengenangnya saja. Ritual yang hanya sebagai pertanda bahwa hari itu adalah peringatan sebuah hari yang perlu diperingati. Itu saja! Ya, itu saja kalau di dalam peringatan itu tidak terdapat suatu yang dapat dirasakan dan diejawanthakan dalam kehidupan ini.
Bangsa ini saharusnya mulai menyadari diri, bahwa lingkaran ritual peringatan harus diubah paradigmanya.

Bangsa yang tidak mau bangkit?
Bangsa ini selalu memperingati hari kebangkitan nasional. Tetapi, tidak pernah memetik dan belajar dari hari kebangkitan tersebut. Justru bangsa ini dihadiahi dengan peringkat korupsi yang terus melaju kencang. Data terakhir tahun 2009, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Data yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh Political & Economic Risk Consultancy.
Tak hanya masalah korupsi, lagi-lagi bangsa ini ditampar oleh sebuah data yang mencengangkan. Survey yang dilakukan KPA (Komisi Perlindungan Anak) terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar seluruh Indonesia juga menemukan 93 persen remaja pernah berciuman, dan 62,7 persen pernah berhubungan badan, dan 21 persen remaja telah melakukan oborsi.
Benarkah bangsa ini tidak mau bangkit? Bangsa yang hanya muncul ketika ada pemberitaan miring, bahkan sangat buruk. Bangsa ini harus lekas sadar dengan kondisi bangsai ini. Ya, seharusnya segenap elemen bangsa ini mulai memaknai ulang apa itu kebangkitan, biar kita tidak terjerembab pada lubang yang sama.
Sebuah PR Besar
Bangsa ini punya PR besar untuk memaknai ulang apa itu kebangkitan. Biar bangsa ini dihadiahi oleh anak bangsa dengan ribuan prestasi yang gemilang. Bukannya prestasi hitam di media masa. Biar bangsa ini bisa tegak berdiri di hadapan bangsa lain. Tidak malu mengaku sebagai bangsa Indonesia karena kita dikenal sabagai bangsa pengekspor pembantu.
Bangsa ini punya PR yang besar untuk memformat ulang bentuk peringatan hari kebangkitan, biar pejabat kementrian agama tidak korup karena mereka merasa paling tahu caranya bertobat. Biar aparat pajak tidak menilap uang rakyat, biar para penegak hukum tidak memainkan kasus.
Sudah saatnya peringatan itu tidak hanya sebatas ritual peringatan saja, ia menjelma menjadi sesuatu gerakan yang besar yang dapat mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Menjadi bangsa yang tahu apa itu sebenarnya arti dari bangkit. Lantas, apa itu bangkit? Ya, bangkit adalah seperti dalam bait-bait puisinya Dedy Mizwar…

Bangkit itu SUSAH!
Susah melihat orang lain susah
Senang melihat orang lain senang

Bangkit itu Takut…
Takut korupsi
Takut makan yang bukan haknya

Bangkit itu Mencuri!
Mencuri perhatian dunia dengan prestasi…
Bangkit itu MARAH!
MARAH!!! Bila martabat bangsa dilecehkan!

Bangkit itu malu…
Malu jadi benalu
Malu karena minta melulu

Bangkit itu… Tidak ada!
Tidak ada kata menyerah!
Tidak ada kata putus asa!
Bangkit itu… AKU!
Untuk Indonesiaku…